🌹 IX

129 32 0
                                    

30 September 2021.
Galleria forret. Seongsu-dong Seoul.

"Selamat hari pertemuan kita ke-11 tahun," seru Guanlin mencium kedua pipi pucat Hyeongseob saat terbangun pagi ini. "Aku semakin mencintaimu, sayang."

Hyeongseob memandang Guanlin yang tersenyum bahagia. Wajahnya begitu polos, tak berubah walau sekarang dia sudah menjadi bintang besar dengan kekayaan yang cukup melimpah. Dia menjadi penyanyi pendatang baru terbaik tahun lalu. Tak terhitung tawaran kontrak iklan yang datang padanya. Dia seakan menjadi anak lelaki kesayangan di negeri ini.

Dia yang begitu bersinar tanpa pernah dia harapkan membuat Hyeongseob selalu iri.

Walaupun cinta Guanlin pada Hyeongseob belum berubah, tapi Hyeongseob merasakan hidup ini menjadi sangat buruk ketika elu-eluan dari masyarakat tertuju pada Guanlin. Begitu banyak pujian, sanjungan yang diberikan padanya membuat Hyeongseob yang selalu disisi Guanlin bagaikan batu kali yang tak berharga.

Hyeongseob yang selalu d isamping Guanlin, dikenal hanya sebagai asisten yang membantu membawakan pakaiannya. Bukan sebagai orang yang dulu hampir menjadi penyanyi. Hyeongseob merasa malu, rendah diri ketika berada di sisi Guanlin yang selalu dipenuhi cahaya.

Ingin pergi tapi Guanlin tak pernah membiarkan. Selalu menemukan Hyeongseob ke manapun Hyeongseob menghindar. Guanlin begitu mengikat Hyeongseob . Tak melepaskan ataupun mengendurkan tali kekang yang dikaitkannya di leher Hyeongseob.

Hyeongseob merasa frustrasi dengan kekangan Guanlin padanya. Hyeongseob berpikir, paling tidak jika Guanlin tak mau melepaskan Hyeongseob, kenapa dia tak membiarkan dunia tahu status Hyeongseob sesungguhnya disisinya? Kenapa dia membiarkan saja semua orang mengenal Hyeongseob sebagai asisten pembawa pakaiannya. Bukan kekasihnya?

Hyeongseob tahu, itu karena Guanlin takut pamornya turun. Takut kejayaannya memudar. Takut hinaan karena memiliki orientasi seksual yang menyimpang, terlebih kekasihnya pun pincang.

Nah, Paling tidak jika dia merasa takut, kenapa dia tak melepaskan Hyeongseob. Membiarkannya pergi!

Tapi segala derita batin ini hanya bisa Hyeongseob pendam. Merasakan sakitnya seorang diri. Pasrah pada keegoisan Guanlin yang tidak pernah mau melepasnya.

"Hari ini aku tak ada jadwal. Kita bisa seharian bersama. Bersenang-senang berdua. Sungwoon hyung sudah kusuruh pergi. Hari ini, tak akan ada yang mengganggu kita." Seru Guanlin penuh keceriaan.

Guanlin duduk di sisi ranjang, masih membelai wajah Hyeongseob yang masih tidur-tiduran.

"Aigoo, Seobie-ya. Kenapa kau terlihat malas sekali. Ayo bangun..." Guanlin menggelitik tubuh Hyeongseob . Tertawa lepas mencoba mencandai.

Hyeongseob bangkit dari pembaringan. Memukul kedua tangan Guanlin yang menggelitiki. Hyeongseob kesal sekali. Tapi Guanlin tetap tertawa, mungkin mengira Hyeongseob marah pura-pura. Hyeongseob lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Guanlin berhasil menyusul sebelum Hyeongseob menutup pintu. Memeluk tubuh mungil Hyeongseob , mencium tengkuknya. Lalu membisikkan kata-kata yang membuat Hyeongseob merinding.

"Aku ingin memandikanmu pagi ini..."

Hyeongseob berendam di bathub, sementara Guanlin menggosok punggungnya sembari bersenandung. Hyeongseob akui, suaranya sangat indah. Sejak di panti, Guanlin selalu ditunjuk untuk menyanyi solo setiap ada perayaan. Jika dibandingkan dengan Hyeongseob, sungguh level suara Hyeongseob masih di bawahnya. Tapi, menjadi penyanyi adalah impian Hyeongseob. Bukan impian Guanlin. Lantas kenapa dia yang harus mendapatkannya?

Tiap kali teringat kembali hari di mana Hyeongseob mengalami kecelakaan saat itu juga Hyeongseob begitu ingin mendorong Guanlin untuk jatuh dari mansion mereka yang berada dipuncak paling tinggi gedung apartemen ini.

Andai saja hari itu Hyeongseob tak menerima ajakan kencan Guanlin . Hyeongseob tak akan bernasib setragis sekarang. Dia tak akan cacat. Dia yang akan menjadi penyanyi. Bukan Guanlin!

"Sayang, apa yang kau pikirkan?" tanya Guanlin membuyarkan lamunan Hyeongseob.

"Aku hanya berpikir, andai saja hari itu kita tak berjanji untuk kencan. Aku tak menyebrang jalan menuju bioskop tempat kita akan menonton, aku pasti tak akan tertabrak mobil yang dikendarai pengemudi mabuk itu..."

"Kau tahu, ini adalah takdir." bisik Guanlin bijak.

"Takdir?" Hyeongseob menertawakan kata itu.

"Apa kau membenci takdir?"

Hyeongseob tak menjawabnya. Dia keluar dari bathub, mengambil handuk untuk menutupi tubuh telanjangnya. Kembali ke kamar dan menangis di ranjang.

'Asal kau tahu Guanlin. Aku sangat membenci kata-katamu itu. Takdir? Yang benar saja. Segala yang terjadi padaku bukan karena takdir. Tapi karena kesialan akibat kau memenuhi hidupku.'

'Aku sudah tak mempercayai apapun lagi semenjak kau membohongiku tentang debutmu setahun yang lalu. Aku sudah tak percaya pada takdir Tuhan. Aku juga tak mempercayai perasaan cintamu lagi.'

'Yang aku percayai sekarang hanyalah, betapa setiap detik rasa benci selalu tumbuh di hatiku. Rasa benci kepadamu...'

Don't Say Goodbye [Guanseob] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang