1. Arya: Annoying Problem

109K 4.5K 93
                                    


"Kanarya, baby...."

Suara itu.... Oh tidak! Alarm tanda bahaya berbunyi dengan cepat di kepalaku.

Secepat kilat kurapikan beberapa dokumen berisi riset produk baru perusahaan yang tadinya ada di tengah meja lalu menumpuknya ke pinggir meja. Tak lupa kututup laptopku begitu mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke ruangan kantorku.

Mau tahu kenapa aku langsung siaga setelah mendengar suara bernada mesra barusan? Kuberi tahu, aku belajar dari pengalaman, yang mana laptopku dua kali rusak karena jatuh ke lantai akibat tindakan berupa pelukan ekstrem yang dilakukan oleh wanita yang memanggil namaku dengan embel-embel "baby" tadi.

Bukan... bukan. Jauhkan pikiran soal kemungkinan bahwa wanita yang memanggilku barusan adalah pacarku. Sampai saat ini aku masih menyandang status lajang. Oh ayolah, jangan pandang aku dengan sorot mata kasihan. Tidak semua lelaki lajang di usia tiga puluh tahun itu hidup merana.

"Sayangkuuu...."

"Mom, enough. I can't breathe!" Aku berusaha mengurai pelukan, meski setelahnya aku tahu bahwa ada protes yang kuterima.

"Sayang... kok, kamu gitu sih sama Mami?"

Nah, itu protes yang kumaksud. Decakan kesal dibalut suara manja terdengar dari bibir wanita yang telah melahirkanku ke dunia. Jadi, kalian sudah bisa menebak kan, kenapa aku membiarkan wanita tadi ? Benar... karena itu adalah ibuku. Aku belum mau menemani Malin Kundang jadi batu cuma gara-gara durhaka akibat menolak sebuah pelukan.

Aku sekarang mulai berhitung satu sampai lima. Sayangnya, belum sampai lima—baru hitungan ketiga, suara isakan Nyonya Givia Laudya sudah mengusik indra pendengaranku. Oke, sepertinya perkataanku tadi sedikit kasar. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya tidak suka dipeluk seperti tadi.

Isakan Mamiku terdengar semakin keras. Ini berarti kelangsungan hidupku sedang dipertaruhkan. Mau tahu kenapa? Ruangan kantorku dilengkapi CCTV yang terkoneksi langsung ke ruangan Papaku. Dan kalau Papaku sampai menangkap ada hal mencurigakan di ruangan ini, tamatlah riwayatku.

Demi Tuhan, Mamiku itu seorang drama queen yang selalu heboh di setiap keadaan, contohnya sekarang. Beruntunglah karena sampai hari ini aku masih waras dan tahan menjadi anaknya. Satu-satunya cara agar aku selamat, aku harus menenangkan Mamiku, sebelum Papiku melemparkan amarah yang bisa membuat telingaku seperti terbakar.

"Mom, i'm sorry. Jangan nangis. Papi nanti marahin aku lagi. Mami nggak mau kan kalo anak Mami yang ganteng ini dimarahin." Aku berusaha merayu Mamiku agar menghentikan tangisannya.

Mamiku mengusap air matanya dengan punggung tangan. Sungguh tidak elegan untuk wanita sekelas keluarga Anggara. Padahal di mejaku tersedia tisu. "Ya udah, Mami maafin. Tapi ada syaratnya." Mamiku tersenyum misterius.

Syarat? Aku mendengus. Pasti kali ini syaratnya akan membuat hidupku tidak tenang seperti yang sudah-sudah. "Apa, Mi?"

"Mami mau kamu nikah secepatnya."

Kali ini aku mendengus lebih keras, tapi jangan samakan aku dengan kerbau, lembu, atau kuda, karena kami berbeda. Astaga, bicara apa aku? Mari kembali bicarakan tentang Mamiku. Wanita cantik itu menurutku sangat pantas menyandang predikat sebagai drama queen sejati. Karena apa? Karena aku yakin kalau tangisannya tadi hanya akting.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosi yang kini mulai merayapi pikiranku. Selalu saja begini. Lagi-lagi aku tertipu. "Nikah, Mi? Pacar aja aku nggak punya." Aku mengacak rambutku dengan frustrasi. Menikah? Menikah dengan siapa?

"Kenapa? Kamu mau nolak? Kamu nggak kasian sama Mami? Temen Mami udah punya cucu semua. Umur kamu juga udah cukup buat nikah. Ya udah, Mami nggak maafin kamu. Mami bilangin Papi aja sekalian kalo kamu bikin Mami nangis."

Oke, itu adalah ancaman. Aku sekarang menjambak rambutku kuat-kuat. Aku kesal, tapi tidak bisa marah. Dulu saat SMA, aku pernah melupakan ulang tahun Mami hingga Mamiku itu menangis sedih. Papi yang tahu hal itu tidak tanggung-tanggung langsung menyita mobilku selama sebulan hingga aku harus naik kendaraan umum ke sekolah.

Sekarang, jika Papi tahu aku membuat Mami menangis lagi, aku yakin aku akan segera ditendang dari jabatanku sebagai manajer R&D (Research & Development). Tidak.... Tidak.... Membayangkan hidupku akan sengsara karena tangisan Mami tadi, rasanya aku tak sanggup. Aku sangat menyukai pekerjaanku sekarang. Proyek dan riset-risetku yang berharga adalah hidupku. Apalagi, baru-baru ini perusahaan meluncurkan produk makanan beku. Aku tidak mau berpisah dengan mereka. Tetapi menuruti keinginan Mami sepertinya mustahil untukku. "Kenapa aku harus nikah sih, Mi?" tanyaku, gelisah.

"Kamu itu udah tua, sudah tiga puluh tahun. Sudah waktunya menikah. Kamu tahu kenapa kamu harus menikah? Supaya ada yang mengontrol keuangan kamu yang amburadul itu. Lagi pula, sudah saatnya kamu memikirkan hal lain selain riset-riset kamu itu. Mami nggak habis pikir sama kamu, gimana bisa kamu lebih milih proyek dan riset sana-sini daripada perempuan cantik di luar sana."

Sebenarnya, aku cuma perlu menutup telinga, karena ceramah barusan sudah sering kudengar. Oke, usiaku memang sudah matang, tapi belum masuk kategori tua seperti yang Mamiku bilang. Memangnya kenapa kalau di usia segini aku belum menikah? Lagi pula, kenapa juga aku harus menikah cuma karena usia. Aku maunya nanti menikah karena cinta. Bukan karena omongan orang-orang ataupun karena permintaan Mamiku tersayang.

"Kamu pikir Mami nggak tau kalo kamu beli mobil lagi? Boros banget deh kamu. Mami udah bosan ngingetin kamu tau. Jadi sekarang pilih, menikah, dijodohkan, atau semua aset kamu, kami bekukan? Mami tinggal bilang Papi aja sih."

"Yah, Mi. Kok gitu sih?" Menikah, dijodohkan, atau aset dibekukan? Ancaman macam apa itu? Kenapa cuma pilihan pertama yang kedengaran lebih baik? Tapi aku harus menikah dengan siapa? Memangnya cari pendamping mudah apa?

"Ya begitu pokoknya. Kamu itu udah kerja. Masa masih minta uang sama Papi. Memangnya nggak malu? Kamu itu butuh istri yang bisa mengatur keuangan kamu. Kamu harus nikah supaya tau gimana rasanya punya tanggungan. Dengan punya istri, kamu akan belajar gimana menggunakan uang dengan baik. Nggak asal beli ini itu seenaknya."

Ya, harus kuakui jika meski sudah bekerja, aku masih menggunakan fasilitas dari orang tuaku. Tetapi, tidak salah, kan? Itu kan milik orang tuaku sendiri. Sebagai anak, aku memiliki hak untuk itu.

Kalau dipikir lagi, aku harus mengakui bahwa semua ucapan wanita yang sudah melahirkanku itu benar adanya. Memang benar bahwa selama ini aku terlalu boros. Aku menghambur-hamburkan uang tanpa berpikir. Contohnya kemarin, seorang temanku yang memiliki showroom mobil, menginformasikan bahwa Maserati GranCabrio yang waktu itu kuincar, sudah ready stock. Lalu, tanpa pikir panjang lagi, aku langsung membelinya. Senang sekali rasanya mendapatkan sesuatu yang diimpikan.

"Arya.... Kamu denger Mami ngomong nggak sih?"

Aku tersentak mendengar nada tinggi yang lolos dari bibir Mamiku. Well, sepertinya aku sedikit melamun tadi. "Denger, Mi. Ya udah, aku pertimbangin permintaan Mami tadi."

"Beneran ya?" Sejurus kemudian Mamiku melonjak kegirangan. "Kamu harus bawa pasangan kamu ke resepsi Livia minggu depan." Mami memelukku dengat erat, lagi. "Mami ke ruangan Papi dulu. Bye, Kanarya baby."

Aku hanya melongo mendengar ucapan Mami. Sepertinya tadi aku hanya mengatakan akan mempertimbangkan, bukan menyetujui. Lalu kenapa Mami langsung kegirangan seperti itu? Aneh sekali.

Tunggu sebentar.... Membawa pasangan ke pernikahan Livia? Minggu depan? Yang benar saja? Seminggu? Dari mana aku dapat pasangan dalam waktu seminggu? Kecuali ada bidadari turun dari kayangan khusus untukku. Baru aku bisa memenuhi keinginan Mami. Aku hanya bisa berharap ada keajaiban sekarang. Semoga saja ada.

***


Online Wedding (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang