00. Prolog

11 1 0
                                    

PROLOG

BAYANG-BAYANG KETAKUTAN

Angin melolong menerobos malam, membawa bau yang akan mengubah dunia. Shade yang jangkung itu mengangkat kepala dan mengendus-endus udara. Ia tampak mirip manusia kecuali rambut dan matanya yang merah. Ia mengerjapkan mata dengan terkejut. Pesannya benar: mereka ada di sini. Atau ini jebakan? Ia mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan, lalu berkata dengan nada sedingin es, "Menyebar; sembunyi di balik pepohonan dan sesemakan. Hentikan siapa pun yang datang... atau mati." Di sekelilingnya berhamburan dua belas Urgal bersenjatakan pedang pendek dan perisai besi bulat yang dicat simbol hitam. Mereka mirip manusia dengan tungkai kaki yang berbentuk O dan lengan yang besar dan kekar untuk menghancurkan. Sepasang tanduk meliuk di atas telinga mereka yang kecil. Monster-monster itu bergegas masuk ke sesemakan, menggeram-geram sambil bersembunyi. Tidak lama kemudian bunyi gemeresik itu menenang dan hutan kembali sunyi. Shade tersebut mengintip dari balik sebatang pohon besar, memandang ke jalan setapak. Cuaca terlalu gelap bagi manusia mana pun untuk bisa melihat, tapi baginya cahaya bulan yang suram bagaikan cahaya matahari yang menerobos sela-sela pepohonan; setiap rincian terlihat jelas dan tajam dalam tatapannya yang mencari-cari. Ia tetap diam di luar kewajaran, sebilah pedang panjang dan pucat ada dalam genggamanya dengan erat. Guratan setipis kawat meliuk-liuk di sepanjang mata pedang. Senjata itu cukup tipis untuk ditusukkan di antara sepasang tulang rusuk, tapi cukup kokoh untuk membacok hingga menembus perisai yang paling keras. Urgal-Urgal tidak bisa melihat sebaik Shade; mereka meraba-raba apapun yang ada didepannya untuk memastikan jalan untuk mereka malam itu, kerepotan dengan senjata masing-masing. Burung hantu menjerit, membelah kesunyian. Tidak ada yang merasa rileks hingga burung itu terbang pergi. Lalu monster-monster tersebut menggigil dalam malam yang dingin; salah satunya mematahkan sebatang ranting dengan sepatu botnya yang berat. Shade itu mendesis marah, dan Urgal-Urgal tersebut menyurut mundur, tidak bergerak. Shade itu menahan kejijikannya terhadap boneka-boneka suruhannya.mereka bau seperti daging busuk dan berbalik. Mereka hanya alat, tidak lebih. Shade itu menekan ketidaksabarannya saat menit-menit berubah menjadi jam-jam. Bau itu pasti telah melayang jauh mendului pemiliknya. Ia tidak mengizinkan Urgal-Urgal itu bangkit atau menghangatkan diri. Ia juga menolak kemewahan itu bagi dirinya sendiri, dan bertahan di balik pohon, mengawasi jalan setapak. Angin malam kembali berembus menerobos hutan. Baunya kali ini lebih kuat. Dengan penuh semangat, bibir tipisnya terangkat membentuk seringai. "Bersiaplah," bisiknya, iya bergetar. Ujung pedangnya bergerak-gerak membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ia telah menyusun terlalu banyak rencana dan mencurahkan terlalu banyak tenaga untuk menunggu dan tiba di saat ini. Tidak ada gunanya kalau kehilangan kendali sekarang. Mata para Urgal di bawah alis yang lebat bersinar makin terang, dan makhluk-makhluk itu mencengkeram senjata mereka masing-masing dengan lebih erat. Di depan mereka, Shade mendengar dentingan saat benda keras menghantam batu yang lepas. Sosok-sosok samar mulai muncul dalam kegelapan malam dan bergerak menyusuri jalan setapak. Tiga ekor kuda putih beserta dengan penunggangnya berjalan perlahan-lahan menuju penyergapan, kepala mereka terangkat tinggi dan bangga, mantel mereka bergelombang dalam cahaya bulan seperti perak cair. Di kuda pertama duduk elf dengan telinga lancip dan alis yang melengkung anggun. Sosoknya ramping tapi kuat, seperti pedang rapier. Sebatang busur yang kuat tersandang di punggungnya. Sebatang pedang menempel di sisi tubuhnya sementara di sisi lain terdapat setabung anak panah dengan bulu-bulu angsa. Penunggang terakhir memiliki wajah yang sama bersih dan serba lancip seperti rekannya. Ia membawa tombak panjang di tangan kanan dan belati putih disabuk. Ia mengenakan helm yang sangat bagus, dipenuhi batu amber dan emas. Penunggang yang berada di antara keduanya adalah elf wanita, yang mengamati sekelilingnya dengan waspada. Ia berambut panjang dan hitam, matanya yang dalam tampak memancarkan semangat yang kuat. Pakaiannya kusut, tapi kecantikannya tidak berkurang karenanya. Di sisi tubuhnya terdapat sebilah pedang, dan di punggungnya terdapat busur panjang dan tabung anak panah. Di pangkuannya terdapat kantong yang berulang dipandanginya, seakan untuk meyakinkan diri kantong itu masih tetap berada disana. Salah satu elf itu berbicara dengan suara pelan, Shade tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Elf wanita menjawab dengan nada berwibawa yang jelas, dan para pengawalnya bertukar tempat. Elf berhelm memimpin jalan, menggeser tombak agar cengkeramannya lebih mantap. Mereka melewati tempat persembunyian Shade dan beberapa Urgal pertama tanpa curiga. Shade menikmati kemenangannya sewaktu angin berubah arah dan menyapu ke arah elf-elf itu, membawa bau Urgal yang sangat menusuk. Kuda-kuda mendengus terkejut dan menyentakkan kepala. Tubuh para penunggangnya jadi kaku, mata memandang ke sana kemari, lalu mereka memutar balik tunggangan mereka dan berderap pergi. Kuda elf wanita itu melesat maju, meninggalkan para pengawalnya jauh di belakang. Melupakan persembunyian mereka, para Urgal berdiri dan menghamburkan hujan anak panah hitam. Shade melompat keluar dari balik pohon, mengangkat tangan kanannya, dan berteriak, "Garjzla!" Kilat merah menyambar dari telapak tangannya ke elf wanita itu, menerangi pepohonan dengan cahaya semerah darah. Kilat itu menghantam tunggangan elf wanita, dan kudanya jatuh diiringi ringkikan melengking, menerjang tanah dengan posisi dada terlebih dulu. Elf wanita itu melompat turun dari hewan tunggangannya dengan kecepatan yang luar biasa, mendarat dengan ringan, lalu melirik ke belakang ke arah para pengawalnya. Anak-anak panah Urgal yang mematikan dengan cepat merobohkan kedua elf itu. Mereka jatuh dari kuda-kuda mereka yang anggun, darah menggenang di tanah. Saat para Urgal menghambur untuk membantai elf-elf itu, Shade menjerit, "Kejar yang wanita! Ia yang kuinginkan!" Monster-monster tersebut menggeram dan bergegas menyusuri jalan setapak. Jeritan terdengar dari mulut si elf wanita saat melihat kematian rekan-rekannya. Ia maju selangkah ke arah mereka, lalu memaki musuh-musuhnya dan melesat ke dalam hutan. Sementara para Urgal menerjang menerobos pepohonan, Shade memanjat sebongkah granit yang mencuat di atas mereka. Dari tempat bertenggernya ia bisa melihat seluruh hutan disekitarnya. Ia mengangkat tangan dan menggumam, "Boetq istalri!" dan kawasan hutan seluas seperempat mil dilalap api. Dengan muram ia membakar hutan sebagian demi sebagian hingga timbul lingkaran api, berdiameter 1,5 mil, di sekeliling lokasi penyergapan. Kobaran apinya tampak seperti mahkota cair yang bertengger di hutan. Setelah puas, ia mengamati lingkaran itu dengan cermat, seandainya ada yang mulai padam. Cincin api itu menebal, memperluas kawasan yang harus digeledah para Urgal. Tiba-tiba, Shade mendengar teriakan-teriakan dan jeritan serak. Dari sela-sela pepohonan ia melihat tiga anak buahnya jatuh bertumpukan, terluka parah. Sekilas ia melihat sosok elf berlari menjauhi Urgal-Urgal yang tersisa. Elf wanita itu melesat ke sebongkah granit bergerigi dengan kecepatan luar biasa. Shade mempelajari tanah dua puluh kaki di bawahnya, lalu melompat dan mendarat dengan sigap di depan si elf wanita. Elf wanita tersebut berhenti sambil berputar balik dan melesat kembali ke jalan setapak. Darah hitam Urgal menetes-netes dari pedangnya, menodai kantong di tangannya. Monster-monster bertanduk itu keluar dari dalam hutan dan mengepungnya, menutup satu-satunya jalan untuk meloloskan diri. Kepala elf wanita itu menoleh cepat ke sana kemari saat ia mencoba menemukan jalan keluar. Karena tidak menemukan satu pun, ia menegakkan diri dengan kekesalan yang anggun. Shade mendekatinya dengan tangan terangkat, membiarkan dirinya menikmati ketidakberdayaan elf wanita itu. "Tangkap ia." Saat para Urgal menerjang maju, elf itu membuka kantongnya, memasukkan tangan ke sana, lalu membiarkan kantong itu jatuh ke tanah. Di tangannya terdapat sebongkah batu safir besar yang memantulkan cahaya api yang berkobar-kobar. Ia mengangkat batu itu ke atas kepalanya, bibirnya bergerak-gerak panik. Putus asa, Shade berteriak, "Garjzla!" Bola api merah muncul dari tangannya dan melesat ke arah elf itu, secepat anak panah. Tapi ia terlambat. Kilasan cahaya kehijauan sejenak menerangi hutan, dan batu tadi pun menghilang. Lalu api merah melahap elf wanita itu dan ia jatuh. Shade melolong murka dan melangkah maju, melemparkan pedangnya ke sebatang pohon. Pedangnya melesak hingga ke tengah batang pohon, tempat pedang itu tertancap, bergetar. Shade menghamburkan sembilan kilatan energi dari telapak tangannya yang seketika itu juga membunuh para Urgal lalu mencabut pedangnya kembali dan berderap mendekati si elf Mantra-mantra pembalasan, diucapkan dalam bahasa mengerikan dan hanya dipahami dirinya, bergulir dari lidahnya. Ia mengepalkan tangannya yang kurus dan melotot ke langit. Bintang-bintang yang dingin balas menatapnya, tanpa berkedip, para pengawas dari dunia lain. Dengan kesal ia mengerutkan bibir sebelum berbalik ke elf yang tak sadarkan diri itu. Kecantikan elf tersebut, yang akan memesona manusia biasa mana pun, tidak berarti apa-apa baginya. Ia mengkonfirmasi bahwa batu itu telah lenyap, lalu mengambil kudanya dari tempat persembunyian di sela-sela pepohonan. Sesudah mengikat elf wanita itu di pelana, ia menunggang kudanya dan meninggalkan hutan. Ia memadamkan api yang menghalangi jalannya tapi membiarkan sisanya tetap berkobar-kobar.

Karena yah, maklum sajalah pada saat itu belum ada dinas pemadam kebakaran yang dapat dihubungi dizaman para penunggang.

Buku1, EragornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang