Satu

48 7 0
                                    

Sore itu Bintang menyusuri jalanan komplek rumahnya yang mulai sepi sambil sesekali menyeruput kopi kesukaannya yang baru saja ia beli di café dekat kampus. Hanya ada beberapa ibu yang sedang bergosip sembari mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain di taman.

Bintang melangkahkan kakinya menuju bangku taman, duduk lalu membaca novel yang baru ia beli kemarin siang. Meresapi perasaan karakter utama cerita yang mulai mengisi hatinya. Ia hampir saja menangis ketika mengetahui karakter utama itu ditinggal pergi kekasihnya saat sebuah suara mengalihkan pikirannya.

"Hai."

Bintang menoleh, di sebelahnya sudah duduk seorang lelaki. Mungkin seumuran dengannya, karena ia tidak terlihat seperti pria dewasa. Bintang tidak menghiraukan sapaan lelaki itu, ia memilih melanjutkan membaca novel.

Lelaki itu mengulurkan tangannya, "Gue Fachrel, lo?"

"Bintang." jawabnya tanpa menjabat tangan Fachrel.

"Rumah lo dimana?"

"Aku ga pernah liat kamu."

"Iya, gue baru aja pindah."

Bintang hanya melirik lelaki itu lalu menutup novelnya, mengambil kopinya lalu segera berdiri berniat pergi menghindari lelaki yang mengaku bernama Fachrel itu. "Permisi." pamitnya.

Fachrel menahan tangan Bintang, menariknya pelan, Bintang yang merasa tidak nyaman langsung menghempaskan tangan Fachrel. "Hey! Kamu apa-apaan sih?"

"Eh, sorry sorry, lagian gue kan belum selesai ngobrol sama lo. Main pergi-pergi aja."

"Terus, kamu maunya apa?"

"Kita ngobrol sebentar aja. Boleh?"

Bintang mendelik, lalu duduk kembali dan membuka novelnya lagi.

"Lo suka banget baca novel ya?"

Bintang mengangguk.

"Nama lo cantik, kayak orangnya."

"Makasih."

"Bintang,"

"Hm,"

"Kecil, di langit yang biru." Fachrel bersenandung lalu tertawa kecil saat Bintang hanya merespon dengan gumaman.

"Bintang,"

"Kalau kamu nyanyi lagi, aku pergi."

"Eh iya-iya ga akan nyanyi."

"Hm,"

"Bintang,"

"Apa sih?"

"Gue Fachrel, salam kenal ya?"

Bintang menghela napas, menoleh pada Fachrel yang menjulurkan tangannya lagi, "Iya, kamu udah bilang ke aku tadi kalau nama kamu itu Fachrel."

"Tapi kita belum kenalan secara sopan,"

"Maksudnya?"

Fachrel menatap Bintang bergantian dengan tangannya yang masih menggantung. Bintang menghela napas, lalu menjabat tangan Fachrel, tersenyum sinis. "Bintang." Fachrel tersenyum puas.

"Alay."

"Engga."

"Rel,"

"Apa?"

Bintang menggeleng. Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa Fachrel tiba-tiba mendatanginya. Bintang menghela napas lagi.

"Depresi ya, mba?"

"Hah?"

"Napas-nya ga bisa santai?"

"Apaan sih."

Fachrel tersenyum, sebenarnya dia bukan orang pindahan baru di komplek ini. Sudah hampir dua minggu dia tinggal disini, selama itu juga dia memperhatikan perempuan itu dari jendela kamarnya.

Fachrel sudah tahu kalau sebentar lagi perempuan itu akan pamit pulang, karena senja sudah tiba. Ia juga tahu kalau sebelum perempuan itu pulang, ia pasti membeli eskrim di tukang eskrim yang pasti lewat pada jam itu. Ia sudah tahu apa saja yang perempuan itu lakukan di taman ini, dan baru hari ini ia tahu kalau perempuan cantik yang ia perhatikan selama ini bernama Bintang.

"Aku pamit pulang ya." kata Bintang membuyarkan pikiran Fachrel. Ia tersenyum karena semua yang Bintang lakukan sama persis dengan yang setiap hari ia perhatikan.

"Eh, beli eskrim dulu mau ga?" ajak Fachrel. Bintang terdiam, dahinya berkerut, menandakan ia sedang berpikir.

"Bi?"

"Bi?"

"Iya, Bi. Bintang. Boleh, kan?"

Bintang mengangguk, sejurus kemudian Fachrel menarik tangan Bintang melangkah menuju si tukang eskrim.

"Eh, non Bintang udah kenal toh sama den Fachrel?" kata si tukang eskrim dengan logat jawanya.

"Loh? Pak Joko tahu nama dia?"

"Den Fachrel kan udah pindah kesini dari dua minggu yang lalu toh, non."

Bintang menatap Fachrel menyelidik, "Katanya kamu baru pindah kesini,"

"Dua minggu masih bisa disebut baru kan?" kata Fachrel dengan wajah ramah.

Bintang memilih diam lalu memilih eskrim yang dijual Pak Joko, saat ia mengeluarkan dompetnya, Fachrel menahan tangannya.

"Biar gue aja."

"Ga, aku bisa bayar sendiri."

"Gak apa-apa, anggap aja ini tanda terima kasih dari gue."

"Untuk?"

"Perkenalan kita,"

"Makasih."

Setelah itu, Bintang pamit dan mulai melangkahkan kakinya pergi dari taman, setelah beberapa langkah ia menoleh ke belakang memastikan kalau Fachrel tidak mengikutinya ke rumah.

"Kenapa? Kangen ya?" Fachrel berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Bintang.

"Sebenarnya aku ingin memastikan kamu tidak mengikutiku pulang ke rumah."

"Emang kalau gue ikut pulang, kenapa?"

"Nanti kamu jadi tahu rumahku."

"Bagus dong, kita jadi bisa ke kampus bareng."

"Bareng?"

"Iya, mau kan?"

"Kayaknya kita ga sekampus deh, Rel."

"Yes, we did."

"Fine."

Fachrel tersenyum, "Jadi, deal ya berangkat bareng?"

"Ga."

Langkah Bintang terhenti di depan sebuah rumah bercat biru langit dan pagar warna cokelat tua. "Kamu pulang sana."

Fachrel memperhatikan design rumah Bintang yang terlihat berbeda dari rumah lainnya. Rumah Bintang bertingkat 2 dengan lantai atas lebih sempit daripada lantai bawah, sebuah taman yang asri dengan air mancur di pojoknya, sebuah garasi dan sebuah pintu yang sepertinya menuju ke halaman belakang.

"Iya, rumah aku beda."

"Bagus kok,"

"Makasih."

"Bi!"

"Apa?"

"Izinin aku ya?"

"Untuk?"

"Menyangimu."

Astrophobia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang