5 Oktober 2018
20:00
Hari ini berbeda dari biasanya. Apa yang membuatnya berbeda? Apa karena aku mendapat tugas baru? Mendapat pacar baru? Bukan. Bukan itu. Badanku terlalu lemas untuk digerakan.
Dari kemarin malam, aku tidak dapat tidur dengan tenang. Tidak percaya? Jika saja aku nyata dan berada di depan kalian, maka kalian akan melihat wajah frustasiku. Entah apa yang membuatku seperti ini. Apa karena pria Arab itu? Entahlah.
Tadi siang, aku dengar dari Kevin bahwa unit kami akan dipindah tugaskan ke kota lain. Lebih tepatnya, negara lain. Kata mereka, tentara PBB disana butuh bantuan. Jadi divisi kamilah yang akhirnya dipilih untuk dipindahkan sementara.
Sampai detik ini, aku belum tahu akan dipindahkan kemana. Kepalaku masih menampilkan serpihan detik-detik meninggalnya pria Arab itu. Sial. Aku tidak dapat tenang. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa bekerja?
Aku pikir akan memakan cukup waktu yang lama untuk menghilangkan trauma ini. Sangat lama. Sama... sama seperti ketika aku kehilangan... ah. Lebih baik kita tidak membahasnya.
Malam ini hujan menemaniku sementara yang lain sudah tertidur lelap. Agak aneh rasanya di tempat seperti ini ada hujan. Ya, cukup aneh. Namun titik-titik air itu seakan membawaku kembali ke masa lampau. Masa yang sangat jauh.
Saat itu aku duduk di sebuah restoran cepat saji. Aku ingat, saat itu memakai sweater putih lengan panjang, celana jeans, dan sepatu kets hitam. Aku tidak sendiri saat itu. Aku duduk bersama Lily dan Argon. Mereka menemaniku.
Restoran ini memang menjadi tempat favorit bagi kami. Karena jaraknya hanya beberapa meter dari kampus, membuat tempat ini banyak di kunjungi mahasiswa. Saat itu, Argon yang merupakan penggemar berat DC comics sedang membaca komik Batman. Sementara Lily? Dia sedang sibuk dengan laptopnya.
"WIHH!!" Teriak Argon. "Keren neh issue yang ini! Gue suka banget!"
Lily yang sedari tadi fokus dengan kerjaannya, terkejut bukan main. Dengan entengnya, dia memukul kepala Argon. "Berisik lu! Bikin kaget gue aja ah!"
"Ish! Sakit Li!" Protes Argon.
"Lu tuh ya, kalau baca komik kudu tenang kek. Gak usah buat orang kaget. Ngeselin tau gak?"
"Ya maap Li. Gue kan gak-"
"- Gak sengaja" Ledek Lily. "Kebiasaan."
"Heeh. Udah udah." Kataku yang lalu memperhatikan cuaca saat itu. Mendung. Aku ingat betul. Saat itu mendung. "Awannya gak enak nih. Balik ke kampus yo."
"Eh iya ya. Mendung." Kata Lily.
"Balik deh. Ayo." Ajak Argon.
Saat itu, Argon hanya mempunyai sebuah mobil honda civic tua. Entah itu keluaran tahun berapa. Dua ribu dua mungkin? Entahlah. Tapi yang pasti dan yang aku ingat, mobil itu menyebalkan. Dan merepotkan.
Ketika kami hendak memasuki parkiran kampus, mobil itu tiba-tiba berhenti. Argon panik setengah mati karena mobil dibelakang kami mulai membunyikan klaksonnya. Sementara Lily sibuk menggerutu.
"Nih. Mobil lu ketuaan nih! Ganti kek. Orang kaya juga lu!"
"Sembarangan aja kalau ngomong lo, Li! Ini pemberian opa gue." Balas Argon.
"Eh, Argon. Lu itukan orang kaya. Ya ganti kek. Memang mesti banget ya lu pake ini mobil? Kasian juga lu nya. Ini mah di rawat aja dirumah."
"Udah udah ah." Aku mencoba melerai. "Udahlah. Mending gue dorong ini mobil. Oke? Nanti jangan lupa di starter ya, Argon."
"NAH tuh! Gue setuju sama Liki! Bertindak. Bukan cuman nge-bacot aja." Argon menatap sinis pada Lily.
"Yee. Gendut. Berisik." Balas Lily.
Aku keluar mobil dan mencoba untuk mendorongnya. Tapi anak-anak di belakang kami sungguh berisik. Memang sih mobil sedan mereka lebih bagus dan sporty, tapi klakson mereka, cemoohan mereka, seakan tiada henti. Membuat aku benar-benar muak dan terpaksa menghampiri mereka.
Di dalam mobil itu, terdapat tiga orang pria dan satu perempuan. Mereka dari klub basket. Si perempuan sendiri sepertinya dari cheerleader. Ah. Tipikal anak-anak kaya yang manja.
"Hei. Kalian bisa tenang?"
"Ops. Sorry bro." Ucap salah seorang.
"Lagian mobil tua aja masih dipelihara." Ledek yang lain.
"Kalian mau berhenti memainkan klakson dan turun membantu atau terus membuyikannya?"
"Eh. Maaf bang. Maaf." Kata mereka serempak.
Aku berjalan kembali menuju mobil Argon. Tetapi baru beberapa langkah, anak-anak itu kembali mencemooh dan membuat keributan dengan klakson mereka. Malah, semakin menjadi.
Saat itu aku ingin sekali memukul mereka dengan keras tepat dimukanya. Tapi langit berkata lain. Hujan mulai turun dan aku harus cepat-cepat mendorong mobil itu.
Suara seorang perempuan terdengar dari balik derasnya hujan yang turun. "Sini, gue bantu."
Dia adalah perempuan yang tadi bersama anak-anak kaya itu. Aku cukup terkejut dengan tindakan dia yang berani keluar dari zona nyamannya dan membantuku mendorong mobil tua Argon. Kami mendorongnya dan berhasil membuatnya menyala.
"Terima kasih ya... uhmm..."
"Kinan. Panggil gue Kinan. Lo Liki kan? Anak Manajemen?"
"Ya ya. Gue anak mana-" Belum sempat aku menyelesaikannya, hujan turun makin lebat. Membuat kami harus mencari tempat berteduh bersama-sama.
Kami berlari menuju pos satpam sementara Argon dan Lily terjebak di mobil tanpa ada payung.
"Wah. Jadi basah banget nih. Maaf ya, ngerepotin, Kinan." Ucapku.
"Iya gak apa-apa kok. Udah lama juga sih gue gak main hujan." Ucapnya sambil tersenyum. "Jadi kita gak bisa ngapa-ngapain deh."
"Iya nih. Gak bisa ke kelas juga."
"Yaudah. Kita disini aja dulu sambil menikmati hujan. Uh, Ki, gapapa kan kalau gue rada nyender?"
"EH! Tapikan baju gue agak basah nih. Gapapa?" Tanyaku.
"Iya gapapa. Gue agak..."
"Kedinginan?" Kataku sambil memperhatikan gerakan tubuhnya yang memang sudah mulai menggigil. Saat itu, dia memang hanya memakai kaos.
Aku membuka sweater dan memberikannya kepada Kinan dengan harapan dia tidak akan masuk angin saat itu. "Ini. Pake aja dulu."
"Eh?"
"Iya. Gapapa kok pake aja. Daripada lo kedinginan kan?"
"Makasih ya." Jawabnya sambil memakai sweater milikku.
Disanalah kami. Di depan pos satpam sambil menikmati hujan pada hari itu. Kadang kami bercanda, kadang kami malah berkhayal yang tidak-tidak. Dari situlah aku tahu bahwa tidak semua perempuan yang populer di kampus itu menyebalkan. Hmm. Sungguh kenangan yang sulit dilupakan.
Ketika hujannya mulai reda, barulah kami kembali ke kelas masing-masing. Dan setelah hari itu, aku merasakan bahwa Kinan semakin terus memperhatikanku dengan cara yang sama seperti aku memperhatikannya. Namun ada satu hal yang menurutku sangat menggemaskan. Karena hingga kini, sweater putih itu tidak pernah kembali kepadaku.
Ah. Hujannya belum reda disini. Lebih baik aku tidur sekarang karena besok, akan menjadi hari yang berat.
YOU ARE READING
Catatan Hati Prajurit Cadel
РазноеUh, Hai. Namaku Riki. Aku makhluk buatan seorang mahasiswa frustasi yang sudah lama terpendam dalam folder. Bekerja sebagai seorang prajurit, menempatkan diri antara hidup-mati sudah menjadi keseharian. Aku mulai terbiasa dengan peluru yang mendesi...