01 : Sekar dan tekadnya

528 112 83
                                    

"Abin, sarapan dulu nak."

Seorang wanita berusia 43 tahun tengah menata piring serta lauk pauk di atas meja makan. Tampilan wanita itu tampak sangat sederhana dengan daster sebatas lutut yang terlihat sedikit lusuh dan adanya beberapa tembelan di kain tersebut.

"Alisa mana, bun?" tanya seorang laki-laki dengan kaos berwarna abu-abu serta celana pendek sebatas lutut.

Abinta Gamaleon Narendra. Anak pertama dari keluarga Narendra. Laki-laki berusia 17 tahun itu baru saja duduk di atas kursi meja makan. Laki-laki dengan tinggi sekitar 175 cm tersebut memiliki garis wajah tampan keturunan dari ayahnya serta rambut hitam legam dengan bola mata kecoklatan. Abin jiga memiliki kulit kecoklatan yang tampak bersih dengan tahi lalat kecil di pinggir alis sebelah kiri.

Wanita yang tadi memanggilnya merupakan satu-satunya orangtua yang Abin punya. Helena Silvi Narendra namanya. Wanita yang berstatus sebagai ibu dari seorang Abinta dan adiknya yang bernama Alisa Putri Narendra, anak bungsu keluarga Narendra yang berusia 15 tahun dan masih bersekolah di sekolah menengah pertama.

Helena merupakan wanita yang baik hati, penyayang serta lemah lembut. "Tadi adik kamu keluar katanya ada kerja kelompok sama temennya," kata bunda Abin. "Kamu jadi keluar habis ini?" tanya wanita itu.

Abin mengangguk. "Jadi, bun. Mungkin jam 9 Abin berangkat," jawabannya.

"Kamu mau pergi kemana pagi-pagi gini?" Helena mengambilkan secentong nasi untuk Abin.

"Mau cari kerjaan, bun."

Menatap anaknya sebentar kemudian Helena menghela napas. "Abin, kamu gaperlu kerja, sayang. Fokus aja sama sekolah, biar itu jadi urusan bunda. Kamu sama Alisa cukup jadi anak yang baik," ucap Helena dengan lembut. Ia memberi pengertian kepada anak laki-lakinya tersebut.

Abin menggeleng. "Abin mau bantuin bunda. Kalo perlu biar bunda istirahat aja di rumah. Nanti Abin aja yang cari uang," ucapnya sembari memakan makanannya.

Abin menatap ke atas meja. Hanya ada nasi  dan tempe dengan ukuran sedang di sana. Tidak ada makanan mewah. Terkadang ia hanya makan nasi dengan kecap. Bahkan rumah yang ia tinggali dengan bunda dan adiknya itu hanyalah rumah yang sangat sederhana dengan cat dinding yang mulai mengelupas serta beberapa bagian atap rumah yang mengalami kebocoran. Abin sudah terbiasa dengan itu semua. Dirinya bersyukur masih memiliki tempat tinggal dan bisa makan meskipun dengan lauk seadanya.

Abin sudah bertekad ingin membahagiakan bunda dan adiknya. Setelah kepergian Farez January Narendra 4 tahun silam akibat Kanker Otak, hidup mereka seketika berubah 180 derajat. Dirinya yang dulu hanya fokus untuk sekolah kini harus mencari sambilan kerja agar pundi-pundi uang keluarganya bertambah.

Helena menggenggam satu tangan Abin yang ada di atas meja. "Mau cari kerja dimana, Bin? Kamu masih SMA, bunda takut kalo kamu kerja malah justru dimanfaatin sama orang," cemas bunda Abin sambil mengelus pelan tangan anak laki-lakinya. "Fokus sekolah aja ya? Katanya mau jadi Arsitek, hmm? Katanya mau kuliah di UI? Katanya mau bikinin bunda rumah yang bagus?" bujuk wanita itu lagi.

"Abin gamau kuliah, bun. Habis lulus mau langsung nyari kerja aja," ucap Abin mengagetkan Helena.

"Loh kenapa? Itu impian kamu dari dulu lho, masa kamu mau nyerah?"

Abin menggeleng. "Gapapa, bun. Biar Alisa aja yang kuliah. Abin gamasalah cuma lulus SMA," jawabnya.

Bohong. Laki-laki sebenarnya masih ingin untuk berkuliah. Tetapi kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan. Rasanya Abin sudah tidak berani memimpikan itu semua. Mau dapat uang dari mana? Ia sekolah saja hanya mengandalkan beasiswa. Itupun dia harus ekstra dalam menjaga nama serta prestasinya jika ia tidak mau beasiswanya dipotong apalagi dicabut. Ia tidak ingin mengecewakan bundanya.

PRAGMA (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang