Tumpukan buku terabaikan di atas meja panjang tepat disamping air hangat yang mulai mendingin. Di sudut perpustakan kota terlihat sosok namja bermata sipit, menyenderkan kepala ke jendela kaca berembun tipis, hujan terlewat setengah jam yang lalu dan ia masih betah disana. Jimin, namja itu, melirik kalender meja penjaga dan menghela nafas.
"Sebentar lagi ujian"
Jarinya merambat ke sudut buku, dan memainkannya asal. Lelah, pasti. Ujian masuk ke perguruan tinggi sebentar lagi, dan ia belum siap.
Setumpuk buku yang terbaikan, ia buka kembali, mengambil kacamata baca yang terlipat di saku dan memakainya.
Goresan pena memecah hening malam itu. Jam 10.00 PM memang waktunya tidur dan pulang, ingin Jimin seperti itu tapi ujian di depan mata.Taehyung memerhatikan dari jarak dua kursi dari Jimin. Melihat bagaimana begitu keras sahabatnya belajar demi masuk universitas negeri. Rasa kasihan tak sedikitpun terbesit, malah rasa kagum di hatinya. Taehyung hanya merasa, dirinya beruntung masuk universitas yang ia inginkan melalui jalur rekomendasi sekolah. Ia tak perlu susah payah seperti Jimin.
Merasa diperhatikan, Jimin menoleh
"Pulang saja, sanah."
"Tidak mau. "
"Saya masih lama, pulanglah duluan."
"Kalau tidak bersama, ya tidak pulang. "
"Seminggu lagi saya ujian taehyung, mengertilah sedikit. Dan pulanglah sendiri."
"Meninggalkanmu sendirian disini? Jangan gila Jimin. Ini jam sepuluh malam. Kamu sudah seharian disini, hampir satu rak kamu baca. Tubuhmu itu oerlu istirahat. Pulanglah bersama saya. "
"Tidak Taehyung. Masih banyak materi yang belum selesai dipelajari. "
Keras kepala, watak Jimin yang mengesalkan hatinya. Taehyung bangkit dari duduknya menghampiri Jimin. Ditariknya kuat tangan Jimin yang memegang pena.
"Apa-apaan kau Taehyung!" suara ancaman Jimin tertahan di tenggorokan, takut penjaga perpustakan mendengar.
"Pulang sekarang! Istirahat, kamu butuh tidur." suara Taehyung memelan di akhir kalimat.
Jimin membuang muka, menatap langit malam dari balik jendela perpustakaan. Jimin terhenyak. Seiingatnya ia datang langit masih kemerahan di ufuk timur.
Pegangan Taehyung terlepas, tangannya mengambil pena di genggaman Jimin. Terlihat sekali jari Jimin memerah akibat terlalu sering menulis. Ia membereskan buku dan menaruh kembali di rak yang seharusnya buku itu berada.
Kembali Taehyung ke sisi Jimin yang sudah terduduk dengan cup berisi air di genggaman. Kantung mata Jimin terlihat sangat ketara, bukti tidak nyenyaknya tidur. Pipinya tidak setembam dulu, bahkan sekarang punggungnya agak membungkuk akibat terlalu sering duduk.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, penjaga perpus melihatnya memberi kode untuk segera keluar, semakin cepat mereka pergi semakin cepat juga ia pulang.
Taehyung menyadarinya, jemarinya mengetuk meja supaya atensi Jimin beralih padanya. Sedikit lama mendapatkan respon, Taehyung beranjak. Mungkin ia harus pulang sendiri. Namun, persekian detik ia berhenti.
"Saya takut, Taehyung. Ujian ini begitu berarti buat saya. Jika saya gagal entah apa yang harus saya lakukan. "
Taehyung kembali duduk.
"Ingin tidur dan istirahat, tapi tidak bisa. Kepikiran terus dengan ujian. Kalau tidak belajar rasanya tidak tenang. Tidur di malam hari hari formalitas yang tidak ternikmati samasekali. Perasaan gelisah dan tak tenang karena mendekati ujian. Tidak cukup rasanya jika belajar hari segini saja. Kalau perlu sampai pagi, saya belajarnya."
Sang pendengar hanya menghela "Ya, saya tahu, Jimin. "
Jimin menoleh tiba-tiba.
"Tidak Taehyung! Kamu tidak tau. Kamu masuk universitas bagus lewat jalur rekomendasi dari sekolah. Nilaimu selalu di atas saya. Kamu masuk dengan mudah, dan saya sangat susah. Jangan bandingkan seolah kamu merasakan bagaimana sulitnya saya."
"Kamu iri ?"
Raut wajah Jimin berubah, terlihat sekali menahan bulir air mata yang ingin menetes.
"Kalau kamu ingin saya jujur. Iya. Saya iri. "
Taehyung tersenyum, disambut tatapan aneh dari Jimin.
"Jimin, sahabatku tersayang. Kenapa iri? Semua sudah diatur oleh Tuhan. Nasib saya, nasib kamu, tidak ada yang tau kedepannya bagaimana. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun, Jimin. Kamu tidak boleh iri dengan takdir orang lain. Setiap orang tidak sama. Tuhan memberikan cobaanpun sesuai dengan kemampuan makhluknya. Jangan jadikan semuanya beban."
Jimin terdiam.
"Saya kagum dengamu, Jimin. Kamu berusaha belajar dengan giat demi universitas yang kamu idamkan. Dan itu semua kamu lakukan dengan usaha sendiri. Saya hanya menerima hasil, tidak merasakan apapun, Jimin. Tidak ada rasa bangga di hati menerima universitas secara cuma-cuma. Tapi, bukannya saya tidak bersyukur lho. Saya hanya merasa jika perjuanganmu itu tidak bisa dibandingkan dengan saya yang hanya duduk diam saja."
"Saya, lelah. Taehyung... " lirihan Jimin sarat akan kelelahan sampai di telinga Taehyung.
Direngkuhnya tubuh sahabatnya, Taehyung membisikkan sesuatu yang membuat Jimin tergugu dalam pelukan.
"Ya, saya tau. Asal kami tau, sejak hari pertama kamu belajar di perpustakan ini, saya selalu menemanimu. Saya bisa rasakan betapa lelahnya kamu. Sekarang istirahatlah. Jangan sampai kamu sakit ketika ujian. Lepaskan beban dan tidur yang nyenyak. "Dan akhirnya, sudut perpustakan menjadi saksi Jimin menangis malam itu.
~N. T~
*hanya curahan hati pejuang sbmptn. :')
KAMU SEDANG MEMBACA
story BTS(brothership)
Fanfictionsekumpulan cerita oneshoot or twoshoot BTS yang setiap chapter berbeda.