00 Nadira

35 12 6
                                    

WAKTU menunjukkan pukul delapan pagi saat Nadira sedang menyiapkan beberapa jenis sarapan di ruang makan. Perempuan itu menuangkan susu cokelat dari dalam teko, kemudian menyiapkan pisau di sisi piring yang tertata rapi.

Nadira menuangkan  minyak goreng ke teflon yang menyala diatas kompor dengan api kecil, lalu memecah pelan telur dengan sendok dan menggorengnya.

Setelah semuanya sudah diatur dengan sempurna, Nadira melepas celemeknya kemudian buru-buru menaiki anak tangga dan berlari ke sebuah pintu kamar bertuliskan 'Serenatta', yang terpampang besar disamping stiker tokoh drama korea kesukaan mereka.

"Astaga, belum bangun juga?" Itu kalimat yang pertama kali ia keluarkan begitu membuka pintu kamar dan mendapati kedua sahabatnya masih asyik tidur dengan tangan saling terlentang, padahal sudah empat puluh lima menit berlalu sejak Nadira  berteriak-teriak membangunkan mereka sebelum membuat sarapan. "Lah? Bangun napa sih! Serenn! Amaraa!"

Di atas kasur bercorak monokrom, Seren dan Amara menarik selimutnya lagi sebatas dada, tidak peduli dengan teriakan Nadira yang sudah familier bagi mereka.

“Raaaa! Serennn!” panggil Nadira sekali lagi seraya menggoyang-goyangkan pelan tubuh keduanya.

Seperti minggu-minggu pagi yang lalu, setelah bangun, ibadah, dan mandi, Nadira langsung pergi menuju ke apartemen yang ditinggali oleh kedua sahabatnya itu.

Kedua orangtuanya masih tertidur ketika Nadira turun dan keluar diantar oleh Pak Maman. Itu sudah menjadi rutinitas Nadira sejak kedua orangtua Amara meninggal.

Ia rela menyiapkan sarapan dan membangunkan sahabatnya itu, karena Amara tidak punya lagi sosok yang akan memperhatikan setiap apa yang dilakukan perempuan itu. Di satu sisi, Nadira merasa lebih beruntung karena hingga saat ini masih memiliki orangtua yang selalu ada untuknya walaupun tidak bisa diartikan secara indrawi.

“AMARA! SEREN! ASTAGA! Udah mau jam sembilan ini!” ulang Nadira, namun tidak ada respon apapun dari Amara dan Seren.

“Bodo lah kalian. Serah.” ujarnya pasrah.

Nadira beranjak meninggalkan kamar dan berlari turun kembali ke dapur.
**

“Pagi-pagi udah kayak ayam berkokok aja lo,” tukas Amara seraya mengusap kedua kelopak matanya yang masih tertutup dan menarik kursi dihadapan Nadira.

Bajunya kusut dan rambutnya masih berantakan. Begitu bangun Amara langsung turun tanpa sempat melakukan apapun karena mencium aroma nasi goreng buatan perempuan yang sudah ia kenal sejak duduk dibangku kelas 1 SMP itu.

Amara menggeliat sebentar dan duduk menyandar pada sandaran kursi. Matanya menyapu seluruh penjuru ruang makan yang menghadap langsung pada ruang tamu dan menyadari bahwa Nadira sudah membereskan semua DVD drama yang berserakan di ruang tamu karena semalam ia dan Seren begadang menonton film sampai ketiduran.

“Sejak kapan lo dateng?”

Nadira mengisi gelasnya yang kosong, kemudian menyendok sesuap nasi goreng. “Sejak kapan ya?” Perempuan itu memutar kedua bola matanya, kemudian melihat Amara. “Sejak lo tidur sambil nendang kepala Seren?” Amara tertawa ringan mendengar itu.

Setelah beberapa menit mengobrol ringan, Nadira mengangkat piring bekas sarapan dan membawanya ke wastafel.

“Good morning,” sapa Seren yang baru saja terbangun, setelah kakinya menapak diruang makan dan mengambil duduk di sebelah Amara.

Nadira menoleh. “Minum susu dulu kek.” katanya saat Seren langsung mengambil roti tawar dan mengolesinya dengan selai green tea.

Seren menguap lebar. “Pagi banget?” tanyanya pada Nadira.

“Ortu gue pagi ini pada berangkat dinas.”

“Rencana lo hari ini mau kemana?” Amara menoleh ke Nadira yang sedang mengelap kedua tangannya dengan tisu basah. Tangan Amara bergerak-gerak memotong bagian roti tawar dengan garpu.

“Gue?” Nadira berbalik dan menyandar pada dinding wastafel.

“Gue mau ke perpustakaan daerah sih rencananya.”

“Sama siapa?” Seren membuka plastik putih berisi berbagai keripik yang tadi pagi dibawa Nadira dari rumah dan menumpahkannya diatas piring.
“Sama lo sama Amara lah.” tukasnya santai. “Emang mau sama siapa lagi coba?”

Amara mengangkat garpunya dan menggoyang-goyangkannya di depan Nadira, buru-buru menggeleng. “Nggak sama siapa gitu kek?” Nadira menggeleng.
“Keluar sama cowok gitu, Nad?”

Perempuan itu tetap bertanya meskipun ia sendiri sudah tau jawabannya.

Nadira tidak akan keluar dengan laki-laki manapun. Karena yang ia tahu, sudah tiga tahun berlalu sejak Nadira putus dengan mantannya. Dan sejak saat itu, ia tidak pernah lagi melihat Nadira jalan dengan laki-laki lain meskipun banyak anak sekolahnya yang mencoba mendekati perempuan itu. Namun sebelum perasaan laki-laki itu semakin membesar padanya, Nadira sudah mendorong jauh mereka secara halus.

Amara sendiri tidak habis pikir dengan kebiasaan Nadira yang satu itu. Ia tidak pernah menemukan alasan mengapa Nadira selalu menutup hatinya untuk laki-laki. Seingat Amara, Nadira putus dengan kak Ari, mantannya, dengan baik-baik. Bahkan tidak terkesan putus karena mereka mengakhiri hubungan tanpa masalah apapun.

Jadi tidak mungkin Nadira tidak ingin membuka hatinya untuk laki-laki lain karena alasan hati yang belum sembuh, kan?

“Lo tau nggak sih, Nad?”

Seren dan Nadira menoleh.

“Kalo lo mau bilang kalo lo takut gue lesbi, gue tau.” Nadira menyangga kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja makan.

Amara tersenyum kecil karena Nadira sudah tau apa yang akan ia katakan. “Yaa soalnya lo nggak pernah jadian sama cowok dan selalu menghindar dari segala hal yang berhubungan dengan cowok.” Nadira mengangguk paham. “Apalagi lo kemana-mana sama kita terus. Di sekolah sama kita. Pagi-pagi sama kita. Malem mingguan pun sama kita.”

Nadira tertawa, apa yang diucapkan Amara memang benar walaupun tidak sepenuhnya. “Oh, lo ceritanya udah bosen gitu ya main sama gue?” candanya.

“Bukan gitu lah,” Amara berkata malas. “Gue cuma pengen lo membuka hati lo untuk cowok lain. Biar lo nggak kemana-mana melulu sama kita terus. Cari udara yang beda kan asyik tuh?”

Nadira mengangguk. Sepenuhnya paham apa yang Amara inginkan. Perempuan itu tidak ingin Nadira terlarut-larut dalam perasaan hampa dan bosan selalu berada di ruang lingkup mereka.

“Cari pacar sana lo.”
**

Halooo, thank u sebelumnya❤
Harap maklum kalo masih garing. Maklum penulis amatiran, wkwk.
Saran dan perbaikan dibutuhkan, okesip.

EVERSINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang