Pengumuman hasil ujian masuk universitas akhirnya tiba. Saat itu, aku dengan percaya diri duduk di depan meja belajarku, ditemani oleh secangkir kopi dan roti. Aku masih ingat hari itu sangat segar, tapi aku yang katanya percaya diri ini tidak bisa tidur semalaman karena terlalu gugup. Mataku benar-benar terlihat merah dihiasi lingkaran hitam di bagian bawah mataku. Semalam suntuk aku menonton drama untuk membunuh kegugupanku. Entah bercerita tentang apa drama itu. Jelas pikiranku terbang melayang malam itu. Aku merasa cukup bersemangat dan di saat bersamaan juga merasa sangat gugup.
Detik demi detik aku lalui dengan rasa yang tidak karuan. Bagiku saat itu satu detik sangat lama. Bahkan film sudah tidak ampuh lagi membunuh kebosananku. Padahal film lah yang biasa ku jadikan pelarian saat bosan. Akhirnya waktu menunjukan pukul 10 pagi tepat. Website universitas pilihanku mulai sulit di akses, karena banyaknya manusia yang juga mengakses website itu secara bersamaan. Aku benar-benar gugup, rasanya suatu kebahagian yang amat besar akan datang kepadaku. Itulah yang ada di benakku. Saat aku berhasil mengunduh file daftar calon mahasiswa yang diterima di sana, aku langsung mencari namaku di daftar itu. Namun hasil kutemukan saat itu membuatku tercengang. Aku berusaha memastikannya berulang kali, tapi hasilnya sama. Aku gagal. Tanpa jeda sedikitpun aku kala itu benar benar kalap. Aku menangis tertunduk jatuh dari kursiku. Mungkin ini berlebihan, tapi aku benar benar melakukannya. Aku menangis se jadi jadinya dan saat itu aku baru merasa benar-benar kesepian. Tidak ada ibu ataupun ayah yang bisa menenangkanku. Ya seperti yang Yura katakan sebelumnya, aku tinggal sendri. Orang tuaku berpisah dan keduanya memiliki keluarga baru. Aku tidak nyaman tinggal bersama salah satu dari mereka. Akhirnya aku memilih tinggal di rumah kenangan orang tuaku sendiri.
Aku benar benar jatuh. Hari itu benar-benar hari terburuk dalam hidupku. Kegagalan pertama yang aku rasakan. Mungkin karena aku sombong. Aku tidak pernah merasakan kegagalan apapun bahkan aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Hingga hari itu.
Bunyi telepon menambah kebisingan kamarku saat itu. Aku membuka ponselku dan melihat nama dari sosok egois yang paling dekat dengaku. Ya itu Yura. Keegoisannya tiba-tiba menghilang saat mendengarku terisak. Dia mendengarkanku menangis selama setengah jam, hingga akhirnya dia berbicara dan hal itu benar-benar terasa sangat lembut di telingaku."Rei? Kamu di rumah kan? Aku ke rumah ya !"
Tidak perlu menunggu lama, dia sudah di depan rumahku. Aku membuka pintu dan memeluknya. Kulihat seseorang di sebelahnya. Dia sahabatku yang lainnya, Hikaru, yang bahkan tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa terdiam melihatku menangis. Aku dikenal sebagai sosok sok tegar yang sangat jarang menangis dan saat itulah kali kedua dia melihatku menangis, setelah perpisahan orang tuaku. Mereka mendengarkan ceritaku, yang bahkan aku sendiri tidak ingat apakah hal itu penting atau tidak dan Hikaru cukup menghiburku dengan ucapannya yang kadang terdengar bodoh di telingaku.
Dia sosok ceria yang selalu salah mengucapkan kata-kata, tapi itu yang membuatku sedikit terhibur hari itu. Sama halnya seperti aku, mereka berdua gagal. Ya mereka memang sudah memprediksinya dan mereka baik baik saja. Namun tidak denganku. Aku merasa sangat di berkati memiliki teman seperti mereka.
Saat air mataku sedikit mengering, terdengar suara ketukan lagi pada pintu rumahku. Aku yang bermata sembab ini enggan membukakan pintu. Akhirnya Hikaru secara ajaib membukakan pintu untukku. Dia benar benar memperlakukanku sebagai perenpuan saat itu, sedikit menggelitik, tapi aku menyukainya.
Sosok jangkung yang asing masuk ke ruangan tempatku, Yura dan Hikaru berkumpul. Sosok jangkung itu tersenyum canggung. Kulihat dia berusaha berbicara, tetapi terlalu bingung untuk mengucapkan sepatah kata pun. Aku buruk mengingat wajah, tapi setidaknya aku yakin aku pernah melihatnya."Ah.. dia nakajima" pikirku mulai menyadari itu. Aku ingat wajah yang tertera di profilnya tersebut. Aku mengusap air mataku. Aneh, rasanya aku malu saat dia menatapku dalam keadaan menangis. Pikirku, untuk apa dia datang.Yura dan Hikaru meninggalkan kami dalam kesunyian yang sangat canggung. Hingga akhirnya suara tegas seorang laki-laki bernama Nakajima itu memecah kesunyian.
"Ah.. Rei kamu... gagal juga ya?" Katanya canggung. Tidak, bahkan sangat canggung."Hmm" jawabku singkat seraya mengangguk. Tak terucap kata apa pun lagi dari mulutku seolah ingin mengakhiri percakapan itu.
Akhirnya keheningan kembali menguasai atmosfer di sekitar kami selama beberapa menit, hingga hikaru masuk dan berusaha mencairkan suasana. Masih jelas dibenakku, wajah Nakajima yang sangat khawatir. Dia melihatku, seolah ingin menghiburku. Namun saat itu kami masih terlalu canggung. Ini pertemuan pertama setelah sekian lama kita bertukar kabar lewat pesan singkat. Ini benar benar berbeda.
Kami bisa bersikap santai saat bertukar pesan, tapi saat bertemu kecanggungan lah yang mendominasi. Hingga sekali lagi aku bersyukur memiliki Hikaru di sampingku, yang membunuh kecanggungan itu.
***
Seminggu berlalu setelah pertemuan pertama kami. Memoriku masih sangat jelas menggambarkan apa yang terjadi setelah hari itu. Dia tiba-tiba meneleponku malam itu dan kami mulai berbicara lebih santai daripada sebelumnya. Hingga akhirnya hampir setiap hari kami berbicara via telepon. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari hal yang penting hingga hal yang bahkan tidak penting sama sekali.
Ini aneh bagiku yang sebelumnya tidak nyaman berbicara di telepon. Dia cukup pintar dalam memainkan kata, membunuh jarak yang ada. Meskipun sebenarnya dia adalah orang yang cukup serius. Bertukar kabar via telepon akhirnya menjadi sebuah moment yang cukup aku tunggu tunggu setiap harinya.
YOU ARE READING
EVE
FanfictionAuthor : nobinaka Pairing : Nakajima Yuto x OC Genre : Drama/Romance Rating : G