Atas Nama Cinta

2 0 0
                                    

Derai hujan masih berjatuhan di luar sana. Angin berhembus lumayan kencang, seakan mengusir awan mendung dari tengah kota ini. Entah bagaimana perubahan musim terjadi begitu cepat, bahkan mendadak. Setengah jam lalu, mentari masih bersinar terang dengan kelembutan sinarnya. Tanda-tanda hujanpun hampir tidak terlihat.

Suasana di sebuah cafe tampak hening. Pilihan yang tepat bagi manusia normal adalah berdiam disini, menghangatkan diri dari pemanas ruangan yang tersedia. Di pojok sebelah kiri, tampak seorang remaja tengah serius membaca sebuah buku yang di bawanya. Tangannya sesekali meraih segelas espresso dan menyesapnya perlahan. Keningnya pun berkerut, mungkin ada hal yang membuatnya sedikit kebingungan.

Menggunakan pakaian bebas, tak terlihat jika Ia adalah seorang mahasiswi. Memang sekarang kebanyakan anak kampus memilih cafe sebagai tempat belajar. Sebab, ada cafe yang memang lebih hening daripada perpustakaan, contohnya cafe Light ini. Peraturan utamanya, pengunjung harus datang sendiri. Cocok sekali untuk seorang jomlo agar tak merasakan penderitaannya sendirian. Ups.

Seperempat jam kemudian, gadis berambut coklat -yang diketahui bernama Alena, sedang mengemasi barang bawaannya. Sebelumya Ia menerima telepon dari seseorang yang memintanya untuk segera pulang.

"Ck ... masih hujan begini," keluh Alena dengan sorot mata tajam menembus jalanan depan cafe.

***

"Aku pulang ...," seru Alena saat membuka pintu rumahnya. Bangunan mungil yang Ia tempati hanya dengan kakaknya itu terlihat begitu nyaman. Sofa empuk berwarna merah maroon menyapa saat pertama kali masuk. Di lepasnya sepatu kets yang menemani seharian ini. Langkahnya terus masuk ke ruang makan dan mendapati sebuah keajaiban disana.

"Gustav?"
"Kau kembali?" Binar mata Alena begitu terasa tatkala melihat seorang lelaki yang begitu dirindukannya sedang duduk membaca majalah.

Lelaki itu tertawa, "kau seperti tak percaya bahwa aku akan kembali."

Rengkuhan hangat dari lengan kokoh Gustav dapat Alena rasakan lagi. Wangi maskulin yang menguar dari sosok Gustav begitu memabukkan. Selama empat bulan ini, Alena hanya mencium parfum milik kakaknya saja dan sudah membuatnya bosan.

"Bagaimana kuliahmu?" Gustav menanyakan dengan sorot mata serius. "Kau tak pernah membolos, kan?" Cecarnya kemudian.

"Aku mempunyai banyak tugas, jadi aku pastikan tak punya waktu untuk membolos," ujar Alena tegas. Senyum terulas dari bibirnya saat menyadari kekasihnya ini begitu perhatian.

Gustav menghela napas panjang, "aku ingin memastikan saja, bahwa kau tak tertular dengan semua sifat burukku." Keadaan menjadi hening, Alena berpikir bahwa tidak ada salahnya menjadi pacar seorang Gustav, tapi Gustav jelas tak ingin bila orang lain berpendapat buruk terhadap Alenanya.

"Kau tahu, di penjara kemarin, aku mendapat banyak pelajaran," Gustav berjalan menuju ruang tamu, Alena mengikuti di belakangnya. "Salah satunya, ada seorang anak yang di penjara sebab ketahuan mencuri, padahal, Ia di didik begitu baik oleh orang tuanya. Ia hanya ikut-ikutan, tapi hukum tetaplah hukum." Kening Alena berkerut, terlihat bingung untuk mencerna cerita dari Gustav.

"Kau tahu sendiri bukan, sifat baikku dapat di hitung dengan jari ...," Alena memotong perkataan Gustav dengan tegas.

"Cukup! Aku tak akan memusingkan perkataan orang lain, Gustav. Hal terpenting saat ini adalah kau telah menyadari kesalahanmu sebelumnya, hingga kuyakin, kau akan menjaga sikapmu kelak agar tak masuk lagi ke sana." Pungkas Alena sembari menutup wajahnya, Ia sungguh tak bisa menahan perasaannya. Suara tangis sebisa mungkin Ia tahan, tapi percuma Gustav mengetahuinya dan membawanya dalam dekapan.

***

Terlambat

Satu kata yang tertanam di otaknya saat ini. Alena segera berlari menuju lobby kampusnya dan menuju kerumunan manusia. Yap, terpaksa sekali Ia menggunakan kubus berjalan itu. Sebenarnya, membayangkannya sudah membuatnya pening, apalagi nanti saat berada di dalam sana. Tapi ini sangatlah urgent, ruang perkuliahannya di lantai empat sedangkan sudah tak ada waktu lagi seperti biasanya untuk berlari melalui tangga. So, this is the best way, to meet Mr. Robert today.

Memasuki lift, Alena terdorong pada bagian belakang, padahal Ia telah berusaha agar tepat di depan pintu lift. Pasrah, Ia hanya menutup mata dan menarik napas dalam. Semoga aman terkendali. Rapalnya dalam hati.

Hatinya sebenarnya gelisah, bagaimana jika lampu di lift ini mati. Kejadian yang sangat ingin dilupakannya, kejadian yang hampir merenggut nyawa Alena kecil. Hingga akhirnya, nafasnya terasa sesak. 'Nggak boleh nggak boleh' sugestinya begitu kuat, Alena sungguh ingin melenyapkan rasa traumanya tersebut jauh-jauh.

Kelas usai. Alena sedang tertawa bersama kedua teman se-ganknya. Semudah itu sebenarnya menghapuskan rasa takutnya. Melempar candaan garing dan menyebutnya lelucon terlucu sepanjang abad.

"Eh, pernah denger nggak sih, ada bayi yang bisa abisin air susu gajah dalam sehari?" Alena melempar pertanyaan selagi Ruth dan Magda sibuk dengan ponselnya.

Ruth termenung, sahabatnya ini memang selalu up to date terhadap permasalahan nasional maupun internasional. Tak heran dengan kegemaran membacanya, Ia meraih nilai kuliah yang tinggi. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya Magda menyerah terlebih dulu, "Len, kamu tuh harusnya kasih aku les tambahan, gitu, biar aku pinteran dikit." Tawa Alena tak dapat terbendung. Ruth pun sependapat.

"Jadi, tahu nggak pernah denger berita itu?" Ruth dan Magda kompak menggeleng. Alena tertawa kecil. Sudah menduga bahwa temannya ini terlalu serius.

"Yaa, bayi gajahlah!" Jawabnya santai sembari mempercepat langkah.

Ruth yang terlebih dulu sadar, akhirnya berteriak, "Alenaaaaaa!!!"

***

Sampai di rumah, Alena telah disambut oleh seekor anjing jenis Papilon yang sangat lucu. Dia menduga-duga, siapa yang membawanya. Jujur saja, Ia merindukan masa-masa memelihara anjing, tapi kakaknya tak lagi membolehkan.

"Thor, where are you?" Suara seorang lelaki terdengar, sang anjing pun menggonggong senang saat pemiliknya itu menghampiri.

"Gustav, sejak kapan kau menduakanku begini?" Sembur Alena dengan nada merajuk. Pipinya di cubit oleh Gustav dan mengaduh pelan.

"Tuh, kau lebih sayang kepadanya," kata Alena saat melihat Gustav malah mengelus kepala Thor.

Kekehan pelan terdengar, Gustav mengalihkan pandangannya pada mata biru Alena. "Kamulah satu-satunya yang kucintai Alena, tidak ada yang lain."

Pipi Alena bersemu, Ia begitu yakin dengan lubuk hati terdalamnya. Bahwa perasaannya untuk Gustav adalah murni, walau Ia mengakui Gustav bukanlah laki-laki yang sempurna.

Purwokerto, 12819
By afi Banafsaji

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

World - Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang