00 Paraduta

95 17 24
                                    

"MAU kemana?" tanya Gita begitu melihat anak sulungnya keluar dari kamar dengan jaket navy dan celana jeans.

Gita meletakan majalah langganannya di atas meja, lalu  melipat kedua tangan di depan dada.

"Keluar." Jawab Duta sekenanya. Setelah mengambil kunci diatas rak, ia memasukkan hpnya ke dalam saku, dan berjalan melewati ibunya menuju ke dapur.

"Jam segini?" Mata jeli Gita memandang jam dinding di tengah ruang keluarga yang menunjukan tepat pukul 10 malam.

Duta diam saja. Tangan kananya membuka pintu kulkas dan mengeluarkan botol air putih dingin.

"Duta!" Suara Gita meninggi, membuat Duta berhenti menuangkan air putihnya pada gelas, dan membalikan badannya untuk melihat Gita. "Kalo diajak omong itu natap!"

"Mama nggak liat, Duta baru apa?" tangkas Duta malas. Kemudian melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda dan menutup pintu kulkas.

Gita menghela napas pasrah dan mengelus dadanya pelan.

Menghadapi anaknya yang satu ini memang butuh kesabaran yang lebih. Sejak suaminya meninggal, Gita memang harus bekerja lebih sering dari biasanya untuk menghidupi Duta dan Dara, anak bungsunya. Mungkin karena itu pula, Duta tumbuh menjadi anak yang sedikit lebih keras karena tidak ada yang mengawasinya sehari-hari selain pembantu rumah yang setiap malam harus balik ke rumah.

"Mau balik jam berapa?"

"Pasti balik kok."

Gita mengurut pelipisnya. "Jam berapa?"

"Malem."

"Malem, malem. Ini itu juga udah malem."

Duta mengusap wajahnya. "Ya nanti kalo Duta pulang pasti kabar-kabar Mama."

"Mama nggak butuh itu." Gita melepaskan tangannya, karena sudah terlalu emosi. "Mama cuma mau tau, malem itu jam berapa, Duta?"

"Jam 3." jawab Duta.

"Jam 3?!" Gita berteriak emosi. "Jam 3 kamu bilang?! Gak! Jam 12 aja."

"Ma-"

"Jam 12!" Tanpa peduli dengan alasan Duta, Gita berteriak lagi.

"Fano baru bisa dateng jam 11. Masak Duta harus balik jam 12?" mohon Duta.

"Yaudah, kalo gitu kamu nggak usah pergi aja sekalian. Toh, juga nggak rugi."

"Ma." Duta berbalik, melihat ibunya. "Duta bukan anak kecil."

"Mama nggak bilang kalo kamu anak kecil."

"Yaudah, berarti Duta balik jam 3 nggak masalah dong."

"Ya Allah, nak." Gita menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kamu itu sebentar lagi mau ujian, Duta." Ibunya menyangga kepala dengan tangan. Memasang wajah sedih, seperti akan terisak. "Mama punya salah apa. Punya anak bisanya cuma keluyuran."

Disaat-saat seperti ini, Duta jadi ingin menyalahkan siaran sinetron di televisi karena tayangan mereka, ibunya jadi suka mendramai sesuatu agar dirinya merasa bersalah.
Duta tidak tau apa yang harus ia lakukan, anak cowok itu hanya menggaruk keningnya, bingung.” Jam 2, Ma." katanya.

Ibunya menoleh. "Nggak, jam 12."

"Jam setengah 2?"

"Jam 1."

"Setengah 2."

"Gausah aja kalo gitu."

"Iya deh, jam 1." kata Duta pada akhirnya.

"Awas aja sampe kamu balik lebih dari jam itu." Kata Gita kemudian sambil mengambil majalahnya lagi.
Duta berbalik menuju pintu dengan malas.

"Oya," lanjut Gita menghentikan langkah Duta.

"Apa lagi?"

"Jangan lupa bawain Mama lumpia yang di depan minimarket." Gita mengambil cerinya lalu memakan dengan santai. Mengabaikan raut muka Duta yang menghilang dari balik pintu dengan kesal.

"Emak rempong."

"Kamu bilang apa?" teriak Gita dari dalam rumah.

"Aku bilang aku bakal balik jam 1 dan ngebawain lumpia buat Mama sayang!"

"Mama nggak yakin kamu tadi bilang kayak gitu."

**

Halooo, ini karya pertamaku di wattpad.
Thanks for read, vote, comment yaa.
Juga free saran kok, untuk perbaikan kedepannya. Ciao❤

EVERSINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang