rekognisi

885 100 10
                                    


Buku diary lama, album-album foto, pernik oleh-oleh dari liburan-liburan kita, justru membingungkanmu. Kamu meremas kepalamu, sakit, keluhmu. Kubawa kamu ke tempat tidur, membaringkanmu, lalu memelukmu. Sudah kubilang tunggu hingga ingatanmu kembali saja, tak usah memaksakan diri.

"Tidakkah harusnya aku jangan terlalu percaya pada Mas? Bagaimanapun aku tidak benar-benar tahu siapa Mas. Aku tidak bisa membedakan Mas bicara jujur atau tidak," katamu sambil memelukku, menyembunyikan tubuh mungilmu pada dadaku. "Tapi badanku selalu ingin dekat Mas. Selalu nyaman kalau sama Mas.."

"Itu karena tubuh kamu sudah terbiasa dengan saya."

Kamu terdiam sambil merengutkan bibir cukup lama. "Baiklah baiklah," kemudian memelukku makin erat.

Aku tertawa, menggemaskan sekali dirimu ini. "Percaya pada saya, Dilan," bisikku padamu yang mulai tertidur. Kamu setengah sadar mengangguk.


*


Hari ini hari ke lima puluh dua. Katamu hari ini hari kita mengucap janji dua tahun lalu. Aku mengingatnya karena aku menuliskan dalam buku harianku kemarin, hari ke lima puluh satu. Aku bangun dengan todongan pistol darimu. Tak bisa berpikir jernih, tak bisa bergerak, badanku seluruhnya gemetar.

"Bangun, lalu segera pergi. Ambil tas di rak lemari paling bawah, di dalamnya ada uang, pakaian, dan obat-obatmu. Apapun kabar yang kamu dengar, jangan kembali." Titahmu. Aku tak mengerti bagaimana tanganmu dengan mantap mengarahkan pistol padaku namun matamu masih mata yang semalam penuh sayang mentapku.

"Mas..?"

"Pergi. Kalau tidak oleh saya, orang lain yang akan menghabisimu." Nada bicaramu yang menyenangkan itu berganti bengis. "Atau kamu memang mau mati di tangan saya?"

Aku tak tahu apa-apa. Tanpa mencuci muka atau memikirkan tentang perut aku berlari. Aku menyambar tas dalam lemari lalu berlari ke jalanan, naik tergesa-gesa ke atas bus, memilih tiket kereta yang berangkat paling cepat sembarangan. Duduk menatap jalanan begini membuatku mulai memikirkan segalanya. Kenangan bertahun-tahun bersama, bagaimana mungkin tidak menjadi sesuatu yang menghentikanmu? Tidakkah semuanya berharga buatmu? Kata-kata cinta yang selalu kamu bisikkan, apakah hanya sebagai pengganti kata maaf yang tak pernah kamu sampaikan?

Aku menengok, menatap kota tempatku tinggal semenjak nafas pertamaku penuh haru.

Apakah kamu sudah tahu aku berpura-pura belum mendapatkan ingatanku kembali setelah kecelakaan yang kamu buat sendiri, karena aku membongkar misi terakhirmu untuk membunuhku?

Kenapa kita tidak kabur bersama saja? Membangun hidup baru berdua?

Kenapa kita tidak mati berdua saja, Mas Rangga?

Lagipula Dilan juga sudah bosan hidup.


Sang Panglima Tempur +RandilanWhere stories live. Discover now