“Kau ingin aku melakukan-nya?”
Theo menatapku datar, mengangkat sebelah alisnya, lalu ia mempersilahkanku berjalan mendahuluinya dan duduk di samping Mama Teresa—wanita lanjut usia yang sudah menjadi sahabat Ibu sejak kecil dan kini juga menyandang status sebagai Ibu mertuaku.
Mama Teresa tersenyum ramah seperti biasanya, “Baru pulang, Lis? Loh—Theo jangan berdiri di sana, duduk di sini,” ucapnya sambil menunjuk tempat kosong di sampingku.
Theo bergerak lambat, aku tahu—ia tidak suka berada di ruangan yang sama denganku apalagi berdekatan seperti ini. Benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman.
“Ma? Punya waktu sebentar?” ucapku tanpa basa-basi dan mengundang seluruh perhatian penghuni rumah ini.
Bahkan Theo, ia terkejut dengan ucapanku—mungkin ia tidak menyangka kalau aku akan mengucapkan-nya secepat ini.
Karena dia sudah memutuskan, dan kami benar-benar tidak mempunyai alasan lagi untuk memertahankan hubungan ini. Meskipun sebenarnya aku masih memiliki satu alasan kuat.
—aku masih mencintainya, masih berharap ada perkembangan dalam hubungan yang tidak lebih baik dari perang dingin antara saudara.
Tapi takdir tidak memberikan satu-pun jalan agar kami tetap bersama. Mungkin Tuhan masih memiliki cara lain agar kami bahagia.
“A—aku dan Theo, um, kami—”
Aku merutuki diriku sendiri, kenapa bisa tiba-tiba gagap seperti ini? Apa yang terjadi padaku? Kenapa?
“Aku, maksudnya kami—kami, akan—”
Mama Teresa menatapku dengan alis terangkat tinggi, persis seperti yang Theo lakukan beberapa saat lalu—jadi kebiasaan itu, berasal dari Mamanya.
“Tarik nafas, ucapkan saja pelan-pelan,” ucap Mama Teresa.
Aku mengangguk, ku yakinkan diriku sendiri, semua ini demi kebahagiaan masing-masing—Theo akan bahagia tanpaku dan aku? Setidaknya aku tidak merasa diacuhkan lagi karena orang yang mengacuhkanku akan pergi dari hidupku.
Mungkin.
Tapi—kenapa rasa terlalu sulit?!
Kenapa hatiku tidak yakin untuk melepaskan hubungan ini?
Theo, dia hanya membuatku merasa sakit—kenapa hatiku tidak mau melepaskan rasa sakit ini. Kenapa ia justru menginginkan agar terus bertahan.
Senyum Mama Teresa juga menghantui pikiranku, aku menyukai senyum hangat itu. Bagaimana aku bisa mengecewakan-nya?
Kuharap seseorang bisa meyakinkan diriku.
“Kami sepakat untuk berpisah.”
Bukan—bukan aku yang mengucapkan-nya, tapi Theo. Ia sendiri berbicara dengan gamblang dan ya, ini adalah akhirnya.
Bagaimana aku bisa berharap pada hubungan yang bahkan tidak diinginkan oleh salah satu pihak? Seharusnya aku tidak berharap banyak.
Terutama pada Theo.
Ambivert
Maret, 12 2019
07:33