Sinar mentari yang membakar kulit, sejuknya angin penyejuk raga , dan deburan ombak si penenang jiwa. Komposisi yang indah seperti sebuah harmoni, yang memikat hati. Petualangan yang penuh keringat, terbayar sudah. Pantai pacar, penduduk menyebutnya, pantai yang tenang yang sangat jarang dijamah, bahkan sangat jarang pula dijamah oleh makhluk hidup yang dipenuhi akan ego bernama manusia, yang rakus serta tamak akan harta kekayaan, tanpa memikirkan alam sekitar.
Detik demi detik, menit demi menit kulalui, menikmati keelokan tanah ibu pertiwi, pasir putihnya seindah kristal menghipnotis jiwa-jiwa yang datang tanpa terkecuali. Beginilah diriku dengan wajah sebenarnya tanpa topeng kemunafikan dikala bertemu makhluk bernama manusia yang mengharuskan setiap insan berpura-pura jadi yang terbaik di mata sesamanya, menyukai kesendirian, kesunyian untuk mencari ketenangan dalam sebuah film karya tuhan dengan skenario yang indah berjudul kehidupan.
Tenaga yang terkuras habis, membuat tubuh merengek meminta untuk diistirahatkan. Melihat sebuah gubuk kecil, membuatku langsung berlari menuju gubuk itu dan mengistirahatkan badan sejenak sembari mendengar deburan ombak yang menghantam karang.
Langkah kaki membangunkanku, didalam hati kecilku aku berkata
"memang bukan hari ini aku menjadi tuan tanah dari pantai ini untuk sementara"
Mata yang tak bisa kupejamkan lagi, membuat diriku terjaga sembari menikmati harmoni indah dari deburan ombak serta kicauan burung."mas boleh minta tolong ?" suara yang lembut dengan aksen jawa, tapi membuka paksa hati yang pernah terkunci rapat akan sebuah peristiwa pilu.
Seperti suara yang pernah mengisi hati sebelum hati ini berhibernasi"ya mbak, bisa saya bantu apa?" ujarku sembari menatap seorang wanita yang berpenampilan sederhana, sangat jauh dari kata perkotaan.
"tolong foto saya, pake handphonenya mas tapi pake sdcard saya, handphone saya sudah mati, boleh mas?"
"iya mbak gapapa"Inikah sindrom eksotisme?, biasa melihat cewek kota keren dan gaya, melihat yang lugu dan sederhana jadi luar biasa. Tanda tanya menyelimuti hati serta pikiran, sebuah kalimat jadi terbayang siapakah dia.
"Mas ayo main air"
Penampilan yang begitu lugu, lucu kurasa saat kalimat itu terucap dari bibrnya. Melihatnya berlari ke air secara tiba tiba dia menyiratkan air ke arahku dan dia tersenyum. Aneh kurasa tiba tiba aku tertawa setelah itu. Ku berlari mengikutinya bermain air, seperti anak kecil bermain menikmati waktu tanpa kenal kemunafikan dunia. Seketika berhenti disaat ku terjatuh. Badan berhasil menghindar tapi kepalaku tak terelakkan, menghasilkan sebuah luka karena tergores karang. Pusing yang kurasa, tak sampai membuatku tak sadarkan diri, tanpa tahu darah sudah menetes dari dagu dan mengalir melewati pipi dari alis yang tergores karang.
"Saya minta maaf"
Kata itu terucap dari dia, ku tersenyum melihatnya sambil menekan kepala untuk mengurangi rasa sakit.
Kulihatnya dia berlari menuju tasnya dari posisi ku duduk sambil menekan luka menahan sakit. Selang beberapa detik dia datang membawa p3k.
"Saya tidak apa-apa, ini hanya luka kecil"Tak menghiraukan diriku, dia mengobatiku. Sembari terus berkata maaf hingga berakhir dengan senyuman dan maaf yang terungkap lagi dari matanya yang berkaca-kaca.
"Sekarang pulang saja" mengajakku sambil mengulurkan tangannya membantu ku berdiri.
Melihatnya berjalan murung tak lagi gembira seperti seekor burung yang memiliki luka di sayapnya hingga tak bisa terbang lagi, dan Aku lah penyebab luka tersebut. Itu membuatku menjadi sangat merasa bersalah
Kuhibur dia, kucairkan suasana untuk dia hingga aku bersyukur dia bisa tersenyum, dan tertawa meskipun itu hanya sebuah topeng belaka. Banyak yang kubicarakan dengan dia, hingga kutahu namanya, Kirana.
Indah kurasa, Kirana
Ku senang menghabiskan waktu bersamanya membuatku membuka halaman buku tua yang telah berdebu, yang usang terlibas waktu. Yang membuatku membangunkan kembali diriku yang dulu karena dirinya sangat mirip dengan sang malaikat tanpa sayapku, ibu.
Ku tak bisa mengantar dia pulang, aku takut dengan keselamatannya, karena luka itu membuatku pusing dan yang paling aku takutkan tiba tiba jika vertigo yang kupunya kambuh dan membuat malaikat pencabut nyawa tak hanya mengambil jiwaku tapi jiwa dia juga. Yang secara otomatis aku adalah pembunuh mu juga.
Dengan senyuman dia mengantar keberangkatanku. Tak rela sebenarnya, apalagi dia mirip sekali dengan malaikat tanpa sayapku. Hati kecilku berteriak "apakah kamu mau kehilangan ibu mu untuk kedua kalinya". Dan akhirnya aku berangkat dengan cuek tanpa ia tahu aku mengkhawatirkannya, tak lama ku menunggangi motor dia berteriak dan teriakan itu yang membuatnya tak hanya mendobrak pintu hati yang terkunci tapi dia sudah masuk dan menata kembali hati yang telah porak poranda.
"Terima kasih untuk hari ini, Ibra"
"Terima kasih kembali, semoga kita berjumpa lagi, Kirana" sebuah balasan dalam hati yang juga doa agar pencipta bisa kabulkan permintaan hambanya.
Hanya dengan satu kalimat sudah membuatku mencintaimu dan yakin bahwa kamu adalah ciptaan -Nya dikala Ia bahagia.
.
.
.
.
."kamu adalah seorang wanita yang hidup dalam intuisi saya, bahwa kelak kamu akan jadi orang yang saya bahagiakan dan membahagiakan saya sampai akhir hayat dan setelahnya"