Luka #4

23 6 0
                                    

Jangan cintai aku apa adanya - Tulus

*

ANIN :

Rumus dan soal latihan trigonometri di papan tulis sungguh membuat siswa kelas X MIPA 4 mengeluh. Sudah sulit, ribet, butuh waktu lama untuk menemukan jawabannya. Persis kayak cewek. Padahal aku juga cewek.

Aku melirik keadaan sekitar. Tampak Kaelin sedang kesulitan menemukan jawaban. Antara rumus dengan soal terasa tidak sinkron. Kaelin itu setipe denganku. Dia lebih suka pelajaran yang berbau seni dan sastra, seperti seni budaya dan bahasa Indonesia. Jadi tidak heran melihatnya kesulitan.

Di meja paling depan terlihat Mega sedang serius mengerjakan. Dia murid paling pintar di antara yang pintar. Baginya, matematika, fisika, kimia, dan pelajaran hitung berhitung lainnya itu mudah. Cukup hafal rumus, paham dengan penggunaannya, dan percaya dengan jawaban sendiri. Beda lah ya sama aku yang menghafal rumus aja susahnya setengah modyar. Coba saja pelajaran hitung berhitung itu tugasnya membuat puisi, cerpen, sinopsis, atau resensi.

Dan jangan lupakan Ervan. Dia dengan santainya tidur. Meletakkan kepalanya di meja. Nyaman sekali. Ervan memang begitu, tak peduli dengan sekolahnya. Baginya tugas, guru, pr itu semua tak penting. Itu lebih baik, biasanya dia memilih membolos. Jangan salahkan sikap nakal Ervan. Salahkan orang tuanya yang terlalu memanjakannya. Apapun yang dia minta selalu dituruti tanpa syarat. Itu kata Kaelin sewaktu kami istirahat setelah olahraga minggu lalu.

Ponselku yang berada di laci meja bergetar halus. Ada notifikasi WhatsApp. Aku menunduk, takut bila ketahuan Pak Ambar, guru matematikaku.

Kyle Avarell: Pulang sekolah aku tunggu di gerbang depan. Aku anter pulang.

Oke, for your information Kak Kyle juga satu sekolah denganku dan Kaelin. Dia kakak kelasku di SMA Putra Bangsa, kelas sebelas. Tetapi seperti yang waktu itu dikatakan Kaelin, Kak Kyle adalah tipe yang anti sosial, sama sepertiku. Dia lebih memilih diam di kelas dibanding berkeliaran di kantin.

Aku ragu untuk menerima, tapi juga tak enak hati bila menolak. Kaelin juga seperti tak peduli dengan ekspresiku. Dia masih sibuk dengan tugasnya. Tampangnya pun mengenaskan. Teler.

Keanin Arista: Gak usah kak.

Kyle Avarell: Kenapa? Malu?

"Keanin kenapa buku kamu masih kosong? Sama sekali belum dijawab." Suara bariton itu begitu familiar bagiku. Menggema penuh penekanan di tiap katanya. Aku yakin sebentar lagi dunia akan kiamat.

Udah mati aja.

Aku mendongak perlahan. Ragu-ragu. Takut bila kena semprot oleh orang yang bicara padaku tadi. Turunin hujan sama gluduk aku mohon. Biar sekolah banjir, terus aku gak akan kena hukum. Tapi itu jelas mustahil. M-U-S-T-A-H-I-L.

Tatapannya menghunus retinaku. Tangan kanannya sibuk memelintir kumis hitam nan tebal miliknya. Sementara tangan kirinya memegang dengan kokoh pinggangnya. Jika situasinya berbeda, aku akan tergelak melihat wajah orang itu.

Dia memukulkan penghapus papan tulis ke meja dengan sangat kuat. Membuatku terlonjak kaget. Bahkan Ervan yang sedang menikmati mimpinya pun jatuh terjengkang saking terkejutnya. "Kamu bapak hukum. Selesaikan soal di papan tulis sampai selesai. Tapi gak di sini. Melainkan di--"

"Dimana pak?" Tanyaku penasaran. Pak Ambar ada-ada saja.

"Di perpustakaan, sendirian."

"Tapi pak."

"Tidak ada tapi-tapi."

Dasar.

*

Kita Yang Berbagi LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang