[Dia, Azka]
========
Dia Azka, seorang pria yang datang saat aku mempertanyakan dimana keberadaan pemilik tulang rusukku yang Engkau janjikan.
-Anastasya Reswari-
.
.
.Pancaran cahaya dari bola lampu teras rumahku menerangi wajahnya saat tubuh jangkung itu coba melewati ambang pintu, mengekoriku. Wajah tampan seorang pria yang sejam lalu mengaku bernama Azka. Kini dia tengah menempatkan diri duduk di atas sofa lembut di ruang tamu. Duduk dan tak mengatakan apapun semenjak salam dan cerita singkatnya tadi membuat ibuku menangis sambil memeluknya, berterima kasih atas apa yang sudah pria itu perbuat. Tak hanya ibu, bahkan ayah dan mas Yudha juga tak kalah drama seperti yang dilakukan ibu. Mereka menyalami kedua tangan Azka dengan erat.
Lima belas menit, ayah dan mas Yudha bercengkrama bersama Azka. Seakan tak ingin melihat wajah yang dibicarakan, mereka memilih duduk menyamping cukup jauh dariku dan Azka. Sedikitpun tak ingin melirik. Mereka, ayah dan anak sibuk membahas sisi diriku yang sebenarnya cukup memalukan untuk didengar. Mereka berdua---ralat, bertiga dengan Azka sebagai penyimak, sudah menciptakan dunia mereka sendiri. Dimana aku sangat, sangat terasingkan di sini. Padahal jelas Azka duduk berhadapan denganku, membuatnya harus terus memalingkan wajah ke arah ayah dan mas Yudha nun jauh di sana dengan alasan sopan-santun.
Sebenarnya sih, bukan obrolan yang menyenangkan hingga membuat mas Yudha dan ayah tertawa lepas di tempatnya berada. Sedang Azka hanya menarik kedua sudut bibirnya tak lebih dari setengah senti menanggapi candaan mereka berdua. Dan aku pun tak yakin jika itu bisa disebut dengan senyuman.
"Tuh! Tuh! Kalau saja kamu dengar kata mas dulu, jangan mau sama si Zack aneh itu, nggak bakal kejadian deh. Emang kamu itu keras kepala, Sya. Dari kecil bandelnya minta ampun. Ya kan, yah?", mas Yudha menyenggol lengan ayah tanpa melepas senyum candanya.
"Iya tuh, nak Azka.", ayah menatap Azka. "Dulu saya sering minta mbahnya yang jangain dia. Biar dia kapok kena omel sama si embah. Cuma mbah Siti seeorang yang bisa melunakkan si Tasya, kepala batu."
Gemuruh tawa tak henti-hentinya terdengar dari sepasang anak dan bapak di ruangan ini. Aku bahkan sampai harus melotot ke arah mas Yudha yang masih tak mau menatap balik objek bahan candaanya. Siapa lagi kalau bukan aku! Padahal aku ingin menyadarkan mas tak berperasaan itu agar dia tahu kalau bahan candaannya tersebut sama sekali tidak berfaedah buat didengar sama si Azka. Tuh, wajah Azka lempeng aja sedari tadi.
"Astaga! Nggak ada yang sadar apa, anak gadisnya bapak Rahardja ini hampir jadi korbannya si berengsek Zack?"
Ibu yang baru muncul sembari membawa nampan berisi segelas teh hangat dan camilan, menyeru. "Bahasanya toh nduk! Bahasa di dunia luarmu itu jangan dibawa-bawa ke dalam rumah."
"Tapi bu--- sejak kapan coba ada ayah dan kakak yang nggak prihatin lihat aku abis diapa-apain sama tuh curut."
"Hush! Jangan ngomong sembarang. Lagiankan nggak kejadiankan? Ada nak Azka loh yang nolong kamu. Sudah bilang makasi ke mas Azka?"
Mataku melotot. Bukan, bukan menantang. Hanya kaget saat ibu dengan cepatnya mengakrabkan Azka ke diriku dengan pemberian embel-embel 'mas' dinama Azka. Aku melirik ke wajah yang punya nama. Masih sama--- flat. Entah apa dia bosan dengan cerita bapak Rahardja beserta anak lakinya itu atau memang dia sama sekali tidak mengerti kemana arah bicara kami saat ini.