HUJAN

491 33 0
                                    


Detak jantungku berpacu lebih keras ketika aroma petrichor merasuk indra penciuman. Aku menatap hujan yang jatuh satu-satu kemudian turun dengan deras, menyebabkan genangan air dimana-mana. Mereka bilang hujan adalah salah satu mesin waktu untuk kembali pada kenangan dan aku setuju. Karena kini air langit itu membawaku pada kenangan tentangmu.


.


Hari itu hujan turun dengan rapat meski tidak terlalu deras. Di bawah halte kau duduk menungguku. Kegigihanmu membawaku menghampirimu, melanggar petuah orangtua untuk beristirahat akibat demam yang menyerangku tiga hari ini.


Aku diam sebentar sebelum kakiku mencapai tepi halte hanya untuk mengamati betapa cahaya bulan semakin memperindah dirimu. Senyumku terukir. Dengan hati yang penuh dengan keinginan temu aku mendekat. Menutup payung yang ku pakai melndungi tubuh dari jatuhnya air dari langit.


Kau tersenyum padaku dan bilang bahwa rindu ini menyakitimu, namun sekarang semua sesak seolah hilang. Aku tersipu. Dingin yang kurasakan ketika kau menggenggam tanganku membuatku khawatir.


"Kau kedinginan, Kyu."


Bukan jawaban narsis seperti 'Tenang saja, hatiku yang hangat membuatku tidak merasakan dingin.' atau 'Aku tidak merasakannya jika kau memelukku.'dengan kau yang merentangkan tangan dan senyum lebar. Tapi yang ku dapat hanya sebuah senyuman dengan perih di matamu.


"Kyuhyun..." Aku menggenggam tanganmu erat lalu kau memelukku.


"Aku tidak apa-apa. Maaf membuatmu harus keluar malam-malam. Kau sudah sehat?"


Keteganganku mencair. Ku balas pelukanmu lalu mengangguk. Meski badanmu dingin, kehangatan pelukanmu masih ku rasakan. Tidak pernah aku merasakan kenyamanan seperti ini selain darimu, hal yang membuatku mau memutuskan terpenjara seumur hidup bersamamu.


"Kadang aku bingung bagaimana caranya berterimakasih pada Tuhan telah mempertemukanku denganmu karena rasa syukur saja rasanya tidak cukup," bisikmu.


Ku rasakan panas dari mataku. Aku ingin menangis. Terlalu indah jika semua ini nyata, namun aku pun tak ingin ini hanyalah mimpi semata.


Tak lama kau pamit, membuat kerut di dahiku terbit. Lalu kau bilang jika kau hanya ingin melihat wajahku. "Diantara derai hujan kau semakin cantik."


Pipiku bersemu. "Kau sudah sering bilang seperti itu," ucapku dengan nada pongah. Kau tertawa kecil kemudian mengusap pipiku.


"Kau cantik dengan kesan yang romantis." Selalu saja kau berhasil membuat bibirku melengkung dengan degup jantung yang tidak biasa. "Aku mencintaimu," ucapmu tanpa suara di antara senyuman.


Dan aku ingin sekali berucap "Kau seperti lukisan yang indah dengan latar tirai hujan dan terang sinar rembulan." yang tentu saja tidak ku ucapkan. Karena aku tidak ingin kepercayaan dirimu yang selangit itu merusak suasana romantis ini. Anggap aku egois, biarlah. Karena entah mengapa aku tidak ingin mengakhiri ini. Tapi kau harus pulang dan istirahat. Kau tidak boleh sakit sepertiku. Hanya tujuh hari lagi sebelum kita akan bersama dalm satu atap.

About UsWhere stories live. Discover now