Dua

3K 82 0
                                    

Terhitung dalam seminggu, Ana dan dua temannya, Kelly dan Karina, sudah tiga kali melabrak anak kelas sepuluh. Alasannya bermacam-macam, yang pertama adalah karena mencibir, yang kedua karena memakai lipstick yang terlalu merah dan yang ketiga karena memakai sepatu berwarna pink. Tapi kini mereka malah menambah jumlah masalah.

Di depan kelas 10-3, Kelly dan Karina tengah memojokkan seorang cewek karena mengenakan rok yang terlalu pendek. Padahal jika dilihat lagi, rok yang dikenakan oleh cewek itu masih wajar ketimbang yang dikenakan oleh Ana.

"Sadar di mana kesalahan lo?" desis Kelly di dekat wajah cewek itu.

"Selesain aja sekarang deh, Kel," desak Karina yang nampaknya sudah mulai bosan. Dia berdiri di sebelah Kelly. "Menurut lo gimana, Ana?"

Ana yang sedari tadi hanya duduk diam di bangku depan kelas seraya memerhatikan kukunya, mendesah malas. "Gue lagi males nih. Bosen rasanya." Dialihkannya pandangan ke arah lain.

Ana melihat beberapa murid kelas sepuluh menatap takut-takut ke arahnya. Kegiatan melabrak seperti ini sudah menjadi pemandangan biasa, karena Ana dan dua temannya memang menjadikan hal ini sebagai sebuah hobi. Lagian siapa yang bisa menghentikannya? Guru saja tidak berani.

Kelly makin membentak murid kelas sepuluh itu yang hanya bisa berdiri kaku seraya menunduk. Sementara itu, Karina juga nampak memberikan ucapan pedasnya. Hanya Ana yang tidak bersemangat.

Bahkan sejak pagi dia sudah tidak mood bersekolah. Ajakan makan dari Glenn dan Darren juga ditolaknya.

Ana menoleh ke arah lain, seketika matanya memicing dan bibirnya tersenyum tipis. Di ujung lorong, ada seorang cowok yang sedang berjalan. Wajahnya ditutupi oleh kacamata. Seragamnya terlihat rapi tanpa cela.

"Udah absen hari ini, Stiff?" tanya Ana dengan nada mengejek.

Cowok itu berhenti tepat di depan Ana. Melirik ke arah Kelly dan Karina sebelum kembali menatap lurus ke depan. "Seharusnya kamu cari arti kata absen terlebih dahulu," balasnya datar.

Ana mendecih. "Ya, ya, gue tau. Stiff yang pinter, juara umum dan jadi kesayangan sekolah." Ana bangkit dari duduknya menghampiri cowok itu.

"Arga. Saya punya nama."

Ana menaikkan satu alisnya lalu tertawa sinis. "Gue gak perlu nama lo. Arga itu terlalu bagus, lo tau kan?"

Cowok itu, Arga, menoleh. "Tapi itulah nama saya."

"Ah terserah. Tapi gue lebih suka manggil lo Kaku. Inget itu, Kaku!"

"Sebaiknya kamu ke kelas, jangan membuang tenaga."

"Bukan urusan lo juga! Gak usah sok peduli sama orang lain. Urus aja urusan lo sendiri."

"Saya manusia dan saya punya rasa manusiawi, bukan seperti kamu."

Kedua mata Ana melotot tajam. Berani-beraninya Arga mengatainya demikian. "Tapi sayangnya, gue nggak punya kehidupan monoton kayak lo!" Telunjuk Ana mengetuk dada Arga. "Kaku!"

Arga menatap pada telunjuk Ana di dadanya itu sesaat, lalu kembali menatap pada wajah Ana. "Kamu terlalu jauh padahal kamu tidak tau apa yang kamu pijak." Setelahnya Arga berjalan menjauh dari sana.

"Brengsek!" maki Ana kencang. "Lo pikir lo siapa hah? Dasar orang kaku! Brengsek!" Ditendangnya kotak sampah yang berada di dekatnya itu.

"Udah deh, An. Cowok kaku kayak gitu lo jabanin," ucap Karina.

"Lupain aja deh si Arga. Gue juga gak suka sama cowok itu," timpal Kelly yang sudah selesai menyudutkan murid kelas sepuluh tadi.

Ana melipat kedua tangannya di depan dada. Nafasnya menderu tak teratur.

Arga adalah murid kelas dua belas, termasuk dalam jajaran murid pintar dan juga jadi kesayangan sekolah. Tapi bagi Ana, Arga tak lebih dari sekadar orang kaku yang jarang bergaul. Arga juga tidak masuk dalam kriteria cowok ideal bagi Ana. Arga sangat jauh dari kata standar, dan selamanya Ana juga tidak mau menargetkan Arga. Siapa yang mau dekat dengan orang kaku yang hampir setiap hari belajar itu?

Itulah yang kadang membuat Ana suka sekali menggangguArga. Namun seharusnya Ana juga paham akan resikonya.

Take My Hand✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang