2. Pulau Sadara

44 5 0
                                    

Truck itu terus berjalan, malam sangat gelap sejujurnya mata Ranaya sangat berat. Mereka tiba di pulau ini pukul sembilan malam dan Ranaya dari tiba di pelabuhan belum mengistirahatkan matanya, dia sibuk bercerita dengan gadis angun berjilbab yang menjadi temannya di kapal. Adam terkekeh melihat tingkah Ranaya yang mulai mengantuk. "Aku pinjamkan bahuku kalau mau!" Ucapnya berbisik di telinga Ranaya, membuat gadis itu berdecak. "Tidak terimakasih!" Ucapnya dingin.
"Gratis, daripada kau bersender pada besi itu." Tunjuknya, Ranaya tidak peduli dia menempatkan kepalanya pada besi yang ditunjuk oleh Adam.
"Baiklah untuk menghibur kita malam ini, ayo kita bernyanyi," Usul Handa mulai mengeluarkan suara sumbangnya.
"Handaa," Tegur Adam melotot, membuat Handa menunduk.
"Jangan mengacau! Wanitaku mengantuk." Ucapnya menarik kepala Ranaya bersandar kebahunya.
"Berhenti bersuara, aku perintahkan! Lebih baik kalian tidur, namun sebagian tetap berjaga.
"Baik kapt." Ucap mereka serempak.

Mereka sampai pada sebuah desa kecil, "Bener katamu kapt, pulau ini berpenghuni." Ucap Handa tersenyum.
"Tentu, pulau ini milik keluarga gue dan mereka pekerja gue. Sayangnya mereka terkenah wabah penyakit menular." Ungkapnya miris. "Mangkanya mereka diasingkan ke sini dan gue pengen kita ngebantu mereka, ngobatin mereka." Ungkapnya tulus.
"Terus apa yang harus kita lakuin kapt?" Tanya Barada
"Tentu mengobati mereka."

Waktu berlalu dengan cepat, warga yang terkena wabah sudah sembuh. Hari ini adam membawa Ranaya ke suatu tempat, tempat rahasia Adam di pulau ini. Sebuah gubuk kecil, di dalamnya ternyata berfasilitas mewah, Adam menarik Ranaya masuk ke sana.
"Kau tahu cantik, ini tempat favoriteku jika aku lagi galau." Curhatnya.
"Ini adalah tempat rahasiaku, tidak banyak orang tahu, tidak mama juga papa atau saudaraku."
"Aku tidak bertanya, kau yang mengeretku ke sini." Ucap dingin Ranaya.

Adam menarik tangan Ranaya mengikutinya ke kebun apel miliknya membuat mata Ranaya memandang takjub. "Ini kebun Apel milikku." Ujarnya bangga, "Mereka selalu bilang kalo pulau Sadara adalah pulau tak berpenghuni, padahal pulau ini sangat berpotensi, hasil alamnya membuatku kaya." Sombongnya kemudian.
"Kau tahu cantik, aku menyukaimu." Jujurnya pada Ranaya.
"Tapi aku tidak."
"Cantik berikan aku kesempatan!" Mohonnya, "aku ingin memilikkimu.
"Maaf, aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mengenalmu."
"Jika sudah kenal mau."
"Tidak, aku mau pulang ke kamp."
"Tidak kita akan tidur di gubuk tadi."
"Aku tidak mau, kenapa memaksa?"
"Karena aku ingin mendekatimu." Ucapnya berjalan meninggalkan Ranaya yang masih dalam kebimbangan.
"Hey tunggu kau, lelaki tanpa nama!" Teriak Ranaya mengejar, Adam berhenti membalikan tubuhnya mendekat ke arah Ranaya, "Namaku Adam Sena, bukan lelaki tanpa nama." Ucapnya membungkuk memegang dagu Ranaya. "Kamu gadis tanpa nama itu." Tunjuknya pada kening Ranaya.
"Aku punya nama."
"Siapa? Siapa namamu gadis tanpa nama?"
"Aku-aku Ranaya, Ranaya Pubianti."
"Binti siapa?"
"Ranaya Pubianti Dyson Binti Alan Dyson."
"Terimakasih infonya cantik," Adam mencolek dagu Ranaya sembari mengucap kalimat, "saya terima nikahnya Ranaya Pubianti Dyson binti Alan Dyson dengan mas kawin bla-bla-bla."
Ranaya berdecak ngeri mendengar ucapan Adam.
"Aku tidak sabar ingin melamarmu."
"Kau gila."

Ranaya kembali ke kamp mereka, gadis itu masuk ke dalam bus yang di sulap menjadi barak yang nyaman. Dia mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah seharian diculik oleh Adam Sena, lelaki yang belakangan ini berseliweran di otaknya. Ranaya memejamkan matanya, dia teringat jika dia lupa mengabari sang ibu kalau dia sudah sampai, dengan cepat dia membuka tasnya mencari benda tipis untuk berkomunikasi itu, terdapat 1000 panggilan 3000 pesan, "Ah mereka benar-benar khawatir."

Ranaya menelvon sang ibu dan Alhamdulillah langsung di angkat.
"Assalamualaikum Bu."
"Ranaya anakku, waalaikum salam, kenapa baru mengabari?"
"Maaf bu, Nana kelupaan. Ibu sehat?"
"Oh udah mau ngelupain ibu?" Canda ibu di seberang sana.
"Bukan gitu bu, Nana disini sibuk, Nana tinggalnya di kapal."
"Ya Alloh, kok bisa? Anak ibu itu perempuan, bakal kena oceh ayah dan kakak-kakakmu ibu." Ucap Sedih.
"Siapa bu yang nelvon?" Tanya Alan pada sang istri.
"Ranaya."
"Siniiin hapenya ayah mau ngomong."Alan merebut hape dari istrinya.
"Gadisss nakal, pulang kamu!" Suara Alan meninggi.
"Ayaah, Nana kangen."
"Pulang kamu anak nakal! Siapa yang ngizinin kamu pergi!"
"Bu, itu siapa yang ditelvon ayah." Tanya Randi pasalnya sang Ayah berteriak-teriak marah.
"Ranaya." Jawab Hana pasrah.
"Ayah siniin hapenya, Kakak mau ngomong sama Nana."
"Ayah belum puas memarahinya!"

Ranaya sendiri menjauhkan hape itu dari jangkauannya, dia tidak mau mendengar kemarahan sang Ayah dan kakak galaknya.
"Ranaya kamu dengar ayah ngak!"
"Denger yah."
"Besok kamu harus ada di rumah."
"Gak mau, Nana di sini kerja ya. Lagian di sini jauh dari bandara, Nana kan tinggalnya di kapal."
"Ranaayaaa." Alan membanting hape istrinya kesal dengan tingkah sang putri.
"Yah, itu hape punya ibu." Hana memungut kepingan hapenya dengan sedih.
"Bu, ibu tahu Nana kerja di kapal?" Tanya Alan pada sang istri.
"Dia pamitnya sama ibu mau jadi sukarelawan yah, ibu gak tahu kalau dia kerja di kapal."
"Kakak bakal nyari keberadaan Nana bu!" Ucap Randi tak kalah marah, pasalnya adik kecilnya itu sudah berani main-main dengan mereka. Randi mau nghubungi bang Rafka buat ngelacak tikus kecil nakal itu."
"Ran, jangan ganggu abangmu," Pintah Hana, Hana tidak bisa membayangkan nasib putrinya itu jika putra sulungnya yang pendiam itu tahu kelakuan adik bungsunya. Rafka menyayangi Ranaya, dia memang terlihat cool dibanding Randi yang pemarah tapi percayalah dia bisa jadi monster jika menyangkut keamanan sang adik.

Ranaya gelisah, dia tahu Ayahnya marah besar belum lagi kakak kejamnya, Randi sang brengsek juga tahu bahwa dia pergi meninggalkan rumah tanpa izin. "Ah, gue udah 23 kenapa selalu diperlakuin macam anak kecil." Jeritnya gelisa,..."Gue mau nentuin hidup gue sendiri, bodoh amat sama ayah, abang, kakak dan ibu, gue mau bebas sebebasnya, hiks, hiks, tapi kangen mereka."
"Rana kamu kenapa?" Tanya Hilya seorang dokter muda.
"Gak papa dok, Rana cuma berharap keputusan Rana meninggalkan rumah adalah keputusan yang tepat."
"Kamu gak izin ortu?"
Ranaya mengeleng, "Mereka gak akan mengizinkan Rana kalau izin, Rana itu dianggap bayi sama mereka, mereka galak." Ujarnya tersenyum sembari menghapus sisa air mata.
"Seharusnya, kamu bersyukur mereka galak, mereka ingin terus menjaga kamu."
"Tapi Rana udah 23 mbak, Rana udah dewasa. Pola asuh otoriter juga gak baik buat perkembangan anak, Rana kapan majunya kalau dikurung disangkar." Ungkapnya.
"Iyaa, kamu jelaskan perlahan. Semoga mereka mengerti."
"Makasih dokter cantik, nasehatnya." Ungkapnya memeluk gadis berjas putih itu.

Bersambung...

Nalaya HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang