"Nona, sudah waktunya untuk istirahat."
Aku menghentikan gerakan jariku diatas tuts piano. Mengarahkan pandangan kepada sepiring pasta diatas nampan yang dibawa Sebastian. Aroma tumisan tomat dengan mugwart yg bercampur dengan pasta selalu bisa menggungah seleraku. Kuikuti langkah Sebastian hingga di meja makan yang berada di dalam kamarku itu.
"Jus jeruk atau teh, nona?"
"Jus saja."
Aku mengarahkan pandanganku ke arah jendela sembari menikmati makan siangku.
Hari ini Nenek sedang berangkat ke kota, untuk urusan yang dikatakan orang dewasa dengan bisnis. Atau apapun itu. Jadi bisa dikatakan ini adalah hari bebasku.
Ketika Nenek ada dirumah, permainan piano ku seakan memiliki jadwal sendiri. Dimulai dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore. Jeda yang kumiliki hanya ketika makan siang, ketika pedagang dari kota itu datang, atau ketika saat seperti ini. Ini adalah saat langka dimana aku bisa bermain piano hanya dalam setengah hari saja.
Cepat-cepat kuhabiskan makananku sebelum 'kakak'ku datang ke mansion ini.
"Sebastian, aku pergi ke peternakan kakak Jack dulu ya!" Pamitku antusias sambil menyerahkan gelas dan piring kotor kepadanya di dapur.
"Baiklah nona, pastikan sebelum makan malam anda sudah pulang. Tentunya kau tidak ingin membuat Nyonya Romana mencarimu kan."
"Aku mengerti kok, hehe. Aku berangkat dulu ya!"
Tepat sebelum aku membuka pintu dapur, terdengar suara bel rumah kami dibunyikan.
Yah, aku terlambat. Ternyata dia sudah sampai terlebih dahulu. Pikirku sebal.
Saat kubuka pintu, terlihat wajahnya dengan sumringah menyambutku. "Ups, sepertinya aku datang lebih cepat ya?"
"Kau selalu datang lebih cepat!"
Kak Jack hanya tertawa mendengar protesku sambil mengusap rambutku. "Baiklah aku minta maaf. Lain kali aku akan datang lebih terlambat ya?"
"Sudah berapa kali kakak berkata demikian?"
"Entahlah aku lupa, ingatkan aku dong."
Aku membuang muka mendengar perkataan Kak Jack tersebut agar dia tidak melihatku tersenyum. Entah mengapa aku tidak pernah bisa marah kepadanya.
Setelah aku mengantarkan hadiah dari Nenek Romana kepadanya, kini kami menjadi dekat. Aku merasa menemukan figur seorang kakak dari dirinya, karena itulah aku memanggilnya demikian.
Mungkin karena merasa tak perlu sembunyi-sembunyi lagi, kini dia sering sekali mendatangiku. Tak lupa dengan bunga dan terkadang sebotol susu untuk menggodaku.
"Supaya kau cepat menjadi wanita dewasa" Jawabnya setiap kali kuprotes saat dia membawa susu.
Alasan saja. Dia tahu aku tidak suka minum susu dan menggunakan celah itu untuk meledekku.
Saat dia berkunjung, dia menjadi pendengar kedua dari permainan pianoku dengan Nenek Romana. Terkadang dia ikut makan malam bersama kami karena aku selalu menahannya agar tidak buru-buru pulang.
Sebastian juga terlihat akrab dengannya, karena dia berulang kali meminta pendapat kak Jack setiap kali dia membuat masakan baru. Nenek juga suka memberikan bermacam-macam kue kepada 'kakak'ku ini. Sebagai bekal untuk berkebun, katanya?
Setiap hari minggu dia mengajakku untuk berjalan-jalan. Entah itu ke pantai ataupun ke rawa yang berada di depan villa kami. Dia berkata sesekali aku membutuhkan selingan seperti itu agar permainanku menjadi lebih hidup.
"Mengapa kau bisa berkata demikian, padahal kakak kan tidak mengerti musik?" Tanyaku saat pertama kali dia berkata seperti itu. Di minggu kedua dia mengajakku jalan-jalan di desa ini.
"Hmm, bagaimana ya.." Dia mengerutkan kening dan meletakkan jarinya di dagu sebelum menjawab. "Insting?"
Aku terkekeh mendengarnya. "Jawaban macam apa itu."
"Yang penting kamu senang kan?"
"Hm?"
"Maksudku, berhenti sejenak dari piano dan berjalan-jalan begini, apa itu membuatmu senang?"
"Begitulah? Lagipula semenjak kakak datang aku jadi menemukan teman mengobrol. Aku senang sekali."
"Kenapa jawabannya jadi kesana?" Kak Jack menepi ke padang rumput yang berada di depan peternakannya. Dia menepukkan tangannya di samping, mengisyaratkan agar aku ikut duduk.
"Karena seperti itulah rasa senang yang aku rasakan." Jawabku setelah duduk di sampingnya. "Terima kasih ya kak."
Kak Jack tersenyum tipis sambil menatapku. Manik matanya yang berwarna coklat itu selalu bisa memberikan rasa nyaman setiap kali aku melihatnya. Kemudian membaringkan tubuhnya di atas padang rumput sambil meregangkan otot-ototnya.
Setelah itu kami menghabiskan waktu dengan mengobrolkan banyak hal sambil menikmati hembusan angin Forget Me Not Valley ini. Meski sebagian besar aku lah yang berbicara, dan kak Jack hanya mendengarkan saja.
Setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya kak Jack memang jarang sekali membicarakan soal dirinya.
"Melamun? Mikirin apa?"
Aku tersentak ketika tiba-tiba wajah Kak Jack berada beberapa senti dariku. "Kakak!'
Dia terkekeh melihat responku, kemudian duduk di tepi pantai.
Hari ini kami kembali mengunjungi pantai. Karena akhir-akhir ini, aku merasa bisa menemukan inspirasi baru dalam memainkan pianoku setiap kali memandangi ombak.
Aneh ya?
"Jadi, apa yang kau pikirkan barusan?" Kak Jack mengulang pertanyaannya. Kini tanpa mendekatkan wajahnya kearahku. Dia membuka tutup botol susu yang tadi dia bawa untukku (dan langsung kutolak mentah-mentah tentunya) untuk dia minum.
"Aku cuma berpikir kalau aku ingin tahu lebih banyak soal kakak."
Dia langsung terbatuk-batuk mendengar ucapanku hingga nyaris menumpahkan susu yang dia pegang. Entah mengapa itu terlihat lucu dimataku.
"Uhuk-- apa?"
"Masa mesti aku ulangi kak?"
Dia melepas sarung tangannya yang sudah basah oleh susu yang keluar dari mulutnya saat dia terbatuk tadi, lalu meminum habis semua sisa susu yang ada di dalam botol sebelum menjawab. "Kau ini umur berapa sampai bisa mengeluarkan kata-kata yg seperti itu?"
"Apaan sih kak? Begini-begini aku umur 15 tahun. Aku sudah dewasa."
Kak Jack terkekeh mendengar jawabanku. "Dewasa itu kan umur 18 tahun.."
"Mentang-mentang kakak selisih umurnya tinggi denganku jangan menyebalkan begitu dong!"
Sekilas, aku merasakan ada yang lain dari tatapan kak Jack saat aku berkata demikian. Suara tawanya pun langsung menghilang.
Dia membuang muka ke arah lain sambil terbatuk kecil. Membuatku bingung.
Apakah kata-kataku tadi salah ya? Tapi kan memang benar jika usia Kak Jack denganku itu memiliki selisih yg cukup tinggi, yakni 10 tahun.
"Kakak?"
"Jadi..." Tiba-tiba dia kembali menoleh kepadaku. Tatapan matanya pun kembali seperti biasa. Tidak seaneh tadi.
Apa aku hanya salah lihat?
"Apa yang mau kamu ketahui dariku, Lumina?" Tanyanya sambil tersenyum menatapku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fruit
FanfictionBagi Lumina, kehidupan yang dia ketahui hanya sebatas dari partitur pianonya saja. Selain pianonya, semua berwarna monokrom. Sampai akhirnya setangkai bunga segar yang setiap hari hadir di depan pintu rumahnya itu, perlahan mulai membuat hidupnya be...