06. Teh untuk berdua

2 0 0
                                    

Hallo Readers semua! Jumpa lagi dengan saya disini. Maaf karna udah lama gak Update. Sedikit pemberitahuan, disini saya gak akan pernah menampilkan cover ataupun gambar mengenai ilustrasi isi buku ini dikarenakan saya seorang disabilitas netra. Ok! Selamat membaca!

*****

Roran dan Eragon berpisah di tepi kota Carvahall. Eragon berjalan perlahan-lahan ke rumah Brom, tenggelam dalam pemikirannya. Ia berhenti di depan pintu dan mengangkat tangan untuk mengetuk.
Seseorang dengan suara serak berkata, "Apa yang kau inginkan, Nak?"
Eragon berputar balik. Di belakangnya Brom berdiri bertumpu ke tongkat berpuntir yang dihiasi ukiran-ukiran aneh. Brom mengenakan mantel berkerudung cokelat seperti biarawan. Kantong menjuntai dari sabuk kulit yang melingkari pinggangnya. Di atas janggut beruban, hidung elang yang mencuat melengkung di atas bibirnya dan mendominasiwajahnya. Ia memandang Eragon dengan sepasang mata yang dalam, yang dinaungi alis mata yang lebat, dan menunggu jawaban Eragon.
"Untuk mendapatkan informasi," kata Eragon. "Roran sedang memperbaiki pahat dan aku memiliki waktu senggang, jadi aku datang kemari untuk mencari tahu apakah kau bisa menjawab beberapa pertanyaan."
Pria tua itu mendengus dan meraih pintu. Eragon menyadari adanya cincin emas di tangan kanan pria tua itu. Cahaya memantul pada sebutir batu safir, memperjelas simbol aneh yang terukir di permukaan cincin itu. "Sebaiknya kau masuk; kita akan bercakap-cakap cukup lama. Pertanyaan-pertanyaanmu seperti tak pernah berakhir." Di dalam, rumah itu lebih gelap daripada arang, bau asam yang tajam memenuhi udara. "Sekarang, cahaya." Eragon mendengar pria tua itu berkeliaran ke sana kemari lalu memaki pelan saat ada sesuatu yang jatuh dengan ribut ke lantai. "Ah, ini dia." Bunga api putih; menyambar; api pun menari-nari hidup.
Brom berdiri membawa lilin di depan perapian batu. Tumpukan-tumpukan buku mengelilingi kursi kayu bersandaran tinggi dan berukiran dalam yang menghadap kerak perapian; empat kakinya dibentuk seperti cakar elang, dan alas serta sandarannya diberi bantalan kulit yang dihiasi gambar mawar yang bergulung-gulung kelompok kursi yang lebih sederhana menampung bertumpuk-tumpuk gulungan kertas. Tempat tinta dan pena bertebaran eja tulis.
"Cari tempat untukmu, tapi demi raja-raja yang hilang, berhati-hatilah. Benda-benda ini berharga."
Eragon melangkahi bertumpuk-tumpuk perkamen yang penuh huruf-huruf melingkar. Dengan hati-hati ia mengangkat berbagai gulungan yang retak-retak dari kursi dan meletakkannya di lantai. Awan debu terbang ke udara saat iaduduk. Ia menahan keinginan untuk bersin. Brom membungkuk dan menyalakan api dengan lilinnya. "Bagus! Tidak ada yang mengalahkan duduk di dekat api untuk bercakap-cakap." Ia menyingkap kerudungnya untuk menampilkan rambut yang bukan putih, tapi keperakan, lalu menggantung ketel di atas api dan duduk di kursi bersandaran tinggi.
"Nah, apa yang kau inginkan?" Ia berbicara dengan kasar kepada Eragon, tapi bukannya tidak ramah.
"Well," kata Eragon, merasa penasaran bagaimana cara terbaik membicarakan masalah itu, "selama ini aku terus mendengar tentang para Penunggang Naga dan apa yang katanya merupakan prestasi mereka. Sebagian besar orang tampaknya ingin mereka kembali, tapi aku tidak pernah mendengar kisah bagaimana mereka berawal, dari mana asalnya para naga, atau apa yang menjadikan para Penunggang istimewa-terlepas dari naganya."
"Subjek yang luas untuk dibicarakan," kata Brom, menggerutu. Ia memandang Eragon dengan waspada. "Kalau kuceritakan seluruh kisah mengenai mereka, kita masih akan duduk di sini sewaktu musim dingin datang lagi. Ceritanya harus dipotong secukupnya. Tapi sebelum kita memulai dengan selayaknya, aku membutuhkan pipaku."
Eragon menunggu dengan sabar sementara Brom menjejalkantembakau. Ia menyukai Brom. Pria tua itu terkadang menjengkelkan, tapi ia tampaknya tidak pernah keberatan untuk membuang waktu bagi Eragon. Eragon pernah menanyakan dari mana asalnya, dan Brom tertawa, lalu menjawab, "Desa yang sangat mirip Carvahall, hanya kalah menarik." Karena penasaran, Eragon menanyakannya pada pamannya. Tapi Garrow hanya bisa memberitahu bahwa Brom membeli rumah di Carvahall hampir lima belas tahun berselang dan sejak itu tinggal di sana dengan tenang.
Brom menggunakan pemantik untuk menyalakanpipa. Ia mengepulkan asapnya beberapa kali, lalu berkata, "Nah... kita tidak perlu berhenti, kecuali untuk minum teh. Sekarang, mengenai para Penunggang, atau Shur'tugal, sebagaimana para elf memanggil mereka. Dari mana mulainya? Mereka hidup selama bertahun-tahun dan, di puncak kekuatan mereka, dua kali memegang kekuasaan atas tanah-tanah Kekaisaran. Puluhan cerita telah disampaikan mengenai mereka, sebagian besar omong kosong. Kalau kau memercayai segala sesuatu yang dikatakan orang, kau pasti menduga mereka memiliki kekuatan dewa rendahan. Orang-orang terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka untuk memisahkan fiksi ini dari faktanya, tapi meragukan apakah ada di antara mereka yang bisa berhasil. Tapi, bukan tugas yang mustahil kalau kita membatasi diri ke tiga bidang yang kau sebutkan tadi bagaimana para Penunggang berawal, kenapa mereka dipandang begitu tinggi, dan dari mana asalnya naga. Akan ku mulai dengan yang terakhir."
Eragon menyandar ke belakang dan mendengarkan suara pria itu yang memesona.
"Naga tidak memiliki awal, kecuali kalau awalnya ada dalam penciptaan Alagaesia sendiri. Dan kalau mereka memiliki akhir, itu adalah saat dunia ini musnah, karena mereka menderita bersama-sama dengan tanah ini. Mereka, para kurcaci, dan beberapa makhluk lainnya merupakan penduduk asli tanah ini. Mereka tinggal di sini jauh sebelum makhluk-makhluk lain datang, kuat dan bangga dalam kemegahan elemental mereka. Dunia mereka tidak berubah hingga elf pertama melayari lautan dengan kapal-kapal perak mereka."
"Dari mana asalnya elf?" sela Eragon. "Dan kenapa mereka disebut makhluk halus? Apakah mereka benar-benar ada?"
Brom merengut. "Kau mau pertanyaan awalmu dijawab atau tidak? Pertanyaan awalmu tidak akan terjawab kalau kau ingin mengetahui setiap potong pengetahuan yang tersembunyi."
"Maaf," kata Eragon. Ia menunduk dan berusaha tampak menyesal.
"Tidak, kau tidak menyesal," kata Bromgeli. Ia mengalihkan tatapannya ke api dan mengawasi api itu menjilat-jilat sisi bawah ketel. "Kalau kau harus mengetahuinya, elf bukanlah legenda, dan mereka disebut makhluk halus karena mereka lebih anggun daripada ras-ras lain. Mereka berasal dari tempat yang mereka sebut Alalea, sekalipun tidak satu makhluk pun kecuali mereka sendiri yang mengetahui apa, atau bahkan di mana, tempat itu.
"Nah," ia melotot dari bawah alis matanya yang lebat untuk memastikan Eragon tidak menyela lagi, "para elf merupakan ras yang tinggi hati waktu itu, dan memiliki sihir yang kuat. Mula-mula mereka menganggap naga sebagai sekadar hewan biasa. Dari anggapan itu timbul kesalahan fatal. Seorang pemuda elf yang nekat, memburu seekor naga seperti memburu rusa, dan membunuhnya. Karena murka, para naga menyergap dan membantai elf itu. Sialnya, pembunuhan tidak berhenti di sana. Para naga berkumpul dan menyerang seluruh penjuru negara elf. Gundah karena kesalahpahaman yang mengerikan itu, para elf mencoba mengakhiri permusuhan, tapi tidak bisa menemukan cara untuk berkomunikasi dengan para naga.
"Demikianlah, untuk meringkas habis-habisan serangkaian kejadian yang rumit, timbul peperangan panjang dan berdarah, yang kemudian disesali kedua belah pihak. Pada awalnya elf bertempur hanya untuk membela diri, karena mereka enggan meningkatkan pertempurannya, tapi kebuasan para naga akhirnya memaksa mereka menyerang demi keselamatan diri sendiri. Hal ini berlangsung selama lima tahun dan pasti akan berlangsung jauh lebih lama lagi kalau elf bernama Eragon tidak menemukan sebutir telur naga."
Eragon mengerjapkan mata karena terkejut.
"Ah, kulihat kau tidak mengetahui asal namamu," kata Brom.
"Ya." Ketel teh bersiul nyaring. Kenapa aku diberi nama seperti elf?
"Kalau begitu kau pasti akan mendapati semua ini lebih menarik lagi," kata Brom. Ia mengambil ketel dari perapian dan menuangkan air mendidih ke dua cangkir. Sambil memberikan salah satunya kepada Eragon, ia memperingatkan, "Dedaunan ini tidak perlu direndam terlalu lama, jadi minumlah secepatnya sebelum rasanya terlalu kuat."
Eragon mencoba menghirupnya, tapi lidahnya terasa terbakar. Brom mengesampingkan cangkirnya sendiri dan terus mengisap pipa.
"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kenapa telur itu ditinggalkan. Ada yang mengatakan induknya terbunuh dalam serangan elf. Yang lain percaya bahwa para naga sengaja meninggalkan telur itu di sana. Yang mana pun, Eragon melihat pentingnya membesarkan naga yang bersahabat. Dengan diam-diam ia memeliharanya dan, sesuai kebudayaan bahasa kuno, menamainya Bid'Daum. Sewaktu Bid'Daum telah tumbuh cukup besar, mereka bepergian bersama-sama di antara para naga dan meyakinkan para naga untuk hidup damai bersama para elf. Perjanjian-perjanjian pun dibentuk di antara kedua ras. Untuk memastikan perang tidak akan pernah pecah lagi, mereka memutuskan perlunya mendirikan para Penunggang.
"Mula-mula para Penunggang hanya ditujukan sebagai sarana komunikasi antara elf dan naga. Tapi seiring berlalunya waktu, manfaat mereka disadari dan mereka mendapat wewenang yang lebih besar lagi. Akhirnya mereka menjadikan pulau Vroengard sebagai rumah dan membangun kota di sana-Dorta Areaba. Sebelum Galbatorix mengalahkan mereka, para Penunggang memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada seluruh raja di Alagaesia. Sekarang aku yakin sudah menjawab dua pertanyaanmu."
"Ya," kata Eragon setengah sadar. Rasanya seperti kebetulan yang luar biasa bahwa dirinya dinamai seperti Penunggang pertama. Entah untuk alasan apa, namanya tidak lagi terasa sama. "Apa arti Eragon?"
"Entahlah," kata Brom. "Sudah lama sekali. Aku ragu ada yang masih mengingatnya kecuali para elf, dan keberuntungan harus tersenyum lebar padamu sebelum kau bisa bercakap-cakap dengan elf. Tapi itu nama yang bagus; kau seharusnya merasa bangga. Tidak setiap orang mendapat kehormatan seperti itu.
Eragon mengesampingkan masalah itu dari pikirannya dan berfokus pada apa yang didapatnya dari Brom; ada yang terlewatkan. "Aku tidak mengerti. Di mana kita sewaktu para Penunggang diciptakan?"
"Kita?" tanya Brom, sambil mengangkat satu alis mata.
"Kau tahu, kita semua." Eragon melambai sambil lalu. "Manusia pada umumnya."
Brom tertawa. "Kita bukanlah penduduk asli tempat ini, sama seperti para elf. Para leluhur kita membutuhkan waktu tiga abad lagi sebelum tiba di sini dan bergabung dengan para Penunggang."
"Tidak mungkin," Eragon memprotes. "Selama ini kita selalu tinggal di Lembah Palancar."
"Mungkin itu benar untuk beberapa generasi, tapi lebih dari itu, tidak. Bahkan bagimu hal itu tidak benar, Eragon," kata Brom lembut. "Biarpun kau menganggap dirimu sebagai bagian dari keluarga Garrow, dan memang benar begitu, tapi leluhurmu bukan berasal dari tempat ini. Tanyakan pada orang-orang dan kau akan mendapati bahwa banyak di antara mereka yang belum lama berada di sini. Lembah ini tua dan tidak dari dulu merupakan milik kita."
Eragon merengut dan menenggak teh. Minumannya masih cukup panas untuk membakar tenggorokannya. Ini rumahnya, terlepas dari siapa pun ayahnya! "Apa yang terjadi dengan para kurcaci sesudah para Penunggang dihancurkan?"
"Tidak ada yang benar-benar mengetahuinya. Mereka bertempur bersama para Penunggang dalam beberapa pertempuran pertama, tapi sewaktu menjadi jelas bahwa Galbatorix akan menang, mereka menutup semua pintu masuk ke terowongan mereka yang diketahui orang dan menghilang ke bawah tanah. Sepanjang sepengetahuanku, tidak ada satu pun kurcaci yang pernah terlihat lagi sejak itu."
"Dan para naga?" tanya Eragon. "Bagaimana dengan mereka? Jelas tidak mungkin semuanya dibunuh."
Brom menjawab dengan sedih, "Itu misteri terbesar di Alagaesia hari-hari ini. Berapa banyak naga yang berhasil selamat dari pembantaian Galbatorix? Ia membiarkan mereka yang setuju mengabdi padanya, tapi hanya naga sinting para Terkutuk yang mau membantu kesintingannya. Kalau ada naga selain Shruikan yang masih hidup, mereka menyembunyikan begitu baik hingga tidak akan pernah ditemukan Kekaisaran.
Jadi dari mana asalnya nagaku? pikir Eragon penasaran.
apakah para Urgal ada di sini sewaktu para elf tiba di Alagaesia" tanyanya.
"Tidak, mereka mengikuti para elf menyeberang lautan, seperti kutu yang mencari darah. Merekalah salah satu alasan para Penunggang menjadi berharga karena keahlian mereka bertempur dan kemampuan menjaga perdamaian.... Banyak yang bisa dipelajari dari sejarah ini. Sayang sekali Raja menjadikannya subjek yang sangat peka," kata Brom.
"Ya, aku mendengar ceritamu terakhir kali aku ke kota."
"Cerita!" raung Brom. Kilat menyambar di matanya. "Kalau itu cerita, maka isu mengenai kematianku benar dan kau berbicara dengan hantu! Hormatilah masa lalu, kau tidak pernah mengetahui bagaimana masa lalu mempengaruhi dirimu."
Eragon menunggu hingga ekspresi Brom melunak sebelum memberanikan diri bertanya, "Seberapa besar naga-naga itu?"
Kepulan asap hitam bergulung-gulung di atas Brom seperti awan mendung mini. "Lebih besar daripada rumah. Bahkan naga yang kecil bentangan sayapnya bisa mencapai lebih dari seratus kaki; mereka tidak pernah berhenti tumbuh. Beberapa yang sangat tua, sebelum Kekaisaran membunuh mereka, bisa keliru dianggap sebagai bukit besar."
Kekecewaan merayapi Eragon. Bagaimana caraku menyembunyikan nagaku di tahun-tahun mendatang? Diam-diam ia merasa kesal, tapi menjaga suaranya tetap tenang. "Kapan mereka mencapai kedewasaan?"
"Well, " kata Brom, sambil menggaruk-garuk dagu, "mereka tidak bisa mengembuskan napas api hingga sekitar lima atau enam bulan, yang kurang-lebih bersamaan dengan waktu mereka mulai mencari pasangan. Semakin tua naganya, semakin lama mereka mampu menyemburkan api. Beberapa di antaranya bisa menyemburkan api terus-menerus selama beberapa menit." Brom mengembuskan cincin asap dan mengawasi cincin itu melayang ke langit-langit.
"Ku dengar sisik mereka berkilau seperti batu permata."
Brom mencondongkan tubuh ke depan dan menggeram, "Yang kau dengar memang benar. Sisik mereka berwarnaWarni. Katanya sekelompok naga bisa tampak seperti pelangi yang hidup, terus bergerak dan berpendar. Tapi siapa yang memberitahukan hal itu padamu?"
Eragon membeku sejenak, lalu berbohong. "Seorang pedagang.
"Siapa namanya?" tanya Brom. Alis matanya yang lebat bertemu membentuk garis putih tebal; kerut-kerut di dahinya mendalam. Karena tak diperhatikan, pipanya padam.
Eragon pura-pura berpikir. "Entahlah. Ia berbicara di tempat Mom, tapi aku tidak pernah mengetahui siapa dirinya."
"Sayang kau tidak mengetahuinya," gumam Brom.
"Ia juga mengatakan Penunggang bisa mendengar pikiran naganya," kata Eragon tergesa-gesa, berharap pedagang fiktif itu bisa melindungi dirinya dari kecurigaan.
Mata Brom menyipit. Perlahan-lahan ia mengeluarkan pemantik dan menyalakannya. Asap mengepul, dan ia mengisap pipanya dalam-dalam, mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Dengan suara datar ia berkata, "Ia keliru. Itu tidak ada dalam cerita mana pun, dan aku mengetahui semuanya. Apakah ada lagi yang dikatakannya?"
Eragon mengangkat bahu. "Tidak." Bagi Eragon, Brom terlalu berminat pada pedagang itu, ia jadi tidak bisa melanjutkan kebohongannya karena berbahaya. Dengan sikap biasa ia melanjutkan, "Apakah naga hidup sangat lama?"
Brom tidak seketika menjawab. Dagunya turun ke dada sementara jemarinya mengetuk-ngetuk pipa sambil berpikir, cahaya memantul pada cincinnya. "Maaf, aku melamun. Ya, naga bisa hidup cukup lama, bahkan selamanya, sepanjang ia tidak dibunuh dan Penunggangnya tidak meninggal."
"Bagaimana bisa ada orang yang mengetahui hal itu?" kata Eragon keberatan. "Kalau naga tewas sewaktu Penunggangnya meninggal, mereka hanya bisa hidup enam puluh atau tujuh puluh tahun. Katamu sewaktu kau... bercerita, para Penunggang hidup hingga ratusan tahun, tapi itu mustahil." Eragon merasa terganggu memikirkan kemungkinan hidup lebih lama daripada keluarga dan teman-temannya.
Senyum tipis merekah di bibir Brom saat mengatakan, "Sesuatu yang mungkin terjadi itu subjektif. Ada orang yang akan mengatakan kau tidak bisa melintasi Spine dengan selamat, tapi kau bisa melakukannya. Itu hanya masalah sudut pandang. Kau pasti sangat bijak untuk mengetahui begitu banyak di usia semuda ini." Wajah Eragon memerah, dan pria tua itu tergelak. "Jangan marah," katanya. "Kau tidak mungkin diharapkan bisa mengetahui hal-hal seperti itu. Kau lupa naga merupakan makhluk ajaib-mereka mempengaruhi segala sesuatu di sekitar mereka dengan cara-cara yang aneh. Para Penunggang berada dekat dengan mereka dan mendapat pengaruh terbesar. Pengaruh sampingan yang paling umum adalah bertambah panjangnya usia. Raja kita sudah hidup cukup lama sebagai buktinya, tapi sebagian besar orang menganggap hal itu karena kemampuan sihirnya sendiri. Juga ada perubahan lain yang tidak semencolok itu. Semua Penunggang memiliki tubuh yang lebih kuat, otak yang lebih tajam, dan pandangan yang lebih baik daripada orang-orang normal. Selain ini, manusia Penunggang telinganya akan meruncing perlahan-lahan, walau tidak pernah semenonjol telinga elf."
Eragon harus menahan tangannya untuk tidak terangkat dan meraba ujung atas telinganya. Bagaimana lagi naga ini akan mengubah kehidupanku? Bukan hanya memasuki kepalaku, tapi ia juga mengubah tubuhku! "Apakah naga sangat pandai?"
"Apakah kau tidak memperhatikan kata-kataku tadi!" tuntut Brom. "Bagaimana para elf bisa menyusun persetujuan dan perjanjian damai dengan makhluk tolol? Mereka sama cerdasnya seperti dirimu atau diriku."
"Tapi mereka hewan," Eragon berkeras.
Brom mendengus. "Mereka sama hewannya seperti kita. Entah mengapa orang-orang memuja segala sesuatu yang dilakukan para Penunggang, tapi mengabaikan naganya, menganggap naga tidak lebih daripada cara yang eksotis untuk pergi dari satu kota ke kota lain. Sebenarnya tidak. Para Penunggang hanya mampu melakukan berbagai perbuatan yang hebat karena naga-naga itu. Berapa banyak orang yang akan mencabut pedangnya kalau mengetahui ada kadal raksasa bernapas api kadal dengan kecerdikan dan kebijakan alamiah yang lebih besar bahkan daripada yang bisa diharapkan seorang raja akan muncul tidak lama lagi untuk menghentikan kekerasan? Hmm?" Ia kembali mengembuskan cincin asap dan mengawasinya melayang-layang pergi.
"Kau pernah melihat naga?"
"Tidak," kata Brom, "itu jauh sebelum aku dilahirkan."
Dan sekarang mencari nama. "Aku sejak tadi berusaha mengingat-ingat nama naga tertentu, tapi tetap tidak ingat. Ku pikir aku mendengarnya sewaktu para pedagang ada di Carvahall, tapi aku tidak yakin. Kau bisa membantuku?" Brom mengangkat bahu dan dengan cepat menyebutkan sederetan nama. "Ada Jura, Hirador, dan Fundor-yang bertempur melawan ular laut raksasa. Galzra, Briam, Ohen si Kuat, Gretiem, Beroan, Roslarb..." Ia menambahkan banyak nama lainnya. Nama terakhir ia ucapkan begitu pelan hingga Eragon nyaris tidak mendengarnya, "...dan Saphira." Brom mengosongkan pipanya sambil membisu. "Apakah salah satu dari mereka?"
"Sayangnya tidak," kata Eragon. Brom telah memberinya banyak hal untuk dipikirkan, dan waktu semakin larut. "Well, Roran mungkin sudah selesai berurusan dengan Horst. Sebaiknya aku kembali, sekalipun sebenarnya tidak ingin."
Brom mengangkat alis matanya. "Apa, begitu saja? Kukira aku harus terus menjawab pertanyaan-pertanyaanmu hingga Roran datang menjemputmu. Tidak ada pertanyaan mengenai taktik tempur naga atau permintaan cerita tentang pertempuran udara yang menegangkan? Kita sudah selesai?"
"Untuk saat ini," kata Eragon sambil tertawa. "Aku sudah mempelajari lebih daripada yang ingin kuketahui." Ia bangkit dan Brom mengikutinya.
"Baiklah, kalau begitu." Brom mengantar Eragon ke pintu. "Selamat tinggal. Hati-hati. Dan jangan lupa, kalau kau ingat siapa pedagang itu, beritahu aku."
"Pasti. Terima kasih." Eragon melangkah ke cahaya matahari musim dingin yang terang benderang, memicingkan mata. Perlahan-lahan ia berjalan pergi, sambil mempertimbangkan apa yang baru saja didengarnya.

Buku1, EragornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang