Delusi by dwen_michan
Lagu : Gloomy SundayPagi saat aku melewati lorong-lorong kelas secepat suara burung yang silih pergi, langkahku terhenti begitu pintu kelas terbuka.
Dug.
"Put?" tanyaku segera, saat dirinya memelukku dengan begitu eratnya.
Dia masih terdiam, tak berkata apapun. Ia masih memelukku terlalu erat, hingga suara sesaknya terdengar secara perlahan. Perlahan dadaku ikut sakit merasakannya. Baju sifonku perlahan basah, entah karena memang terlalu tipis atau air matanya yang terlalu banyak mengenai pundakku. Rambutnya yang tertiup angin mengenai wajahku. Dan ia masih terdiam.
Aku memegang pundaknya untuk mendorongnya menjauh, namun ia lebih kuat mendekapku.
"Are you okay?" bisikku.
Kini kurasa tangannya menghapus air matanya. Ia mulai merenggangkan pelukannya hingga kini aku bisa melihat wajahnya.
"I'm okay." Balasnya dengan sebuah senyuman berhias mata sembab.
"Bohong." Aku memengangi pundaknya, "Tell me–"
"Lo ngapain diri disini deh?" suara itu muncul dari belakang pundaku, hingga aku segera menengoknya.
"Firda?" tengokku, "Ini put–" namun Putri sudah duduk kembali dikursinya, seolah tak terjadi apapun.
"Siapa?" tanya Firda bingung.
Aku segera menggeleng, mungkin aku tak bisa mengatakannya. Dan lebih baik aku diam.
"Gapapa." Jawabku segera membuat Firda menaikkan sebelah alisnya bingung.
Ia melangkahkan kakinya lebih cepat masuk kedalam, ke kursi dibarisan terdepan, sedangkan aku menuju kursi Putri, aku duduk disebelahnya, dibarisan paling belakang.
Entah sejak kapan, aku merasa aku dan Putri sama. Terlalu banyak persamaan, dimana kami terbiasa untuk diacuhkan, dan kami terbiasa untuk berbagi luka. Namun aku lebih baik diam dan tak menceritakannya pada siapapun, dan Putri lebih suka bercerita padaku.
"Dia putusin kamu?" bisikku saat dimulainya jam pelajaran. Aku berusaha tetap menatap ke depan saat dosen menjelaskan tentang beberapa teori yang membuatku mengantuk.
Putri menjawabnya pelan, "Bukan." Lalu dia menghela nafasnya, "Dia bilang mau dinas ke luar Kota, tapi besok genap 100 hari dan dia belum kembali."
"Kangen?" bisikku lagi padanya sembari melirik sedikit, dan ia mengangguk.
Siapa juga yang tak merindukan kekasihnya yang sedang pergi, bagaimanapun juga kekasih Putri juga mirip dengan kekasihku, ini keajaiban bagiku. Aku beruntung bisa mengenal Putri yang baru saja masuk kedalam duniaku. Kekasihnya seperti Leon, dia cowok pertama bagiku yang berhasil membawaku ke dunia nya.
Dulu, saat pertamakali kami bertemu, dia mengetuk pintu rumahku, dia penjual bakso katanya. Dia tertawa dengan girang saat aku menerima semangkuk bakso yang katanya punya ramuan tertawa. Dan dari hal sederharna itu, dia berhasil membuatku jatuh cinta. Katanya, setiap kali melihat ku keluar atau masuk rumah, dia heran dengan wajahku yang selalu datar. Rupanya Leon tetangga depan rumahku, dan selama lima belas tahun aku pindah, aku tak pernah tau. Leon punya banyak kejutan, satu-satunya laki-laki dihidupku yang mampu membuatku bahagia.
*
Dibawah sana aku bisa melihat Putri dihalaman rumahku sedang berdiri menatap rumah Leon, "Masuk aja Put, pintunya gak dikunci!" teriakku dari jendela kamarku membuatnya menengok keatas. Ia menggeleng, oh aku tau alasannya. "Tenang aja, gak ada Bunda." Lanjutku membuat senyum Putri merekah.
Bunda. Namanya saja aku malas menyebutnya, bagaimanapun juga aku selalu merasa risih jika ia bertanya banyak hal padaku. Penyebab kematian Ayah itu kenapa masih hidup? Kalau saja malam itu ia tak menyuruh ayah untuk membelikan makanan kesukaannya, mungkin Ayah masih ada. Tidak ada pria sebaik ayah, sampai aku bertemu Leon. Dan ia suka sekali berbohong, belum lama ini ia bilang kalau Leon sudah tidak ada, apa dia gila?!
Putri sudah duduk diranjang kamarku, bercerita tentang waktu dulu kekasihnya suka memberikan banyak kejutan di hari ulang tahunnya, sama seperti Leon. Aku membuka sebuah kotak yang ku simpan di bawah meja, banyak foto polaroid kebersamaan ku dengan Leon. Setiap minggu malam, Leon suka mengetuk pintu rumah, menjadi tukang mie ayam, tapi tanpa ayam karena susah di tangkap. Atau menjadi atlit panjat tebing yang tiba-tiba sudah ada didepan jendela kamarku di lantai dua sembari membawa bunga mawar.
Leon begitu sempurna untukku, meski dia bukan pria tampan, dia adalah pria yang selalu menghiburku. Sosok pertama yang membuatku nyaman, sosok yang mengantikan Ayah, dan alasan aku untuk hidup kembali.
"Suaranya kenceng banget ya?" tanya Putri tiba-tiba menatap keluar jendela.
Aku yang sedari tadi juga mendengarnya menjadi ikut menatap rumah Leon. Disana ramai, orang-orang datang kesana, mungkin Bunda juga disana. "Pengajian mungkin." Jawabku. "Tadi siang Mamanya Leon datang kerumah, ngomong sesuatu sama Bunda tapi aku gak denger, Bunda sempet kaya lihat ke arahku sambil menggeleng. Gak ngerti deh, mungkin mau ngajak."
Aku terdiam kembali, melihat halaman dimana aku dan Leon biasa bercengkrama. Kayaknya udah lama gak liat Leon. Semenjak aku dilarikan ke rumah sakit karena koma, Leon tidak pernah terlihat, dan malah sosok Putri yang selalu muncul seperti mengantikan keheningan. Anehnya, semua orang tidak mengenal Putri dengan baik. Dia selalu tidak dianggap, sepertiku yang mungkin dianggap aneh oleh beberapa orang.
Sunday is gloomy
My hours are slumberless
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers
Will never awaken you
Not where the black coach
Of sorrow has taken you
Ada sebuah lagu, saat pertamakali mendengarnya, membuatku ingin memejamkan kedua mataku dengan sangat lama. Menuliskan lirik lagunya yang begitu berarti. Membuatku merasa damai. Entah kenapa aku bisa berada dirumah sakit waktu itu, ada seseorang disebelahku yang mendengarkan lagu ini.
Lagu itu terasa menyesakkan, hingga ketika aku mendengarkannya, Putri terisak menatapku, ia menggeleng merasakan sakit. Sebegitu rindunya kah kamu? Lalu ia meraung-raung kesakitan sembari berteriak.
"Kamu dimana? Aku mau sama-sama kamu aja!" ia terisak lagi. "Semua yang aku sayang kenapa diambil?! Semua yang aku punya kenapa di ambil?!" begitu katanya terus diulangi. "Kamu bilang kamu hanya pergi sebentar! Tapi kamu gak pernah kembali? Kamu janji mau bahagia sama aku, tapi kamu pergi!"
Ia mengambil gunting yang ada dimejaku, sembari menatapku ia masih bersenandung memelankan suaranya, "Minggu yang muram, bersama bayang-bayang, kuhabiskan sepenuh hatiku dan aku tlah memutuskan tuk akhiri semua." Ia tiba-tiba tersenyum, "Dia udah gak ada di dunia ini."
Dadaku sesak sembari menatap Putri yang menggerakan tangannya perlahan, sembari kembali terisak, "Biar mereka tahu. Bahwa aku bahagia tuk pergi. Kematian bukanlah mimpi. Karena dalam kematian aku membelaimu"
Aku menatapnya ikut menangis. Menahan sesak, aku rindu Leon. Aku rindu Ayah. Aku menatap Putri yang masih meraung. Dan tiba-tiba saja ia terdiam. Ia diam sembari mendengarkan lagu itu yang kembali terputar, terus berulang hingga aku merasakan sunyi.
Semenjak menemukan lagu itu, aku merasakan ada sebuah takdir yang membawa hingga masuk ke dalam nadi. Terasa panas, seperti racun yang berbisik. Seperti sebuah dorongan.
Tak.
Gunting yang dipegang Putri terjatuh di lantai, dengan merahnya darah segar menetes dilantai. Aku melihat Putri tersenyum seolah bahagia ingin pergi segera. Aku menghampirinya, namun aku tak menemukannya, padahal ia ada tepat didepanku. Aku ingin menghampirinya, namun aku hanya menemukan cermin di depan mataku. Dan seketika, tanganku perih. Luka yang sama.
Aku ingat dulu Leon pernah berbisik memanggilku, "Kamu itu putri bagiku. Putri dari negri dongeng yang datang ke duniaku."
Aku berlutut, semuanya terasa gelap. Leon, aku ingin menyusulmu–Putri.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Songfiction : Mitos
Short StoryKali ini, penulis kami menarasikan lagu-lagu dengan kisah mitos dibaliknya yang mungkin sering kalian dendangkan. Selamat menikmati. Cover indah dari @Ariski