CHAPTER 1

22 3 2
                                    

My work with xoloshe

Stanford University

Tanganku bergetar hebat mencengkeram kertas kecil berisi pengumuman tempat praktek stase akhir. Oh akhirnya tinggal selangkah lagi bagiku untuk mendapatkan gelar dokter.

Kalau mahasiswa lain kebanyakan menggerutu karena tempat praktek jauh dari kota tinggal mereka, aku justru tersenyum lebar dengan memasang tampang bodoh. Aku memekik berulang kali-tentu saja didalam hati. Ingin rasanya kutertawa mengingat kedua teman baikku Jessi dan Willis yang mengeluh karena kami akan terpisah jarak yang jauh selama enam bulan kedepan. Kalau Jessi masih berada di Torronto, Wilis kekasih bodohnya yang sialnya sahabatku mendapatkan China sebagai tempat tempat praktek stase akhirnya. Baguslah, mereka jadi bisa lebih fokus dalam menjalani pengabdian profesi.

Ya Tuhan pengabdian profesi. Ini bukan seperti kau pergi kedaerah terpencil yang disana tidak ada alat transportasi, jaringan sinyal, makanan mewah, atau bahkan kamar mandi. Tapi mudahnya, magang. Iya magang. Magang bagi anak calon dokter sepertiku itu kusebut pengabdian profesi. Kenapa pengabdian profesi? Karena setelah ini aku harus merelakan waktu tidurku, melewatkan jadwal makanku dan melupakan waktu untuk bersenang-senang dan menggantinya dengan bekerja dirumah sakit nonstop tanpa dibayar! Keren tidak? Kalau menurutku sih tidak sama sekali. Lelah yang iya.

Ah sudahlah aku tidak ingin merusak moodku yang sedang baik ini. Bagimana kalau kita bahas tentang Korea Selatan saja.

Korea Selatan.

Negara itu seperti misteri bagiku. Kakekku mengatakan bahwa dulunya keluargaku pernah tinggal disana yang sialnya aku tidak ingat tentang hal itu dan merasa tidak pernah menginjakkan kai di negara ginseng itu. Aku pernah berfikir kalau kakekku berbohong mengingat aku tidak pernah menginjakkan kaki di Korea. Tapi mengingat mataku yang berbeda dari warga sini yang berwarna hazel dan juga kakekku yang selalu berbicara dalam bahasa korea membuatku perlahan mempercayai pria itu.

Aku juga mempunyai kekasih bernama Kim Jongin. Ia merupakan lelaki berkebangsaan Korea satu tahun diatasku. Aku mengenalnya karena ia senior satu fakultas di kampus tempatku belajar dan ia harus berpuas diri karena ditempatkan praktik di San Fransisco yang cukup jauh dari kampus kami.

Mendengar aku akan ditempatkan praktik di Negara kelahirannya itupun aku langsung menelpon lelaki itu lalu memamerkan kertas penempatan ini. Ia tidak bisa mengantarku karena pekerjaannya yang menumpuk di rumah sakit tempat ia praktik saat ini. Jongin juga kenal deka dengan willis dan juga Jessi.

.

Senang?

Oh tentu saja. Bahkan aku sama sekali tidak peduli saat pesawat yang kutumpangi bergoncang berulang kali karena menerobos sekumpulan awan hitam. Bagiku awan-awan hitam itu lebih terlihat seperti bola-bola kapas yang menyambut kedatanganku ke Korea.

Ah senangnya.

.

.

.

Lupakan soal bola kapas. Aku kembali berdecak kagum dengan cuaca musim semi negeri ginseng ini. Bunga canola kuning tampak bermekaran disepanjang jalan. Seolah-olah menyambut siapa saja yang akan menghabiskan waktunya disini. Juga cahaya matahari yang tidak pernah kutemui di kota asalku sebelumnya.

"Khamsahamnidaa Ahjussi."

Setelah memberikan beberapa lembar uang kepada supir taksi, aku langsung melesat masuk ke apartemen. Aku beruntung, satu koperku yang lain berhasil kutitipkan kepada saudara Jongin beberapa hari yang lalu, jadi aku tidak perlu terlihat seperti seorang pengungsi saat ini.

Chained UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang