.
"A-anda pasti bercanda." Gumam Zain yang sekarang sudah duduk di lantai kamar Maria sepenuhnya. "Dia pasti gak akan tega ngelakuin itu semua."
"Maria selalu mencoba membuat saya percaya dengan argumentasinya ketika saya mengetahui seluruh kejahatannya. Dia selalu berkata 'aku dijebak. Aku tidak pernah melakukannya secara sukarela.' Atau hal lain. Tapi saat saya tanya apa maksudnya, dia menangis keras dan malah minta dibunuh saja."
Zain mendongak menatap Ana yang tidak berhenti mengeluarkan air mata.
"Bocah 13 tahun. Seorang calon buron internasional. Depresi berat." Ana menghela napas keras. "Seharusnya saya membunuhnya malam itu. Ketika dia memohon-mohon untuk dibunuh saja agar mengakhiri semua ini. Seharusnya saya melakukan itu. Tapi saya tetap tidak bisa. Dan sekarang hasilnya malah lebih menyakitkan hati saya."
Tidak. Zain menggeleng. Kejahatan yang telah dia perbuat terlalu berat. Tidak bisa mendapatkan keringanan dari sisi manapun. Genosida merupakan kejahatan tingkat tinggi yang lebih kejam dari pembunuhan apapun.
Membunuh kehidupan suatu ras yang berisi anak-anak, wanita dan bayi sekaligus. Konteksnya sangat tidak manusiawi dan tidak bermoral. Pelakunya adalah orang sakit jiwa yang tidak memiliki hati nurani dan menganggap dirinya tuhan.
Tapi Maria? Dia bahkan menangis ketika Bian menyelamatkannya dari tabrakan kala itu.
Apa masih ada jalan?
Tidak ada! Bentak hati nuraninya. Bahkan otak pengacaranya saja tahu kalau sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya untuk meringankan sedikit hukuman Maria. Pasal penjerat kejahatan yang wanita itu lakukan sudah berlapis-lapis banyaknya.
Hasilnya akan tetap sama.
Mati.
Zain memeluk lututnya dan menyembunyikan wajahnya disana. Mati-matian menahan air matanya. Dia memang membenci Maria. Yang secara tidak langsung merupakan dalang dari kematian ayah biologisnya. Tapi hati nuraninya tetap ingin mengharapkan penjelasan.
Zain sadar, kalau dia tidak ingin hidup dengan hati yang kotor lebih lama lagi dari ini karena membenci seseorang. Dia membenci Maria tapi juga mencintainya disaat yang bersamaan.
Dan tidak pernah terbayangkan sedetikpun kalau kisahnya akan berakhir tragis seperti ini.
Ana mengurut pangkal hidungnya, mulai merasakan pusing lagi "Saya beri waktu untuk mengepak barang. Harap bergegas! Sebaiknya jam 9 malam nanti anda sudah berada di Soetta."
Setelah mengatakannya, Ana mendapatkan pesan dari Nathan untuk segera pulang. "Saya harus kembali. Sebaiknya anda juga. Mungkin dalam waktu beberapa jam ke depan, tempat ini sudah dijadikan TKP."
Dengan terhuyung-huyung, Zain bangkit dan mengikuti Ana dari belakang. Tidak seharusnya dia menyetir dalam keadaan kacau begini. Tapi demi apapun, Zain butuh waktu sendiri. Semua kebenaran ini amat menyakitkan hati, jiwa dan pikirannya. Dia bahkan tidak tahu cara menjelaskannya kepada sang ibunda.
Wanita yang dia pikir bisa dijadikan calon menantu adalah tersangka tambahan dari pembunuh suami pertamanya.
Bagaimana bisa Zain tega mengatakan semua itu kepada ibunya? Tapi dalam diam, Zain berharap dari lubuk hatinya agar... kalau bisa, dia saja yang menanggung kebencian ini. Semoga saja ibunya masih bisa memaafkan Maria.
Ana sudah melajukan mobilnya. Meninggalkan Zain dibalik kemudi yang sebenarnya malas sekali dia sentuh. Detik selanjutnya, dia menoleh ke kiri. Membayangkan Maria-nya ada disana dan beraktifitas seperti biasa. Atau bahkan yang lebih ekstrem lagi...menunggunya di depan pintu dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Final Masquerade Series (#2) : Won't You Set Me Free?
Ciencia Ficción🄵🄸🅁🅂🅃 🄳🅁🄰🄵 D18+ Kata pria itu, Maria hanya butuh satu kunci untuk bebas dari kukungannya. Hanya satu kunci. Tapi sial- Maria tidak akan pernah bisa mendapatkan kunci itu. Dan dia terjebak selamanya. Ⓒ︎ All Rights Reserved