Jatuh cinta dalam diam adalah pilihan. Meski rasa itu tak bisa dilampiaskan. Meski hanya sebatas melihatnya dari kejauhan. Meski hanya menyebut namanya dalam doa. Namun, tanpa sadar hidupmu jadi lebih berwarna.
Selamat memendam 🙂***
Alvin Aditama. Siswa kelas XI IPA 1 SMA Harapan Bangsa. Dia adalah alasan dibalik semangat Hanin pergi ke sekolah.
Hari ini Hanin bangun pukul 4 pagi. Dia memang terbiasa bangun pagi, karena harus sampai di halte bus sebelum pukul 6.
"Maa.. Hanin berangkat dulu. Keburu ketinggalan bus."
"Eh ngga sarapan dulu? Han-" Ucapan mamanya terpotong, setelah melihat Hanin menutup kembali pintu rumah.Sesudah turun dari bus, Hanin berjalan santai sambil tersenyum-senyum sendiri hingga ia tidak sadar bahwa anak-anak yang sedang melewatinya memandangnya dengan penuh heran.
Tiba-tiba Hanin berhenti, memandang lurus ke depan, dan senyumnya kembali mengembang. Melihat Alvin berjalan memasuki gerbang sekolah membuat Hanin cepat-cepat merapikan rambut dan seragamnya. Hanin mempercepat langkahnya agar lebih dekat dengan sang moodboster-nya itu. Walaupun hanya berjalan di belakangnya saja, jantung Hanin sudah mau copot rasanya. Hanin terus mengikuti Alvin, hingga Alvin hilang dari pandangannya. Tepat di depan kelas Hanin, Alvin hilang dari pandangannya. Di samping kelas Alvin, kelas XI IPA 2."Han, ngga baik ngalamun di delan pintu. Pamali." Suara Fanny yang lebih mirip seperti bisikan itu membuyarkan lamunan Hanin.
"Masuk kelas gih! Lo ngapain pagi-pagi ngalamun di depan kelas?"
Pertanyaan Fanny hanya dibalas dengan tatapan yang hanya satu detik saja, kemudian matanya mengarah kembali ke ruang kelas Alvin.
"Oh gue tau.. Lo pasti nyariin Alvin kan? Memastikan dia udah berangkat atau belum, ya kan?" tebakan Fanny setelah melihat arah mata Hanin.
"Apaan sih Fan, engga kok. Orang gue lagi itu.."
"Itu apaan?" Tanya Fanny, kepo
"Anu.. Itu lho." Hanin memikirkan alasan untuk memuaskan rasa ingin tau Fanny, namun zonk."Anu itu anu itu. Ambigu deh. Udahlah Han ngga usah mengelak. Orang dari tadi Lo liatin kelas Alvin terus. Jujur aja sama gue. Kaya gue ini siapa aja."
Hanin memilih masuk kelas dan meninggalkan Fanny daripada harus menjawab tebakan Fanny yang---hampir benar. Bukan memastikan Alvin sudah berangkat atau belum, namun lebih tepatnya Hanin tidak rela jika pemandangan seindah itu cepat berlalu dari pandangannya. Makanya, ia berdiri di depan kelas dengan harapan Alvin muncul kembali dari pintu kelasnya.
Hanin memang menyukai sosok Alvin sejak lama. Tapi sampai sekarang, dia menutupi perasaannya. Ia tidak berani untuk mendekatinya atau bahkan untuk sekadar menyapanya. Mereka bahkan tidak pernah saling berbicara. Kenal? Mereka mengenal satu sama lain. Namun hanya sebatas tau nama saja. Tidak lebih dari itu. Sejauh ini Hanin lebih memilih untuk diam dan memendam.
Selama pelajaran berlangsung, Hanin tampak senang. Bukan karena pelajaran Fisika, namun lagi lagi tentang Alvin. Bahkan Fanny sudah tiga kali mendapatinya sedang senyum-senyum sendiri.
Di kantin, Hanin dan Fanny duduk di bangku seperti biasa, di dekat jendela kaca dua pintu yang di atasnya terdapat tulisan 'JAGALAH KEBERSIHAN'. Tempat itu menjadi tempat langganan mereka dan menjadi tempat yang paling strategis bagi Hanin untuk secara puas memandang Alvin secara diam-diam.
"Lo ngga capek apa diam-diam kaya gini?" Tanya Fanny yang gemas melihat tingkah sahabatnya itu.
Hanin hanya membalas pertanyaan Fanny dengan lirikan.
"Mau Lo liatin sampai kapan pun, tu cowo ngga akan balik natap Lo. Lo tu kurang kode Han. Kapan dia pekanya. Orang Lo ngga usaha."
"Tapi gue bahagia kok", sahut Hanin.
Fanny berdecak, " Ck.. Lo bahagia? Iya Lo seneng kalo ketemu dia, tapi Lo nangis waktu liat dia sama cewe lain."
"Ya terus? Gue harus datang ke dia sambil bawa gitar, nyanyiin lagu cinta, trus gue nyatain perasaan gue ke dia gitu? Sampe Patrick Star jadi kuning pun gue ngga akan nglakuin hal konyol itu."
Fanny menghela nafas panjang, "Hmm.. Ya ngga gitu juga kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Short StoryJatuh dalam diam itu tidak mudah. Harus menahan diri dari letupan-letupan rasa yang tak mampu diungkapkan melalui kata.