11

2.2K 75 0
                                    

Teman, percayalah.
Hidupmu sudah cukup berwarna.
Dengan ayah dan bunda,
bersatu dalam atap rumah yang sama.

Bersyukurlah!
Hidupmu sudah tentu penuh tawa.
Mungkin memang ada sedikit duka,
namun kamu dapat kembali bangkit ditopang orangtua.

Teman, berbanggalah.
Kamu hidup di dunia,
masih hingga kini terjaga utuhnya keluarga.
Kamu mampu berbahagia,
lengkap dengan canda hangat bersama mereka.

Teman, sudahlah.
Tak perlu kamu lanjut berdoa.
Berharap yang lebih dari itu semua.

Sesungguhnya,
Berhentilah!
Sudah cukup, jangan banyak meminta.

Sekarang, biarkan kami menaruh asa.
Biarkan kami yang berdoa.
Kami pun juga ingin merasa—

Apa itu bahagia.
Bagaimana rasanya bercerita bersama bunda.
Bagaimana rasanya bercanda bersama ayah.
Dan juga,
Sehangat apa itu keluarga.

Janganlah bersikap egois dan semena—
pada kami yang tak tahu gunanya ada di dunia,
pada kami yang tak tahu artinya masa depan bercahaya,
pada kami.... yang merasa tak berharga.

Sebabnya, ditinggal orangtua.
Dimulai dari keluarga yang hancur tak tersisa.
Dari sanalah,
Hidup kami sekejap melupakan tawa.
Luka terombang ambing bergantian memasuki jiwa.
Kami hidup menderita.
Sekalipun di masa kami masih pemula.
Masih seharusnya semangat menyapa semesta.

Terkadang amat menyakitkan tatkala mendengar ceritamu yang berbicara dengan sang bunda mengenai masalah jatuh cinta pada dia, murid SMA sebelah.

Dirimu bahkan mampu menangis di bahu ayah, tatkala kau tersakiti karena masalah pertemanan di masa remaja.

Terkadang menyakitkan tatkala diri ini ditanya mengenai cita-cita. Disaat dirimu mampu dengan lantangnya menjawab ingin membahagiakan ayah dan bunda.
Sontak terbesit dalam benak, terketuk hati ini rasanya.

Kami,
Yang sudah tak punya keluarga,
Yang ayah dan bundanya telah berpisah,
lantas bagaimana?
Apakah masih ada harapan untuk kami semua?

Jika ada,
Lalu bagaimana caranya?
Apa dengan membiarkannya,
ayah dan bunda akan bahagia?
Apa dengan bercerai-nya keluarga,
mereka akan kembali tertawa?

Begitu'kah?

Ah,
Mungkin begini kesimpulannya,
Jika tawamu adalah kebahagiaan mereka,
Jika dengan senyummu, kamu mampu mewujudkan sebuah cita.

Maka diriku berbeda.
Caraku denganmu tuk mewujudkannya tak serupa.

Dengan membiarkan orangtua tak lagi bersama,
Dengan membiarkan diri ini ditinggal oleh mereka,
Dengan membiarkan diri ini hidup sendiri di dunia,
Maka,
Tawa mereka akan kembali menyapa.

Di atas hidupku yang menangis karena menderita.


Ah, sesak sekali dada ini terasa.

Broken Home ?.

ah tidak, kupikir ini lebih dari sekedar itu, disaat seharusnya luka itu telah mengering dan sembuh. tapi masalah lain yang terus menyakiti hati membuat luka lama jadi semakin lebar dan membusuk.

kamu tahu apa parahnya?.
disaat kamu merasa benci terhadap orangtuamu, padahal seharusnya kamu menyayangi mereka.

bagaimana dengan orang tuaku ?.
kupikir tidak ada yang harus di banggakan dari mereka. memangnya apa yang harus ku banggakan . kekejamannya ? penghianantannya ?. ketidak peduliannya terhadap anak ?. kurasa itu adalah prestasi yang hebat bagi mereka.

dan apa dampaknya ?.
aku jadi pemurung, iri terhadap mereka yang punya kebahagiaan dari orangtuanya. lebih parahnya rasa di hatiku telah mati. aku tidak lagi peduli terhadap mereka yang ada di sekitarku.

aku bahkan tidak menangis saat menulis ini. apa artinya ini ?.
karna yang aku rasakan adalah kebencian, bukan lagi kepedihan.

airmataku, telah terkuras semenjak aku kecil.
Sempat aku merenung, tuk mengingat kembali kejadian lalu yang menjadikanku seperti ini. Raga yang tercipta dengan segala emosi dalam diri. Jiwa yang sudah terlalu lelah menghadapi segala rasa pedih. Hingga lahirlah sosok baru tanpa hati. Itu ialah, diriku yang kini.

Semua terjadi sebab satu peristiwa.
Yang jika diungkit, akan kembali mengena.
Yang jika teringat, akan mampu menambah luka.
Akan kembali timbul rasa kecewa.

Yang pahitnya adalah,
saat diri ini masih sempatnya berharap pada waktu agar dapat diputar kembali saat dimana kehangatan masih terasa.

Ketahuilah, diri ini sudah terlalu lelah dalam menghadapi banyak luka. Rasanya begitu pelik semua masalah yang ada. Menyerahpun tak ada guna, tak akan mampu membalikkan sebuah cinta dalam keluarga.

Terkadang timbul rasa iri dalam dada. Taktala melihat mereka yang mampu bercanda dengan sang bunda. Yang mampu merasakan pelukan kasih penuh sayang dari ayah tercinta. Pada mereka yang sampai saat ini... masih merasakan apa itu bahagia.

Begitu menyedihkannya. Hidup seperti haus kasih sayang orangtua. Bahkan tak teringat lagi bagaimana rasanya elusan lembut di kepala, mengisyaratkan kebanggaan seorang ayah pada anaknya. Tak lagi ku ingat ocehan bunda di waktu pagi menyapa. Omelannya saat malam tiba, dimana aku tak kunjung istirahat dan masih asyik menonton sebuah drama dari negera korea.

Ah, tak berbentuk lagi hati ini tertata. Sudah terlalu hancur dipatahkan oleh luka.

Merenungpun tak ada hasilnya. Semua seperti terhapus dimakan masa. Zaman berganti dengan membawa tawa.

Lantas kini, apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang merasa kesepian? Haruskah ia mengemis kepada semuanya agar diberi perhatian? Atau menepi dari dunia ramai dan akhirnya kembali hidup dengan sendirian?


***

Terasa tak adil bagi kami yang merasakannya. Dimana kebahagiaan seorang anak harus hancur hanya karena keegoisan orangtua. Dimana tawa kami tak mampu lagi menjadi alasan keutuhan mereka. Dimana kami yang terluka, karena mereka yang memilih berpisah. Dunia terlalu kejam dalam memainkan sebuah rasa. Pada kami yang tak tahu apa-apa.





•••

sebenarnya aku bosan dimarahin, aku juga iri , kenapa aku sama dia dibedabedakan, salah aku apa? apa aku terlalu nyusahin? sama sekali aku gak pernah nyusahin, aku cuman pengen dilihat disamakan bukan dibedakan


-Ketika diluar, TERTAWA lah seolah tak terjadi apa - apa didalam RUMAH.

Broken home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang