anak gadis Dada

638 84 18
                                    


Ekspresi Rindu berubah sebal seketika; panggilan dari Rangga masuk ketika ia sedang asik memanggang roti di tablet Papanya. Dilan menaruh bukunya asal, menyempatkan diri mencubit pipi dan mencium gemas bibir anak gadisnya yang mencebik sebal sebelum menerima ulungan iPadnya.

Masih sambil tertawa ia menggeser tombol hijau, membuat layar padnya penuh dengan wajah lelah Rangga. Senyumnya melembut, menanggapi muka memelas suaminya.

Rangga menggeram kecil, menyisir rambut ikalnya frustrasi. Dilan jadi rindu memainkan rambut keriting Rangga ketika belum sebotak sekarang. "Saya sudah tidak tahan, Dilan! Rindu sekali dengan kamu dan Rindu, ingin segera pulang, rasanya,"

Dilan tertawa lagi, mengarahkan layar kepada Rindu yang duduk melorot di pangkuannya. "Dada kangen, nih, Dudu,"

"Loh, Dudu belum tidur? Sudah malam, loh, ini," kentara sekali Rangga terkejut. Mungkin akan marah pada Dilan nanti karena membiarkan Rindu terjaga hingga larut begini, tapi setidaknya tidak mungkin di depan Rindu. Kalau Dilan pintar sedikit, bisalah ia atur.

Tapi yang diajak bicara masih cemberut, memalingkan muka dan malah asik memainkan telinga panjang si Linci di pelukan. Padahal Dilan yakin, Dudu juga mati-matian menahan diri supaya tidak melirik Dadanya.

"Dudu masih marah, ya? Dada minta maaf, Sayang."

Rindu malah berguling ke sebelah Dilan, menarik selimut menutup seluruh tubuh. 

"Dudu, ituloh Dada tanya, Sayang,"

Tak ada balasan, akhirnya Dilan membawa wajah Rangga kehadapannya lagi. "Marah, tuh, kamu ganggu sih waktu masih main."

Helaan nafas terdengar keras, "masih marah banget, ya?"

Dilan tertawa kecil. Agak kaget juga karena bukan jawaban 'kok kamu masih biarkan Rindu main tablet jam segini' yang ia dapat. Rindu sama saja dengan Rangga sebenarnya, sama-sama penuh gengsi dan keras kepala. "Atuh lah, Mas, besok juga udah biasa lagi, nggak usah terlalu dipikirin. Mas istirahat aja, ya, capek banget itu kelihatannya."

Rangga mengangguk, pada akhirnya. Ia memang sungguh lelah, seharian berpanas-panas di proyek sementara pikirannya malah mengelana ke Jakarta; ke Rindu dan Dilannya. Double capek.

"See you, Mas. Sayang kamu, take care."

Senyum Rangga akhirnya muncul, "love you, too. Kamu sama Dudu baik-baik juga, ya."

Panggilan diputus. Dilan buru-buru berbaring memeluk Dudu-nya, sambil sedikit menggelitik buntalan selimut itu. Seketika tawa Rindu pecah, seperti dugaannya Rindu belum tidur, diam-diam ia ikut mendengarkan suara ayahnya.

Rindu membuka selimutnya, wajah sebalnya muncul lagi. "Ih Papaaaaa!!!! Jangan gelitikin Duduuu!!!"

Dilan terkekeh. "Iya, Sayang, maaf. Sini peluk Papa."

Meski masih sambil menggerutu, Rindu melingkarkan tangannya pada perut Dilan, yang langsung disambut dengan rengkuhan dan elusan pada rambut ikalnya.

"Dudu masih marah sama Dada?"

Anggukan kecil terasa di dadanya.

"Kenapa? Kan, Dada sudah minta maaf,"

"Habis Dada menyebalkan. Masa pergi tidak bilang-bilang, padahal malamnya Dada bilang mau..."

Suara Rindu mulai mengecil, lama-lama menghilang. Ketika Dilan menengok, rupanya sudah tertidur. Ia tekekeh lagi, pelan-pelan mengecup kening putri kecilnya. Duh, anak gadis kalau ngambek lumayan bikin masalah juga.

***

Dilan terbangun dengan rengekan tak nyaman Rindu. Segera ia letakkan telapak tangan pada dahi puterinya. Kening Dilan berkerut, kenapa begitu panas? Seingatnya hari ini Rindu tidak makan es atau hujan-hujanan. Tidur larutpun gara-gara ia sudah tertidur lama dari siang sampai sore. Sambil berusaha menahan panik, ia menempelkan plester penurun demam sambil tubuh Rindu ia dekap. Karena cukup lama tak mau tenang, akhirnya ia angkat Rindu ke dalam gendongan, sambil ditimangnya berharap Rindu lekas tertidur.

"Dada, Pa... Dada,"

Eh? "Dudu kangen Dada?"

"Dada, Papa, huhuhu,"

"Iya, besok Dada pulang, kok, Sayang. Sudah, ya, nangisnya," Dilan bisa apa. Menelfon Rangga juga kasihan, pasti suaminya sangat capek, tidak tega kalau harus mengganggu istirahatnya. Rindu ia tangani sendiri untuk malam ini.

Tapi Dilan jadi berpikir, ternyata bisa juga, ya, begini? Saking kangennya Rindu pada ayahnya sampai-sampai membawa sakit.

Tiba-tiba suara mobil berhenti terdengar di depan rumahnya, siapa pula yang bertamu pagi buta begini. Dilan mengernyit bingung sekali lagi. Sambil masih menenangkan Rindu yang terus merengek, ia mengintip dari jendela kamarnya.

***

"Mas, kok pulang sekarang nggak bilang-bilang, sih? Mana subuh-subuh begini lagi, ngagetin orang aja."

Rangga abai, sejak turun dari taksi melihat Dilan menggendong puteri mereka, atensinya langsung terpaku pada Rindu. "Dudu sakit, Dek?"

"Iya, saking kangennya sama kamu."

"Hah?"

"Dada, Papa... Dada...."

Rangga langsung melepas genggaman pada kopernya, melepas jaket dan ransel lalu buru-buru mengambil alih Rindu dari Dilan. Untuk kali ini bodo amat dengan cuci tangan cuci kaki, ia simpan dulu omelan Dilan untuk nanti. "Ini Dada, Sayang, Dada disini,"

Tangisan Rindu malah makin keras di gendongan ayahnya, namun pelukannya pada leher Rangga justru begitu erat. Kepalanya menempat nyaman pada dada bidang ayahnya, membuat kemeja Rangga basah air mata.

Sekejap kemudian ia tertidur. Dilan dan Rangga sama-sama terkekeh geli ketika Rindu tak mau melepas pelukannya bahkan setelah dibaringkan di atas kasur. Jadlah Rangga ikut berbaring meski menahan pegal karena posisinya sungguh tak nyaman.

Dilan ikut berbaring di sisi Rindu, mengelus rambut ikal lembut yang mengkopi milik sang ayah.

"Menahan rindu bisa bikin sakit juga, ya, Mas,"

Rangga ikut terkekeh. "Nggak nyangka juga lupa pamitan efeknya separah ini. Saya juga tersiksa nggak bisa dengar ocehan Dudu berhari-hari."

"Pokoknya kalau ada apa-apa Mas yang salah,"

"Loh kok gitu? Mana saya tahu juga kalau tiba-tiba mereka minta ketemu sehari lebih awal? Siapa juga yang mau berangkat buru-buru tengah malam begitu? Mending tidur saya, Dek,"

"Ya lagian Mas ngapain, sih, kerja jauh-jauh ke Singapura? Kan Dilan kangen,"

"Ciye, kangen, ya? Kangen-kangenannya ditunda dulu ya, Sayang, Dudu lagi nggak bisa diajak kompromi, nih. Habis ini deh, Dek, Mas layanin sampai puas," kelakar Rangga sambil tertawa.

Sedetik kemudian Linci si kelinci langsung terhempas keras ke jidat Rangga. "Mesumnya tolong dikondisikan, Mas! Ada anak, juga! Nggak tau malu, emang!"

Rangga makin merasa menang melihat pipi Dilan yang merona. "Loh, saya ngomong salah, ya? Dimananya yang salah, coba?"

"Mending diem, deh, Dudu bangun nanti!"

"Nanti kita pindahin dulu Dudu ke kamarnya, ya, biar nggak kebangun."

"Mas Rangga, astaga!"


************

nulis lewat hape tanpa reread jadi maap kalo ada typo.  abis kangen bangeeeett sama randilan huhuhu

pengennya mau naruh gambar Rangga, Dilan, Rindu di atas tapi nggak nemu yaudah wkwk

btw ada yang rindu sama saya? ada yang masih nagih utang nggak nih? maap ea wkwkw


Sang Panglima Tempur +RandilanWhere stories live. Discover now