Suasana kereta yang begitu ramai menandakan akan kearifan lokal. Kelas ekonomi merupakan bencana bagi para tikus di pemerintahan sana, tapi bagi kami ini adalah sebuah kenikmatan yang sangat indah dimana manusia dapat memanusiakan.
"Jun kata lo banyak yang ikut, ngechat gue temen-temen"
"bohong gue biar kita bertiga bisa hangout bareng lagi"
"parah lo Jun bohong ke sahabat sendiri, lo juga bra dari dulu gampang amat di kadal-in sama si Juna"
"santai aja napa, nanti juga ada kejutannya"Tiga serangkai berkumpul kembali, aneh memang sebutannya tapi kami menyetujuinya. Tak asal kami mencari nama, kami bertiga Ibra Prasetya, Arjuna Wijaya, dan satu-satunya perempuan di kelompok kami Dinda Naqinda merupakan pengagum bumi pertiwi, penjelajah tanah air.
Melihat bangunan dan pepohonan berlari meninggalkan kami, kebisingan tanda awal perjalanan menuju sebuah petualangan. Waktu berlalu begitu lambat seolah jam waktu berada di tanganku bisa ku operasikan sesuka hati. Melihat wajah-wajah penghuni muka bumi, wajah-wajah pribumi. Kearifan lokal yang indah sekali, menikmati apapun yang dipunya si ibu pertiwi. Ku melihat sekitar mengagumkan, hingga sepasang mata ini terpaku terhadap seseorang. Mungkinkah dirimu?
"bengong aja lo bra"
"gapapa gue bahagia aja si Juna ngajak gue, mungkin pertanyaan gue bentar lagi dijawab din"
"ha, apaan bra"
"nggak bukan apa-apa"Canda tawa pengisi perjalanan kereta menuju kota malang pun berakhir dengan sampainya kereta di stasiun. Sekejap ramai orang berlalu lalang, menjadi lautan manusia. Mengikuti alur, berjalan menuju pintu keluar. Terlalu banyak senyuman untuk hari ini membuat hari semakin indah.
"Bra, Din ini pacar gue, Kirana"
Kirana tersenyum.Dan satu senyuman yang hadir seperti bom waktu yang siap dihitung mundur hingga hati hancur berkeping-keping dan siap menghancurkan hari. Perkenalan membuat semua jadi senang, tapi tidak bagiku. Candaan saling dilontarkan satu sama lain saling mengejek dan saling memuji status masing-masing, tapi tidak bagiku. Diam adalah keputusan terbaik menutupi kekacauan hati. Dan kehadirannya bukti tuhan mengabulkan doaku serta kejutan dari Juna.
Dia akan mengajarkanku apa arti penderitaaan yang mendalam. Harapan yang pupus sia-sia. Dan penderitaan itu akan berlangsung tiga hari dan selama itu si hati kecil harus bertahan di tikam secara berulang-ulang melihat kedekatannya dengan si sahabat.
Keberangkatan menuju Ranupane merupakan saatnya si hati mulai berjalan di gurun pasir menerjang badai. Sebuah pemandangan yang menyakitkan melihatmu sangat dekat dengannya, dan keadaan memaksa diriku memainkan peran. Sungguh menyakitkan asal kau tahu memainkan peran tanpa perasaan mengkhianati hati yang sedang berjuang untuk tegar. Jikalau hati dapat berucap mungkin ia akan berteriak hingga meledak.
Tiba di Ranupane merupakan sebuah berkah bagiku, mengurangi rasa sakit yang ku derita. Tapi hal itu ternyata hanya imajinasi. Kau datang dengan senyuman, saling berkomunikasi, menggali luka yang semakin dalam. Tahukah kamu, sikapmu itu menghancurkan diriku mematahkan hatiku. Jika aku tahu akan jadi seperti ini aku berharap kau memperlakukan diriku dengan dingin. Tak perlu berharap lebih.
Perjalanan dimulai dengan Juna yang jadi penunjuk jalan dan aku yang berada di belakang.
"Apakah ini berkah, dapat melihatmu dari belakang lagi, kebahagiaan memang sederhana"
Sejenak melupakan perihnya hubunganmu. Alam pun semakin membuatku terbuai melupakan pahitnya kehidupan. Memberikan ribuan keindahannya di kiri kanan, melupakan penderitaanku, bebanku, dan perasaan si hati, meski tak bisa semuanya terhapuskan.
Melihatmu melihat sekelilingmu seakan dunia itu diperuntukkan hanya untukmu membuat diriku tak bisa menahan senyum. Dan senyum itulah sang pelipur lara dan penghapus dahaga. Lelah secara fisik pun hingga tak berarti apa-apa. Tapi jangan tanya dengan lelah mental, ini yang sekarang kurasa.
Ratusan bahkan ribuan langkah telah ku lalui. Tapi hal itu terbayar sudah sesampainya di Ranu Kumbolo. Sedari tadi lelah memang tak terasa, melihat mu sedang bahagia, dan canda tawa yang jadi pengiringnya. Lucu saat aku bisa merasakan bahagia dengan hanya melihatnya padahal aku sedang bermain peran untuk diam.
Disaat semua orang menuju keramaian diriku berbalik arah menuju sepi. Menyakitkan memang dikenal sebagai penyendiri, pendiam tanpa mereka tahu apa alasannya untuk jadi seperti itu.
"Apa yang kulihat barusan?"
"Lagi? "
"Apa ini? "
"Siapa dia, aku tak mengenal dia"
"Sakit, berhenti jangan muncul di pandanganku lagi"
"Sakiittt, dia siapa, apa yang aku lakukan"
"Sakiiiitt"
"Berhenti!!"
"Arrgggghh"Aku terbangun dan menangis, tak tahu apa yang terjadi, semua seperti diatur sangat cepat.Tak tahu apa yang aku tangisi. Yang ku tahu aku hanya melihat tiga orang yang kutahu hanya dua, itu aku dan adik ku, lalu siapa pria itu. Melihat semuanya mengelilingiku mulai dari wajah yang ku kenal hingga tak kukenali. Pingsan, mungkin kecapean, kata-kata yang mengelilingiku tanpa tahu apa yang terjadi. Tanpa sadar kamu mengucap kata yang terdengar familiar "Kamu nggak papa, maaf ya", kujawab "Iya, saya baik-baik saja, mungkin cuma kecapean".
"Aku tadi lari ke arahmu, kamu teriak sakit"
"Saya baik-baik saja, maaf merepotkan"Dan disaat aku terbangun dan menangis, hal itu mulai terbayang di kepalaku.
"Siapakah dia? "
"Dan siapa diriku? "
"Apa yang terjadi? "
.
.
.
.
.
"Waktu adalah wujud takdir itu sendiri. Waktu adalah pengungkap rahasia. Waktu adalah penghapus luka. Jangan dilawan semakin kuat melawan semakin sakit yang akan dirasakan"
