[Misi Mencari Azka]
================Gue pro di kerjaan, Honestly. Tapi belum tentu gue bisa jadi expert di kehidupan sendiri.
-Anastasya Reswari-
.
.
.Dua hari penuh, pria bernama Azka itu memporak-porandakan akal sehatku. Dia dengan wajah tampannya, dia dengan sikap yang menurutku sangat mumpuni disebut dengan gentelman parah. Sungguh Tuhan maha adil dengan segala ujiannya. Ya, benar! Setelah Dia memenuhi satu pintaku akan keberadaan si pemilik tulang rusuknya Anastasya ini, kini Dia mengujiku dengan segala hal yang rumit. Tentu saja rumit, setelah rasa kagum dan terpesona melanda diri, rasa malupun seakan berlomba ingin juga dirasakan.
Arrrghhh!! Bagaimana bisa Azka melihat asetku yang paling nggak banget buat dibanggakan. Walapun masih berbalut warna peach, setidaknya dia pasti tahu ukuranku yang sebenarnya, benakku ikut kacau membayangkan kejadian dua hari kemaren.
Ok! Let see!
Jika dia benar teruntuk Anastasya anak bapak Rahardja ini, whatever--- aku bakal mati-matian mengejarnya. Masa bodoh dengan kejadian dua hari yang lalu. Toh, apa salahnya mencoba? But, wait--- Tahap awal dari semua pendekatanku inikan harusnya berawal dari pencarian dulu, isn't it? Bagaimana mau dikejar kalau sosoknya saja belum ada di depan mata.
Well, langkah satu: Cari Azka.
Langkah dua: cari tahu apa dia masih sendiri. Atau sudah menikah?
Hell! Gue yakin dia masih singel, rutukku kembali.
Jangan panik. Aku dengan segala kemampuanku dalam menebak pasti tak pernah salah. Ya, jangan sebut aku sebagai 'Dewi Jurnalisnya WomenNow kalau kemampuanku dalam menguak fakta itu masih amatiran. Cih! Seratus persen yakin si Azka itu masih sendiri. Atau kemungkinan terburuknya--- duren, duda keren. Astaga, ngarepnya nggak ketolongan lo, Sya.
Nah, ini yang terpenting. Step three: Top stepnya adalah ikat dia dalam satu hubungan. Dan saat itu datang, aku bisa dengan leluasa menguji sosok tersebut. Apa dia cukup bisa diperhitungkan untuk dijadikan pasangan hidup? Mengingat bahwa dia adalah jawab Tuhan atas pintaku dua hari yang lalu.
Cukup dah! Tiga langkah yang kutulis dalam secarik kertas itu telah penuh dengan deretan kata. Setidaknya aku bisa sedikit lega, mengerti apa yang harus kelakukan atas peristiwa dua hari yang lalu. Sedikit bernapas lega, aku menghepaskan badan bersandar di senderan kursi seraya masih menggenggam pulpen di tangan. Entah mengapa, seperti ada yang masih mengganjal pikiranku. Seperti sesuatu yang butuh keyakinan penuh yang masih harus kutambahkan di List to do yang kubuat.
Apa ya?
Tuk.... tuk.... tuk....
tuktuktutktuktuktuk......"TASYAAAAAAAA!", suara cempreng oktaf lima mendengingkan kuping kananku di saat pulpen yang sedari tadi mengetuk-ngetuk permukaan meja, direbut paksa oleh mak lampir.
Aku mengosok-gosok telinga dengan kesal. Bagaimana tidak, jika mak lampir yang kalau bicara pakai suara normal aja sudah bisa buat kucing tidur langsung lari terbirit-birit. Dia yang akhirnya melempar pulpen itu ke tong sampah di sebelah kubikel kami, melotot sembari bersedekap dada.
"Berisik! Lo tuh ya? Bisa nggak, kalau ada masalah jangan sampai orang sekantor jadi ikutan emosi?"
"Apaan sih? Mbak Ros aja yang lagi sensi. Situ lagi dapat?"