Flash Fiction

3 0 0
                                    

Setengah tujuh pagi, halte bus dekat rumah.

Setiap pagi aku berangkat ke tempatku bekerja seperti biasa. Menggunakan jasa transportasi umum pukul 06.30.

Namun 8 Februari di hari itu, berbeda.

Awal tahun selalu dihiasi dengan hujan di pagi hari. Aku duduk di bangku halte sendirian, karena sepertinya anak-anak sekolah yang biasa menunggu bus bersamaku masih enggan beranjak dari rumahnya yang nyaman alih-alih berangkat ke sekolah dalam kondisi cuaca yang tidak bersahabat.

Hujan semakin deras, ketika tiba-tiba seorang lelaki dengan hoodie berwarna merah maroon, menggendong tas ransel hitam, berlari ke arahku. Ia memegangi bagian atas hoodie yang melindungi kepalanya dari hujan dengan kedua tangannya. Dia tidak membawa payung. Sebentar kemudian, dia sudah berada di sampingku.

Dia sibuk mengebaskan kedua tangannya pada pakaiannya yang lumayan basah. Aku diam. Menatap lurus ke depan jalanan yang sepi kendaraan.

Aku dapat mendengar suara nafasnya yang coba ia atur agar kembali konstan. Sesekali ia terbatuk.

Aku dapat mendengar gerakan tangannya yang masih mengebas pakaiannya. Aku dapat membaui parfum yang menguar dari badannya. Aku masih diam.

Lima menit kemudian, bus berwarna biru berhenti di depan kami. Ia mempersilakan diriku masuk terlebih dahulu.

Ternyata, penumpang di halte-halte sebelumnya jauh lebih ramai dibanding halte tempatku menunggu. Bus pagi itu penuh, pun sampai lorongnya. Aku dan lelaki hoodie-merah-maroon tadi terpaksa berdiri. Aku dan dia bersebelahan. Bukan, kami berhadapan satu sama lain.

Dari jarak yang sedekat itu, aku dapat mendengar nafasnya yang teratur dan halus. Dari jarak itu, parfum miliknya semakin kuat menguar sampai masuk ke kepalaku. Dari jarak sedekat itu, aku bisa melihat dengan jelas tetes air yang masih tersisa di pakaiannya.

Aku tidak berani menatap lurus ke arahnya--atau arah dadanya--karena ia lebih tinggi dari aku. Aku mengalihkan mataku ke sepatu miliknya. Dia memakai sepatu kets hitam-putih.

Dia turun dua halte sebelum pemberhentianku. Aku memberinya ruang untuk berjalan. Begitu sajalah dia melewatiku.

Ekor mataku mengikuti ke arah mana lelaki itu berjalan. Namun bus melaju lebih cepat daripada yang aku ingini. Ia menghilang dari penglihatanku.

Esok paginya, dia datang lebih awal dari hari kemarin. Memakai kemeja berwarna biru tua dan berselempangkan tas di bahu kanannya. Saat aku duduk di sampingnya, ia tengah asik memperhatikan smartphonenya.

Rambutnya rapi dan kaku, sepertinya karena gel rambut. Sepatunya masih sama. Aroma tubuhnya juga sama. Aku diam mencerna segala infromasi yang masuk mengenai dirinya.

Aku duduk di bangku belakang sedangkan ia mengambil tempat duduk di dekat pintu masuk bus. Begitu duduk, ia kembali asyik dengan smartphone berwarna putih miliknya. Mataku sesekali memandang ke arahnya. Dia samasekali tidak mengalihkan kedua matanya dari benda layar sentuh tersebut.

Begitu setiap hari. Kami bertemu dan menunggu bus yang sama. Jika penuh, kami akan berdiri. Mungkin akan saling memunggungi, atau bisa saja saling berhadapan. Namun yang pertama adalah yang paling sering terjadi. Jika ada tempat untuk duduk, maka aku akan memilih tempat duduk yang berjauhan darinya. Agar aku dapat memperhatikannya. Sementara ia akan asik sendiri dengan dunianya.

Tanpa aku sadari, aku menyukai kebiasaan pagiku ini. Bertemu dengannya dan menunggu bus yang sama. Duduk di sampingnya. Saling diam dan berdialog dengan pikiranku sendiri. Mencium aroma parfumnya yang kini telah melekat di kepalaku. Dan mendengar nafasnya yang teratur.

Tanpa aku sadari juga, belakangan ini aku lebih memperhatikan penampilanku. Aku memilih pakaian yang akan aku kenakan dengan hati-hati. Aku memakai sun-screen. Memakai bedak. Aku menyemprotkan parfum beraroma mawar ke belakang telinga dan pergelangan tanganku. Bahkan, aku mengoleskan lip-gloss tipis di atas bibirku.

Hari Minggu menjadi hari yang tidak ingin aku jumpai karena hari Minggu artinya aku tidak bisa menjalani rutinitasku. Sejujurnya, aku pernah mencoba untuk menunggu bus pagi di hari Minggu namun hingga pukul 08.30 ia tidak muncul juga.

Pagi itu aku sudah duduk di halte. Dia datang. Tapi berbeda dengan sebelumnya, ia menggandeng seorang perempuan. Mereka saling bercerita. Mereka berdua duduk di sampingku. Aku diam menatap lurus ke arah jalanan yang mulai ramai lalu-lalang kendaraan roda dua.

Tidak lama, sebuah bus berhenti. Kami menaikinya. Aku masuk lebih dulu daripada mereka berdua. Aku duduk di pojok belakang bus sementara mereka berdua duduk di samping pintu. Tempat biasa lelaki itu duduk.

Kali ini, aku tidak melihatnya asik dengan benda putih berlayar sentuh miliknya. Pagi ini aku melihat ia aktif berceloteh dengan lawan bicaranya. Pagi ini, untuk kali pertama aku melihat ia tersenyum dan bahkan sesekali tertawa lepas.

Bibirku, tanpa komando dari otakku, tersenyum kecil melihat mereka berdua.

Namun demikian, aku tau dengan pasti bahwa ada sesuatu yang pecah di sana. Jauh di dalam hati kecilku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Setengah TujuhWhere stories live. Discover now