Bagiku,
Senja menjanjikan bahagia dan tawa, ketika malam menjanjikan duka dan lara.
Senja berjanji untuk mengisi hampanya hati, ketika malam hanya sekedar memberi ilusi.
Senja hadir melengkapi dua insan yang telah menikmati indahnya hari, ketika malam meminta kebahagiaan untuk sejenak pergi.
Senja memberi sejuta harap, ketika malam menepisnya.
Malam memang terlihat jahat untukku, ketika malam terlihat indah untuk orang-orang di sekitarku.
Senja terasa lebih baik saat itu, saat ini, dan nanti.
Ku pikir juga, malam akan tetap terasa membunuh.
Sayang, maafkan aku tidak lagi memenuhi inginmu.
Maafkan aku tidak lagi menemuimu.
Bintang dan bulan tidak lagi bisa meyakinkanku akan dirimu.
"Sayang?"
Fachrel duduk di sebelah Bintang diatas kursi taman di depan rumah Fachrel. Sebenarnya Bintang tidak terkejut, karena sudah satu minggu ini kebiasaan Fachrel adalah mengusik ketenangan Bintang setiap sore karena ternyata mereka tidak sekampus. Kampus dan fakultas mereka berbeda. Sejak sore itu, sejak Fachrel tahu ia tidak sekampus dengan Bintang, Bintang sudah tahu kalau sore-sore miliknya nanti tidak akan tenang seperti dulu. Hanya saja, saat ini ia sedang menuliskan isi hatinya yang tidak ingin dilihat siapapun.
"Ih, ga sopan!"
"Maaf,"
"Kamu itu boleh tiba-tiba duduk, tapi ga boleh tiba-tiba baca apa yang sedang aku tulis."
"Jadi, dari tadi gue panggil lo ga denger?"Bintang terdiam, lalu Fachrel memalingkan pandangannya dari Bintang. "Ya, wajar sih. Kan, lagi sibuk mikirin si Sayang itu."
"Sok tahu, kamu."
"Gue ga sok tahu,"
"Lalu apa namanya kalau bukan sok tahu?" sarkas Bintang sembari memasukan notebook kesayangannya.Fachrel hanya diam melihat Bintang yang mulai sibuk merapikan alat tulisnya. "Mau kemana sih? Buru-buru banget."
"Pulang, sudah mau malam."
"Disini kan, kalau malam ada milky-way. Lo ga ada niat lihat bareng gue?"Komplek perumahan mereka memang berada sedikit diatas kota, jadi setiap malam taburan bintang pasti terlihat disana.Jika beruntung mungkin saja si cantik milky-way hadir. Bintang menatap Fachrel seakan ia baru saja mengatakan hal paling bodoh di dunia. "Kenapa, Bi?"
"Aku ga suka bintang."
"Nama lo Bintang, kan?"
"Iya."
"Terus kenapa ga suka bintang? Kan bintang di langit juga cantik kayak lo."Tanpa menjawab Bintang langsung berdiri, mulai melangkahkan kakinya menuju rumah. Fachrel mengikuti langkahnya, "Ngapain, sih, kamu ngikutin aku terus?"
"Memastikan lo sampai di rumah dengan keadaan utuh, Bi,"
"Rumah aku ga sejauh itu, Rel. Ga usah lebay, deh!"
Fachrel tersenyum, "Ga apa-apa."Bintang terdiam, pikirannya bercampur aduk akan semua kemungkinan yang bisa terjadi antara Fachrel dan dirinya. "Aku ga suka bintang, Rel."
"Kenapa?"
"Bintang itu jahat. Ketika seseorang tersakiti, berduka, dan menangis dia masih tetap bisa bersinar. Dia tetap terlihat bahagia, Rel, padahal ada seseorang yang sedang bersedih. Dia jahat, dia ga kayak senja yang selalu mengerti, memberi ketenangan untuk semua jiwa yang bersedih hati. Senja itu.."Air mata menetes dari mata Bintang bersamaan dengan terhentinya langkah mereka di depan rumah bercat biru. Fachrel menyodorkan sapu tangan berwarna coklat muda yang selalu ia bawa jika keluar rumah, "Tapi, nama lo Bintang. Dan lo ga jahat,"
"Kamu ga kenal aku." balas Bintang seraya menerima sapu tangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophobia?
Teen FictionSemua orang berhak memiliki ketakutan untuk mereka rasakan. Tidak terkecuali Bintang. Ini cerita tentang Bintang Allicaesara yang tidak ingin bertemu lagi dengan bintang di malam hari sejak 5 tahun lalu, dan Fachrel Ardhafa yang berusaha menjadi bul...