Sinar matahari menyelisik di sela-sela gorden, memunculkan garis tipis dan menandakan hari semakin siang. Aku bangkit dari kasur, berjalan pelan dan menyibak gorden, cuaca hari ini sangat indah.
Meskipun tidak pernah bisa merubah suasana hatiku menjadi lebih baik.
Aku bangun masih dengan rutinitas yang sama, mandi, berdoa dan memasak.
Aku melakukan bukan untuk tujuan yang lain, hanya untuk diriku dan Theo. Kami sudah tinggal bersama sejak nisan Ibu berdiri tegak di pemakaman keluarga dan itu terjadi sekitar tujuh bulan yang lalu.
Kami berada di rumah yang sama, tapi atmosfer yang berbeda.
Ia tak pernah sekalipun menganggapku ada.
“Sarapan sudah siap,” ucapku sambil mengetuk pintu kamarnya yang berada di seberang kamarku. Pintunya berwarna putih karena ia begitu menyukai warna tersebut.
Setiap hari aku melakukannya, berharap ia mau duduk di meja makan yang sama denganku. Tapi, Theo tidak pernah sekalipun menghargai semua usahaku.
Ia keluar dari kamarnya, menenteng tas hitam yang kini sudah mulai keabu-abuan.
“Aku membuatkanmu roti panggang dengan selai kacang,” ucapku berusaha menghentikan langkahnya.
Lagi-lagi ia menatapku dengan wajah datarnya itu, ia ingin mengatakan sesuatu tapi selalu urung dilakukan.
“Tolong,” lirihku.
Theo berbalik membelakangiku, berjalan lurus menuju pintu dan menghilang di baliknya.
Seperti hari-hari sebelumnya, ia mengacuhkanku.
ⒶⓂⒷⒾⓋⒺⓇⓉ
Nara mengetuk-ngetuk mejanya, menunggu jawabanku atas apa yang telah dilihatnya tempo hari, buku tulisku—ia membaca hampir keseluruhan apa yang kutulis di sana.
“Kenapa kau tidak pernah mengatakan-nya padaku? Kita ini teman atau apa?”
Ucapan-nya membuatku meringis, kami berteman lama sekali, dan ini hal pertama yang kurahasiakan darinya.
Bagaimana aku memulai semuanya? Dengan mengatakan ini terjadi karena sebuah perjodohan? Atau permintaan terakhir seorang Ibu di detik-detik akhir hidupnya?
Lagipula kalau aku bercerita, itu akan mengundang kemarahan Theo. Ia mengatakan untuk menutup mulutku.
Meski berita pernikahan kami tersebar seantero sekolah, memangnya mereka akan percaya?
Karalius Theo Youngstown.
Tipikal cowok pendiam yang menimbulkan kesan keren dan misterius, sering diisukan sebagai kekasih si anak kepala sekolah, Kimmy Yerim.
Tidak mungkin mereka memercayai kalau hubungan kami, lebih dari sekadar pacaran.
“Lisa? Jangan katakan apa yang kulihat kemarin itu benar?”
“Kau tidak salah,” ucapku di dalam hati.
“Lisa?”
Aku menggeleng lemah, “Maaf,” lirihku.
Nara menatapku tidak percaya, ia sempat menghentakkan tangan-nya dan menciptakan bunyi yang cukup nyaring.
“Kupikir kita adalah teman dekat.”
Jadi—ini adalah hari di mana pertemanan yang kami jalin mengalami keretakan, Nara meninggalkanku sendirian.
Entah pertemanan ini akan kembali rekat seperti semula atau tidak, kuharap ini tidak akan berlangsung lama, karena hanya Nara yang kumiliki.
Sahabat yang sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri.
Ambivert
Maret, 10 2019
20:20