Dari jarak sepanjang urat nadi,
aku memperhatikan lekuk bibirmu yang digerus usia. Meski dibalut kain
yang dinamakan kesusahan, kau membaju kami dengan rasa tenang.
Seolah Ayyub tak pernah sakit dan Isa tak pernah Sengsara.
Ketika tangis pecah di seminggu Rajab,
rangkulmu magis menyilapkan tiap gundah dan ketakutan
pada refleksi neraka.
Telatenmu menerawang membasahi ap yang kelak menduga banyak
sugesti tentang surga.
Rasa kasihanmu mencegah setiap insan menjadi Tanggang. Tak ada yang lebih
agung cintanya dari tawamu melihat
Malin yang tak pernah jadi Batu.
Ummi, Mommy, Mamah, Ambu, Mamak, Bunda,
serta apalagi itu.
Begitulah manusia menyebutmu.
Bahka seribu Matahari tak akan sanggup mengalahkan terangnya kasihmu.
Purwakarta, 2018

YOU ARE READING
Hambakata
PoesíaKekuatan kata akan datang ketika telinga sudah mulai butuh suara, ketika mata sudah mulai butuh huruf dan aksara, ketika pikiran sudah mulai butuh rasa. Nah, ini dia ...