"DANCE"

161 24 0
                                    

ENJOY READING!
.
.
.

"Woojin!" Aku memanggil Woojin yang tengah bermain basket di lapangan sambil melambaikan tangan.

Woojin yang melihatku segera menaruh bola basket di tangannya lalu menghampiriku dengan berlari kecil. Dengan napas terengah dia bertanya, "Apa?"
"Tada!" Aku menunjukkan brosur yang tadi kuambil secara diam-diam dari papan pengumuman saat pulang sekolah.

Dahi Woojin mengerut begitu membaca isi brosur di tanganku. "Itu apaan?"
"Di situ ada tulisannya, 'kan? Dance competition."
"Terus?"
Aku cemberut. "Lo nggak mau ikutan? Lo kan jago dance tuh. Siapa tahu lo bisa menang, 'kan? Masalah latihan lo bisa minta tolong pembina ekskul dance, 'kan?"

Woojin menatapku datar. "Nggak," katanya sembari duduk di bangku dan menegak minumannya.
Aku menghela napas lalu menghampiri Woojin.

"Ayolah. Masa lo nggak mau ikut? Sayang 'kan bakat terpendam lo nggak dikembangin. Siapa tahu di masa depan bisa bikin lo sukses." Woojin bergeming. "Nanti kalo lo mau ikut, gue janji deh bakal temenin lo latihan terus."
Woojin menatapku begitu mendengar kalimat terakhirku. "Beneran?"

Aku tersenyum.

Begitulah aku berakhir di studio ini sambil menatap Woojin yang sedang berlatih. Sebenarnya, aku sedikit menyesal menyuruhnya mengikuti kompetisi itu. Woojin jadi lebih sering tidur di bus saat pulang. Aku jadi tidak bisa menceritakan hal-hal di kelas padanya seperti biasa.

Woojin dan aku sudah bersahabat sejak kecil. Baru saat masuk SMA ini aku dan Woojin berbeda kelas. Makanya aku dan dia sering bertukar cerita ketika pulang bersama. Tapi sekarang aku merasa jauh dari Woojin meskipun setiap hari bertemu.
"Mikirin apa sih? Serius banget." Woojin tiba-tiba sudah di sampingku.

Aku menggeleng. "Udah selesai latihan lo?"
Woojin mengangguk. "Ayo pulang," katanya sambil mengambil tasnya lalu meninggalkan studio.
Aku menatap punggung Woojin yang semakin menjauh sambil menghela napas. Ya. Dia pasti lelah. Aku harus mendukungnya. Bagaimanapun, dia seperti ini karena aku yang menyuruhnya, 'kan? Aku mengangguk pada diriku sendiri lalu menyusul Woojin.

Hari ini pun, Woojin tertidur di dalam bus. Matahari sudah hampir tenggelam. Aku menatap Woojin yang terlelap sambil memeluk tasnya. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya tapi waktunya tidak pernah tepat. Kadang, aku ingin menyuruhnya berhenti saja, tidak perlu mengikuti kompetisi itu. Terdengar tidak konsisten memang, tapi aku tidak tega melihatnya seperti ini, juga tidak ingin semakin jauh darinya.

Aku memutuskan untuk bicara dengan Woojin keesokan harinya saat makan siang. Aku duduk di depan Woojin yang tengah asyik memakan makanannya. Aku sedang mempertimbangkan harus bagaimana mengatakannya pada Woojin. Tanpa sadar, aku menghela napas pelas. Woojin memandangku begitu mendengar helaan napasku.
"Lo kenapa, y/n?" tanyanya dengan mulut setengah penuh.

Aku menggeleng pelan. "Nggak. Cuma ngerasa lo akhir-akhir ini jadi lebih pendiem aja."
Woojin mengedipkan matanya. "Gue kayak gitu?" tanyanya yang kubalas anggukan.
Woojin tertawa kecil kemudian melanjutkan makannya.
"Woojin," panggilku.
"Hm?"
"Lo nggak bisa berhenti latihan dance gitu, Jin?"
Woojin meletakkan sendok makannya dan menatapku serius. "Maksud lo apa?"
Aku menggigit bibir bawahku berusaha menyusun kata-kata yang akan kuucapkan. Ditatap Woojin seperti itu membuat telapak tanganku basah dan jantungku berdegup kencang.

"Ya maksud gue lo nggak perlu ikut dance competition itu lagi." Aku menatap Woojin hati-hati.
Woojin menatapku kecewa. "Kalo lo masih mau ngomongin ini, mendingan nggak usah temuin gue lagi."

Woojin pergi begitu saja setelah berkata seperti itu padaku. Dia bahkan meninggalkan makanan yang belum separuh ia makan di meja. Aku tidak mampu bergerak apalagi mengejarnya. Perlahan, rasa sesal menjalar di hati.

SELASAAN BARENG WOOJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang