02. Lembah Palancar

9 0 0
                                    

LEMBAH PALANCAR

Matahari terbit keesokan paginya diiringi semburan merah muda kekuningan yang megah di kaki langit timur. Udara terasa segar, manis, dan sangat dingin. Es tampak di pinggir-pinggir sungai, dan genangan-genangan kecil membeku total. Sesudah sarapan bubur, Eragon kembali ke lembah kecil itu dan memeriksa kawasan yang hangus. Cahaya pagi tidak menunjukkan informasi baru dan berarti, jadi ia memulai perjalanan pulang. Jalan setapak hewan yang kasar itu telah aus dan di beberapa tempat tidak ada. Karena jalan itu dibuka hewan-hewan liar, sering rutenya berputar balik dan melenceng jauh. Sekalipun begitu, terlepas dari semua kekurangannya, jalan setapak tersebut masih tetap merupakan jalur tercepat untuk keluar dari pegunungan. Spine merupakan salah satu dari tempat-tempat yang tidak bisa diakui Raja Galbatorix sebagai wilayah kekuasaannya. Kisah-kisah masih diceritakan mengenai bagaimana separo pasukan raja itu menghilang sesudah berbaris memasuki hutan kunonya. Awan kesialan seakan-akan mengambang di atasnya. Walaupun pepohonannya tumbuh tinggi dan langit bersinar terang, hanya sedikit orang yang mampu bertahan cukup lama di Spine tanpa mengalami kecelakaan macam apa pun. Eragon merupakan salah satu dari sedikit orang itu-bukan karena karunia khusus, menurut pandangannya sendiri, tapi karena ketekunan dan refleks yangtinggi. Ia telah mendaki pegunungan itu selama bertahun-tahun, meski begitu ia masih mewaspadai tempat tersebut. Setiap kali ia menganggap pegunungan itu telah membuka
rahasianya, ada kejadian yang mengacaukan pemahamannya atas tempat itu-seperti munculnya batu tadi. Ia terus berjalan dengan sigap, dan mil demi mil pun terlampaui. Menjelang malam ia tiba di tepi jurang yang curam. Sungai Anora mengalir deras di bawahnya, menuju Lembah Palancar. Dialiri ratusan kali kecil, sungai itu memiliki kekuatan yang sangat besar, bertempur melawan bebatuan dan bongkahan yang menghalangi jalannya. Gemuruh pelan memenuhi udara. Ia berkemah di sesemakan dekat jurang dan mengawasi bulan terbit sebelum tidur. Selama satu setengah hari berikutnya cuaca bertambah dingin. Eragon menempuh perjalanan dengan cepat dan hanya melihat sedikit kehidupan liar yang waspada. Sesaat selepas tengah hari, ia mendengar Air Terjun Igualda menyelimuti segala sesuatu dengan suara teredam ribuan cipratan airnya. Jalan setapak membawanya ke tonjolan rata yang lembap, tempat sungai melintas dengan kecepatan tinggi, melontarkan diri ke udara kosong dan menuruni tebing berlumut. Di hadapannya membentang Lembah Palancar, terbuka bagai sehelai peta yang dibentangkan. Kaki Air Terjun Igualda, lebih dari setengah mil di bawahnya, merupakan titik paling utara lembah. Agak jauh dari air terjun terdapat Carvahall, sekelompok bangunan cokelat. Asap putih membubung dari cerobong-cerobong, menantang keliaran di sekitarnya. Dari ketinggian ini, tanah-tanah pertanian merupakan petak-petak persegi kecil yang tidak lebih besar daripada ujung jarinya. Tanah di sekitarnya cokelat atau cokelat pasir, tempat rerumputan mati berayun-ayun ditiup angin. Sungai Anora meliuk-liuk dari air terjun ke ujung selatan Palancar, membentuk bentangan besar pantulan cahaya matahari. Di kejauhan sungai itu mengalir melewati desa Therinsford dan pegunungan tunggal Utgard. Di baliknya, Eragon hanya mengetahui bahwa sungai berbelok ke utara dan mengalir ke laut. Sesudah diam sejenak, Eragon meninggalkan tonjolan batu itu dan mulai turun menyusuri jalan setapak, meringis melihat turunannya. Sewaktu ia tiba di dasar, senja yang lembut telah merayap menutupi segala sesuatu, mengaburkan warna-warna dan bentuk-bentuk menjadi sekumpulan besar benda keabu-abuan. Cahaya dari Carvahall berpendar di dekatnya dalam senja; rumah-rumah menebarkan bayang-bayang panjang. Selain Therinsford, Carvahall adalah satu-satunya desa di Lembah Palancar. Pemukiman itu terpencil dan dikelilingi wilayah yang keras dan indah. Hanya sedikit orang yang pernah bepergian kemari, selain para pedagang dan,  penjebak hewan. Desa itu terdiri atas bangunan-bangunan yang kokoh dari balok dengan atap rendah beberapa dari jerami, lainnya dari genteng. Asap mengepul dari cerobong-cerobongnya, menyebabkan udara berbau kayu. Bangunan-bangunan itu memiliki serambi yang lebar tempat orang-orang berkumpul untuk bercakap-cakap dan berbisnis. Sesekali ada jendela yang berubah terang saat lilin atau lampu dinyalakan. Eragon mendengar orang-orang bicara dengan suara keras di udara malam sementara para istri bergegas menjemput suami masing-masing, memarahi mereka karena terlambat pulang. Eragon menyusuri jalan di sela-sela rumah-rumah ke kios tukang jagal, bangunan luas dari balok tebal. Di atas kepala, cerobongnya mengepulkan asap hitam. Ia mendorong pintu hingga terbuka. Ruangan yang luas itu terasa hangat dan terang benderang karena api yang menjilat-jilat di perapian batu. Meja tanpa taplak membentang di sisi seberang ruangan. Lantainya dipenuhi jerami yang terurai. Segala sesuatunya sangat bersih, seakan pemiliknya menghabiskan waktu senggangnya dengan menggali retakan-retakan yang tidak terlihat jelas untuk menyingkirkan kotoran-kotoran kecil. Di belakang meja itu berdiri Sloan si tukang daging. Ia pria kecil, mengenakan kemeja katun dan celemek panjang bernoda darah. Serangkaian pisau yang mengesankan menjuntai di sabuknya. Wajahnya pucat, bopeng, dan mata hitamnya memancarkan kecurigaan. Ia mengelap mejanya dengan kain compang-camping. Mulut Sloan cemberut saat Eragon melangkah masuk. "Well, si pemburu yang perkasa akhirnya sudi bergabung dengan kami orang-orang biasa. Berapa banyak yang kau bunuh kali ini?" "Tidak satu pun," jawab Eragon singkat. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai Sloan. Penjagal itu selalu memperlakukannya dengan jijik, seakan dirinya tidak bersih. Sebagai duda, Sloan tampaknya hanya peduli pada satu orang yaitu putrinya yang bernama Katrina, yang sangat disayanginya."Aku terpanah," kata Sloan pura-pura heran. Ia berbalik memunggungi Eragon untuk mengambil sesuatu dari dinding. "Dan itu alasan kedatanganmu kemari?", "Ya," kata Eragon, mengakui dengan perasaan tidak nyaman. "Kalau begitu, coba lihat uangmu." Sloan mengetuk-ngetukkan jemarinya sewaktu Eragon bergerak-gerak gelisah dan tetap membisu. "Ayolah kau memilikinya atau tidak. Yang mana?" "Aku tidak benar-benar memiliki uang, tapi aku", "Apa, tidak ada uang?" ulang si tukang daging, menyela dengan tajam. "Dan kau berharap bisa membeli daging! Apakah para pedagang lain membagikan dagangan mereka gratis? Apakah sebaiknya kuberi kau daging tanpa meminta apa pun? Lagi pula," katanya tiba-tiba, "sekarang sudah larut. Kembalilah besok dengan membawa uangnya. Aku sudah tutup hari ini." Eragon melotot padanya. "Aku tidak bisa menunggu hingga besok, Sloan. Tapi kau tidak akan membuang-buang waktumu; ada yang kutemukan, yang bisa kupakai untuk membayarmu." Ia mengeluarkan batunya dengan penuh gaya dan meletakkannya dengan lembut di meja yang tergurat-gurat, tempat batu itu memantulkan cahaya api yang menari-nari. "Lebih tepatnya, kau mencurinya," gumam Sloan, sambil mencondongkan tubuh ke depan dengan ekspresi tertarik. Sambil mengabaikan komentar itu, Eragon bertanya, "Apakah ini cukup?" Sloan mengambil batu itu dan mengira-ngira beratnya. Ia mengelus kehalusannya dan memeriksa urat-urat putih di batu tersebut. Dengan pandangan penuh perhitungan, ia meletakkan batu itu kembali. "Cantik, tapi berapa nilainya?" "Entahlah," kata Eragon mengakui, "tapi tidak akan ada yang bersedia bersusah payah membentuknya kalau batu ini tidak bernilai." "Jelas sekali," kata Sloan dengan kesabaran dibuat-buat. "Tapi berapa nilainya? Karena kau tidak mengetahuinya, kusarankan kau cari pedagang yang mengetahuinya, atau terima tawaranku sebesar tiga crown." "Itu terlalu murah! Sedikitnya batu ini bernilai sepuluh kali lipat itu," Eragon memprotes. Tiga crown tidak akan mencukupi biaya pembelian daging untuk kebutuhan selama seminggu. Sloan mengangkat bahu. "Kalau kau tidak menyukai,  tawaranku, tunggu hingga para pedagang tiba. Yang mana pun, aku sudah bosan dengan percakapan ini." Para pedagang adalah sekelompok penjual dan penghibur nomaden yang mengunjungi Carvahall setiap musim semi dan musim dingin. Mereka membeli kelebihan hasil panen apa pun atau barang-barang buatan para penduduk desa dan petani setempat, dan menjual apa yang mereka butuhkan untuk melewati satu tahun lagi: bibit, hewan, kain, dan persediaan seperti garam dan gula. Tapi Eragon tidak ingin menunggu hingga mereka datang; bisa cukup lama sebelum mereka tiba di sini dan keluarganya membutuhkan daging sekarang. "Baik, kuterima," sergahnya. "Bagus, akan kuambilkan dagingnya. Bukan masalah penting, tapi di mana kau menemukan batu ini?" "Dua malam yang lalu di Spine", "Pergi!" kata Sloan, mendorong batu itu menjauh. Ia berderap marah ke salah satu ujung meja dan mulai menggosok sebilah pisau untuk membersihkan noda darah lama yang tertinggal di sana. "Kenapa?" tanya Eragon. Ia menarik batu itu lebih dekat, seakan melindunginya dari kemarahan Sloan. "Aku tidak bersedia berurusan dengan apa pun yang kaubawa kembali dari pegunungan terkutuk itu! Bawa batu penyihirmu ke tempat lain." Tangan Sloan tiba-tiba meleset dan jarinya terluka pisau tadi, tapi ia tampak tidak menyadarinya. Ia terus menggosok, mengotori pisau itu dengan darah segar. "Kau menolak menjual padaku!" "Ya! Kecuali kau membayarnya dengan uang," geram Sloan, dan mengangkat pisau, menggerak-gerakkannya. "Pergi, sebelum kupaksa dirimu!" Pintu di belakang mereka terempas membuka. Eragon berputar balik, siap menghadapi lebih banyak masalah. Horst melangkah masuk, ia pria bertubuh tinggi besar. Putri Sloan, Katrina gadis yang jangkung di usia enam belas tahun mengikuti di belakang Horst dengan ekspresi tekad bulat. Eragon merasa terkejut melihat Katrina, Katrina biasanya menghindari pertengkaran apa pun yang melibatkan ayahnya. Sloan melirik mereka dengan waspada, lalu mulai menuduh Eragon. "Ia tidak" "Diam," kata Horst dengan suara menggemuruh, sambil membunyikan buku-buku jemarinya pada saat yang sama. Ia tukang besi Carvahall, sebagaimana yang ditunjukkan lehernya yang tebal dan celemek kulitnya yang hangus. Lengan-lengannya yang kuat telanjang hingga siku, dada yang sangat bidang, kekar dan berbulu, terlihat di atas kemejanya. Janggut hitam yang tidak rapi bergulung-gulung dan bergumpal-gumpal seperti otot-otot rahangnya. "Sloan, apa lagi yang kau lakukan sekarang?" "Tidak ada." Sloan melontarkan pandangan buas ke arah Eragon, lalu meludah. "Si... bocah ini datang kemari dan mulai menggangguku. Kuminta ia pergi, tapi ia tidak mau. Aku bahkan mengancamnya dan ia masih mengabaikan diriku!" Sloan tampak ciut saat memandang Horst. "Apa itu benar?" tanya tukang besi itu. "Tidak!" jawab Eragon. "Kutawarkan batu ini sebagai pembayaran untuk dagingnya, dan ia menerimanya. Sewaktu kuberitahu bahwa aku menemukannya di Spine, ia menolak bahkan untuk menyentuhnya. Apa bedanya dari mana batu ini berasal?" Horst memandang batu itu dengan penasaran, lalu kembali memperhatikan tukang daging tersebut. "Kenapa kau tidak mau berbarter dengannya, Sloan? Aku sendiri tidak menyukai Spine, tapi kalau masalahnya mengenai nilai batu itu, aku berani menukarnya dengan uangku sendiri." Pertanyaan itu mengambang di udara selama beberapa saat. Lalu Sloan menjilat bibir dan berkata, "Ini tokoku sendiri. Aku boleh berbuat sesukaku." Katrina melangkah maju dari belakang Horst dan mengibaskan rambutnya yang merah bagai tembaga cair. "Ayah, Eragon bersedia membayar. Berikan dagingnya, lalu kita bisa makan malam." Mata Sloan menyipit berbahaya. "Pulanglah; ini bukan urusanmu.... Pergi kataku!" Wajah Katrina mengeras, lalu ia bergegas meninggalkan ruangan dengan punggung kaku. Eragon mengawasi dengan pandangan tidak setuju tapi tidak berani mencampuri. Horst menarik-narik janggutnya sebelum berbicara dengan nada menegur, "Baik, kau bisa berurusan denganku. Apa yang kau butuhkan, Eragon?" Suaranya bergetar ke,  seluruh ruangan. "Sebanyak yang bisa kubawa." Horst mengeluarkan dompet dan menghitung setumpuk koin. "Berikan daging panggang dan steak terbaikmu. Pastikan jumlahnya cukup banyak untuk memenuhi ransel Eragon." Tukang daging itu ragu-ragu, tatapannya berpindah-pindah dari Horst ke Eragon. "Tidak menjual padaku merupakan gagasan yang sangat buruk," kata Horst. Sambil menggeram mengancam, Sloan menyelinap ke ruang belakang. Terdengar keributan orang memotong, membungkus, dan memaki pelan. Setelah beberapa menit yang terasa tidak nyaman, ia kembali membawa setumpuk daging yang dibungkus. Wajahnya tanpa ekspresi sewaktu menerima uang Horst, lalu ia membersihkan pisau, berpura-pura mereka tidak ada di sana. Horst meraup daging itu dan berjalan keluar. Eragon bergegas mengikutinya, membawa ransel dan batunya. Udara malam yang segar mengelus wajah mereka, terasa menyegarkan sesudah berada di dalam toko yang pengap. "Terima kasih, Horst. Paman Garrow akan gembira." Horst tertawa pelan. "Jangan berterima kasih padaku. Aku sudah lama sekali ingin melakukannya. Sloan itu pencari masalah yang kejam; ada baiknya ia ditekan. Katrina mendengar apa yang terjadi dan lari menjemputku. Untung aku datang kalian berdua nyaris berkelahi. Sialnya, aku ragu ia bersedia melayani dirimu atau keluargaku kalau kalian kemari lagi, bahkan kalau kalian memiliki uang." "Kenapa ia mengamuk seperti itu? Kami memang tidak pernah berteman, tapi selama ini ia selalu menerima uang kami. Dan aku belum pernah melihat dirinya memperlakukan Katrina seperti itu," kata Eragon, sambil membuka tutup ransel. Horst mengangkat bahu. "Tanyakan pada pamanmu. Ia lebih mengetahui masalah ini daripada diriku." Eragon menjejalkan daging itu ke ranselnya. "Well, sekarang aku memiliki satu alasan lagi untuk pulang secepatnya ... memecahkan misteri itu. Ini, ini milikmu." Ia mengulurkan batunya. Horst tergelak. "Tidak, simpan saja batu anehmu. Sedangkan mengenai pembayaran, Albriech berencana pergi ke Feinster musim semi yang akan datang. Ia ingin menjadi pakar tukang besi, dan aku akan membutuhkan asisten. Kau bisa datang dan bekerja untuk melunasi utangmu di waktu senggang." Eragon membungkuk sedikit, gembira. Horst memiliki dua putra, Albriech dan Baldor, keduanya bekerja di bengkelnya. Menggantikan salah satunya merupakan tawaran yang dermawan. "Sekali lagi, terima kasih! Kutunggu kesempatan untuk bekerja padamu." Ia merasa gembira karena ada jalan untuk membayar Horst. Pamannya tidak akan pernah bersedia menerima sumbangan. Lalu Eragon teringat apa yang dikatakan sepupunya pada dirinya sebelum ia berangkat berburu. "Roran memintaku menyampaikan pesan pada Katrina, tapi karena aku tidak bisa melakukannya, bisa kau sampaikan pesan Roran padanya?" "Tentu saja." "Roran ingin Katrina mengetahui ia akan ke kota begitu para pedagang tiba dan Roran akan menemuinya pada waktu itu." "Hanya itu?" Eragon agak malu. "Tidak, Roran juga ingin Katrina mengetahui ia gadis tercantik yang pernah ditemuinya dan ia tidak pernah memikirkan yang lain lagi." Horst tersenyum lebar, dan mengedipkan sebelah mata pada Eragon. "Mulai serius, bukan?", "Ya, Sir," jawab Eragon sambil tersenyum sekilas. "Bisa kau sampaikan juga terima kasihku padanya? Ia baik sekali mau menantang ayahnya untukku seperti tadi. Kuharap ia tidak dihukum karenanya. Roran akan murka kalau aku menyebabkan Katrina mendapat masalah.", "Aku tidak akan mengkhawatirkan hal itu. Sloan tidak mengetahui Katrina memanggilku, jadi aku ragu ia akan bersikap terlalu keras pada putrinya. Sebelum kau pergi, bisakah kau makan bersama kami dulu?" "Maaf, tapi tidak bisa. Garrow menunggu kepulanganku," kata Eragon, sambil mengikat tutup ransel. Ia mengangkat ranselnya ke punggung dan mulai menyusuri jalan, sambil mengangkat tangan sebagai salam perpisahan. Dagingnya memperlambat langkahnya, tapi ia bersemangat untuk pulang, dan semangat baru memenuhi langkahnya. Desa tiba-tiba berakhir, dan ia meninggalkan cahaya desa yang hangat di belakangnya.  Bulan yang bagai mutiara mengintip dari balik pegunungan, memandikan alam dengan bayangan cahaya siang yang bagai hantu. Segala sesuatu tampak pucat dan datar. Menjelang akhir perjalanan, ia berbelok meninggalkan jalan, yang terus membentang ke selatan. Jalan setapak sederhana membentang menerobos rerumputan setinggi pinggang dan mendaki gundukan tanah, nyaris tersembunyi dalam bayang-bayang pepohonan ada yang melindungi. Ia mendaki bukit dan melihat cahaya lembut memancar dari rumahnya. Rumahnya beratap genteng dan bercerobong bata. Tepi atap menjuntai di atas dinding-dinding yang dicat putih, menimbulkan bayangan di tanah di bawahnya. Di satu sisi, serambi tertutupnya dipenuhi kayu bakar yang telah dibelah, siap dibakar. Setumpuk peralatan bertani memenuhi sisi lainnya. Rumah itu telah ditinggalkan selama setengah abad sewaktu mereka pindah ke sana, sesudah istri Garrow, Marian, meninggal. Rumah itu terletak sepuluh mil dari Carvahall, lebih jauh daripada rumah-rumah lain. Orang-orang menganggap jarak itu berbahaya karena keluarga tersebut jadi tidak bisa mengandalkan bantuan dari desa saat menghadapi masalah, tapi paman Eragon tidak bersedia mendengarkan. Seratus kaki dari rumah, dalam lumbung berwarna pudar, hidup dua kuda Birka dan Brugh bersama ayam-ayam dan seekor sapi. Terkadang juga ada babi di sana, tapi mereka tidak mampu membelinya tahun ini. Kereta diparkir di sela-sela kandang. Di tepi ladang mereka, jajaran pepohonan yang rimbun membentang di sepanjang tepi Sungai Anora. Ia melihat cahaya bergerak di balik jendela saat ia dengan kelelahan tiba di serambi. "Paman, ini Eragon. Biarkan aku masuk." Pintu lubang pengintip dibuka sejenak, lalu pintunya terayun ke dalam. Garrow berdiri sambil memegangi pintu. Pakaiannya yang lusuh menjuntai pada dirinya seperti kain lap pada tangkai kayu. Wajah yang kurus, kelaparan, dengan tatapan mata tajam, memandang dari bawah rambut yang mulai beruban. Ia tampak seperti orang yang telah separo dimumikan sebelum ketahuan bahwa dirinya masih hidup. "Roran sudah tidur," jawabnya untuk pertanyaan yang terpancar di mata Eragon. Lentera dengan api bergoyang-goyang berdiri di meja kayu yang begitu tua hingga serat-seratnya menonjol bagai sidik jari raksasa. Di dekat tungku kayu terdapat
deretan peralatan memasak yang digantungkan di dinding pada paku buatan sendiri. pintu kedua terbuka ke bagian rumah yang lain. Lantainya terbuat dari papan yang halus akibat diinjak-injak selama bertahun-tahun. Eragon menurunkan ransel dan mengeluarkan daging. "Apa ini? Kau membeli daging? Dari mana kau mendapat uangnya?" tanya pamannya dengan kasar sewaktu melihat bungkusan itu. Eragon menghela napas sebelum menjawab. "Tidak, Horst yang membelikannya untuk kita." "Kau membiarkan ia membayarnya? Sudah kukatakan padamu, aku tidak bersedia mengemis untuk mendapatkan makanan. Kalau kita tidak bisa memberi makan diri kita sendiri, kita sebaiknya pindah ke kota. Sebelum kau bisa berbalik dua kali, mereka akan mengirimi kita pakaian bekas dan menanyakan apakah kita mampu melewati musim dingin." Wajah Garrow memucat karena marah. "Aku tidak menerima sumbangan," sergah Eragon. "Horst setuju untuk mempekerjakan diriku di musim semi untuk membayar utang ini. Ia membutuhkan bantuan karena Albriech akan pergi." "Dan dari mana kau mendapat waktu untuk bekerja padanya? Apakah kau akan mengabaikan segala sesuatu yang harus dilakukan di sini?" tanya Garrow, memaksa diri merendahkan suaranya. Eragon menggantung busur dan tabung anak panahnya di kaitan di samping pintu depan. "Aku tidak mengetahui bagaimana caraku akan melakukannya," katanya jengkel. "Lagi pula, ada yang kutemukan yang mungkin berharga." Ia meletakkan batunya di meja. Garrow membungkuk di atasnya; ekspresi lapar yang memancar di wajahnya menghebat, dan jemarinya tersentak-sentak aneh. "Kau menemukan ini di Spine?", "Ya," kata Eragon. Ia menjelaskan apa yang terjadi. "Dan untuk memperburuk masalah, aku kehilangan anak panah terbaikku. Tidak lama lagi aku,  terpaksa harus membuat anak-anak panah yang baru." Mereka menatap batu tersebut dalam keremangan. "Bagaimana cuacanya?" tanya pamannya, sambil mengangkat batu itu. Kedua tangannya mencengkeram batu tersebut erat-erat seakan takut batu itu akan menghilang tiba-tiba. "Dingin," jawab Eragon. "Tidak turun salju, tapi setiap malam air membeku." Garrow tampak khawatir mendengar kabar itu. "Besok kau terpaksa membantu Roran memanen gandum. Kalau kita sempat memanen jeruknya juga, hawa dingin tidak akan mengganggu kita." Ia mengembalikan batu itu kepada Eragon. "Ini, simpanlah. Saat para pedagang datang nanti, kita cari tahu berapa nilainya. Menjualnya mungkin tindakan yang terbaik. Semakin sedikit kita berhubungan dengan sihir semakin baik .... Kenapa Horst membelikan dagingnya?" Eragon hanya membutuhkan waktu sejenak untuk menjelaskan pertengkarannya dengan Sloan. "Aku hanya tidak mengerti apa yang menyebabkan ia semarah itu." Garrow mengangkat bahu. "Istri Sloan, Ismira, pergi ke Air Terjun Igualda setahun sebelum kau dibawa kemari. Sejak itu Sloan tidak pernah mendekati Spine, dan tidak bersedia berurusan dengan tempat itu. Tapi itu bukan alasan untuk menolak pembayaran. Kupikir ia sengaja mencari masalah denganmu." Eragon terhuyung kelelahan dan berkata, "Senang rasanya pulang." Pandangan Garrow melunak, dan ia mengangguk. Eragon berjalan terseret-seret ke kamarnya, mendorong batu itu ke bawah ranjang, lalu menjatuhkan diri di kasur. Pulang. Untuk pertama kalinya sejak berangkat berburu, ia merasa santai sepenuhnya ketika kantuk menguasai,  dirinya.

Buku1, EragornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang