00 Paraduta (2)

41 12 6
                                    


Apartemen minimalis dengan konsep hitam putih yang berada di salah satu gedung di tengah ibu kota ini memang sering dijadikan tempat berkumpul oleh empat remaja laki-laki kelas 12 tersebut.

Selain karena hanya ada Fano, apartemen itu terasa nyaman ditinggali karena disekelilingnya terdapat berbagai macam pohon dan di depan balkon tepat adalah pemandangan pantai buatan yang indah.

“Anjir!” umpat Langgar meruntuki dirinya sendiri begitu memasukki kamar apartemen milik Fano sambil membawa tas gitar milik cowok itu di punggungnya.

Duta, Gesta, dan Fano langsung menoleh begitu mendengar suara laki-laki berkaus hitam polos yang kini sudah sepenuhnya basah dengan rintik hujan, di depan pintu.

“Kenape, Lang?” tanya Fano sambil membawakan handuk kecil yang tersampir dari pintu balkon yang terbuka.

Langgar menerima handuk itu kemudian mengeringkan rambutnya dengan cepat. “Gue tadi ceritanya lagi makan sama Agatha.” ucap Langgar menceritakan tentang sahabatnya yang lain. Sambil menghela napas kasar, Langgar duduk di kursi sofa dan mengeluarkan hpnya yang sedikit basah terkena hujan.

“Terus?” Gesta menyahut sambil meraup kacang dari dalam toples.

“Ya lo kan pada tau sendiri. Agatha kalo makan kadang nggak pake kira-kira. Malahan tadi dia makan sampe ngabisin bakso tiga porsi. Gue kadang bingung, itu badan kecil kenapa mulut bisa nampung kayak bagor.”

“Masalahnya?”

“Nah itu,” Langgar mengurut pelipisnya dengan mata terpejam. “Pas gue mau bayar, ternyata dompet gue ketinggalan dirumah. Malu banget gue, anjir.”

“Suruh bayar Agatha dulu kan sabi?” Kali ini Fano menyahut lagi dari dapur setelah sempat keluar untuk mengambil air minum.

“Dia sengaja nggak bawa uang. Soalnya kan dia mikirnya gue emang mau bayarin dia. Terus kita berdua kayak dua orang pelaku kriminal gitu disana. Mana Agatha nanya ke gue apa dia pura-pura stroke aja.”

“Lah?” Duta terkekeh kecil. “Nggak yang cewek, nggak yang cowok kadang emang suka bego.”

“Terus, terus?” tanya Gesta. “Jadinya kalian gimana?”

Kali ini Langgara Dhaneswara yang terkekeh. “Gue suruh Agatha disana dulu,” Ketiga alis sahabatnya terangkat. “buat jaminan.”

“Lah?” Duta, Fano, dan Gesta saling berpandangan. “Gila lo. Dia kan cewek. Kalo kenapa-kenapa gimana.”

Langgar menggelengkan kepala. “Yee apaan? Yang gue takutin justru orang-orang disana.” ujarnya terkekeh, setelah senang menjaili sosok Agatha.  “Yang ada gue takut orang-orang disana diapa-apain sama Agatha.”

Semuanya ikut terkekeh, termasuk Duta yang sejak tadi memang tertarik mendengarkan.

Laki-laki itu sedang duduk diatas karpet, memegang konsol PS yang sudah menjadi teman keseharian mereka.

Mata Duta menatap ketiga laki-laki yang tiga tahun ini selalu menemaninya di saat apapun. Tiga orang yang suka saling mengejek tapi di dalam hati mereka sebenarnya saling menyayangi dalam konteks pertemanan.

Duta ingin tertawa setiap teringat bagaimana pertama kali mereka berteman. Waktu itu mereka hanyalah para anak laki-laki dengan kadar kenakalan yang tinggi saat sama-sama membolos di hari pertama pelaksaan MOS. Dan kebetulan, keempatnya sama-sama dipertemukan saat dihukum oleh panitia MOS untuk membersihkan toilet sekolah dalam waktu seharian. Latar belakang perilaku yang sama membuat mereka merasa cocok dan awet berteman hingga sekarang.

Dan sebentar lagi, keempatnya harus berpisah untuk menemukan jalannya masing-masing dan Duta tidak ingin memikirkan hal semacam itu.

“Jam dua belas nih. Habis ini pada mau kemana?” Duta menoleh pada ketiga teman disampingnya.

“Mau tidur aja lah gue. Sekali-kali tidur sore.” Fano menjatuhkan tubuhnya diatas kasur, membuat beberapa bantal kecil yang ada diatas kasur berjatuhan ke karpet halus dibawahnya.

“Yaelah, gayaan lo.” sambar Gesta tidak terima. Bagi mereka tidur jam 12 termasuk sore karena keempat cowok itu sudah terbiasa tidur larut pagi. “Nggak asyik.”

“Kalo lo, Ges?” Kali ini Duta menoleh pada Gesta.

“Nggak ngerti gue.”

“Lo, Lang?”

“Nggak bisa ikut gue.” Kata Langgar setelah mengecek notifikasi hpnya.

“Kenapa?” sahut Duta cepat.

“Kasian gue, Agatha sendirian.” Ujar laki-laki itu sebelum beranjak ke balkon untuk menyalakan puntung rokok dan menyesapnya.

“Yaelah,” balas Duta sambil  meletakkan konsol diatas karpet. “Ajak aja si Agatha nggak papa udah?” katanya tidak terima temannya harus pergi lebih dulu.

“Nggak janji ya gue? Soalnya kan Agatha kadang ngeri sama macem cowok lo lo pada.” Langgar terkekeh yang dibalas lemparan kulit kacang oleh ketiganya.

“Ke Pantara ye,” ajak Duta sambil beranjak bersiap.

“Pantara? Nggak ikut deh gue.” Gesta mengangkat kedua tangannya ke udara. “Emak gue akhir-akhir ini suka sensitif, ujung-ujungnya uang saku gue yang kepotong.” Curhat Gesta pada ketiga remaja itu.

“Ikut aja lah. Gue traktir.”

“Tumben banget lo.” Timpal Fano.

“Gue lagi males dirumah. Rasanya kayak apa ya?” Duta menatap langit-langit kamar, mencari kata-kata yang pas untuk mengambarkan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini. “Gue butuh udara segar?” 

“Kenapa? Kesepian?” tanya Langgar sebelum kemudian ia menyesap ujung rokoknya dan mengepulkan asapnya ke udara.

“Terlalu lama sendiri?” Gesta tertawa.

“Ya makanya,” Fano bangun dari tidurnya dan menepuk pelan bahu Duta dua kali. “jangan kelamaan jomblo lo. Cari pacar sono, siapa tau dapet jackpot.” ujarnya.

Duta memukul pelan kepala Fano, sebelum terkekeh pelan. “Lo pikir apaan. Pake jackpot segala macem.”
**

Halooo, jgn lupa masukannya ya gengs❤
Terimakasih udah membaca hehe.

EVERSINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang