"Mas Rangga, Dilan hamil."
Hah?
Hamil?
Ha? Mil?
Bagaimana bisa?
"Iya, mas, Dilan hamil. Hamil anak mas."
Yang aneh kemudian bagaimana bisa Dilan berkata hal sebegini penting dengan muka sedatar itu?
"Kamu mau mengetes eskpresi kaget saya atau bagaimana?"
Dilan merengut, rengutan menggemaskan. Ingin rasanya Rangga mengerjai bibir yang membuatnya mabuk kepalang itu, lalu merembet pada hal lain yang lebih menyenangkan. Tapi Rangga menahan diri. Dilan sedang hamil, yang benar saja.
"Ini perbuatan mas. Tanggung jawab, mas."
Rangga terbangun dengan kebingungan. Ia memijat kepalanya yang pening. Ini benar-benar mimpi atau ia yang pingsan saat Dilan memberitahu tentang anaknya?
Peningnya semakin menjadi. Kalau benar-benar Dilan mengandung anaknya bagaimana?
Jadi pagi itu saat Rangga mengajak Dilan sarapan di warung soto Kudus dekat kantornya, ia bertanya lagi memastikan. "Kamu benar hamil anak saya?"
Dilan tersedak. Matanya membula penuh ketekejutan. "Jadi mas lupa? Sama anak sendiri lupa?" Ia kemudian merapihkan tasnya, berniat pergi. Tapi tertahan dengan telapak Rangga yang menggenggam pergelangan tangan miliknya.
"Sotonya belum habis, loh. Mau ditinggal?"
Bimbang. Akhirnya Dilan duduk lagi, menghadap soto yang tinggal separuh.
"Jadi kamu benar-benar hamil, dek?"
"Mas ngelindur ya? Semalam jatuh dimana?"
"Dek, saya serius."
Bibir Dilan makin maju. Ternyata ia belum kebal dengan tatapan galak Rangga. "Dilan juga serius, mas. Gimana Dilan bisa hamil kalau mas nggak pernah ngapa-ngapain Dilan."
Oh. Rangga mengerjap. "Saya kira kamu benar hamil. Semalam saya mimpi kamu hamil, ngejar-ngejar saya minta tanggung jawab."
Dilan mengernyit, separuh dirinya ingin tertawa. Aneh benar mimpinya. "Makanya Dilan diapa-apain, dong, mas." Sebenarnya wajar saja kalimat seperti ini keluar dari mulut tengil Dilan.
"Kan saya bilang tunggu sampai ijab, dek."
"Kan sudah ijab kemarin, mas!"
Tangan Rangga sudah hinggap dan mengacak asal rambut berponi disampingnya. Diiringi tawa renyahnya yang jadi idaman orang-orang. "Iya, iya, maaf, kemarin kan kita sama-sama kecapekan. Nanti malam, ya?"
Senjata makan tuan. Sekarang Dilan yang menahan malu menyembunyikan wajah merahnya pada punggung kekar Mas Rangganya, yang dipastikan merah juga karena tangan Dilan yang berkali-kali memberinya pukulan.
YOU ARE READING
Sang Panglima Tempur +Randilan
FanfictionPotongan-potongan kisah tidak jelas. Dibuat untuk menyegarkan dahaga diri sendiri. Rangga dan Dilan. Randilan. Alternate Universe. bxb Disclaimer: Ada Apa Dengan Cinta © Rudi Soedjarwo; Dilan 1990 © Pidi Baiq