pecahan delapan

148 17 2
                                    

Gue jalan ke kelas sendirian. Sebenernya nggak ada yang ketinggalan. Iya, beneran.

Gue cuma akting aja. Karena gue terlalu capek jadi Rena-yang-ramah. Atau menurut gue itu adalah sosok gue yang sok-ramah, sosok gue yang lain.

Dan jujur gue capek sama sosok gue yang lain.

"Yah, gue di sini lagi," kata gue pelan setelah ngebuka pintu. Menghadapi suasana kelas yang berantakan. Karena anak kelas gue alesan piket pas pagi. Jadinya begitu jam pulang sekolah biasanya langsung pergi.

"Tempat dimana sosok gue yang ramah mulai ada. Halo, Rena."

Gue gelengin kepala. Gue udah kudu pulang. Udah jam berapa nih.

Dengan tenang gue lewatin lorong kelas gue yang udah mulai gelap. Kayaknya kakak kelas udah pada pulang, lampu kelasnya udah pada mati dan pintu ketutup. Kayaknya cuma kelas gue yang nggak pernah dikunci satpam. Soalnya pintunya emang rusak.

"The weight of thing. That remained unspoken. Built up so much it crushed us everyday.."

Dan suara lembut memabukkan itu kedengeran lagi. Dan dari kelas 12 ips 3 lagi.

Pelan-pelan gue intip lagi dari pintu yang kebuka dikit.

"Everynight you cry yourself to sleep. Thinking why does this happen to me. Why does every moment have to be so hard?"

Kenapa liriknya gue banget sih.

"Hard to believe that–"

"It's not over tonight. Just give me one more chance to make it right. I may not make it through the night, but I won't go home without you.."

"Lo ngap–kok, nangis?!" suara cowok. Kayaknya dia yang nyanyi. Mergokin gue ngintip. Tapi wajah dia ngeblur banget, dan dia nyebut-nyebut kata nangis. Ah, masa gue nangis.

Gue megang pipi gue. Basah.

Gue nangis beneran.

"Kenapa malah nangis di sini??" kakak kelas itu nanyain. Terus dia tiba-tiba masuk lagi ke kelas.

"Nih," nyodorin gue tisu sekotak. Jadi dia tadi masuk lagi ke kelas nyari tisu?

"M-makasih, Kak," kata gue. Sesenggukan. Kenapa gue bisa nangis separah ini coba. Perasaan gue cuma ngintipin dia nyanyi dan terlalu menghayati lirik–

Jeder.

Gue paling nggak bisa kalo denger lagu yang 'nasib gue banget'.

"Ngapain lo nangis di sini?" kakel itu nanya lagi. Mata gue yang udah bersih ngeliat dia. Gue nggak kenal dia siapa, tapi gue tau dia kakak kelas.

"Aku nggak sengaja lewat tadi mau pulang. Te-terus denger suara kakak. Terus dengerin sebentar. Suara kakak bagus banget–"

Lemah banget gue, kepotong tangisan sendiri.

"Gitu doang?"

"Gitu doang apanya?! Suaranya bagus banget, tau! Aku suka banget!" gue teriak. Dan kakak kelas di depan gue ketawa kecil.

"Makasih," kata dia. Senyum lebar kayak blushing gitu, tapi pipinya nggak merah.

"Ma-maksud aku, suaranya kakak bagus. Aku suka suara kakak," jelas gue. Dengan suara masih sesenggukan. Dia nganggukin kepala. Masih senyum lebar.

"Suka orangnya juga gapapa, kok," kata dia, nyengir.

"Apaan, sih," bales gue.

"Yaudah, lo mau nginep di sekolah? Nggak pulang?" dia nanya.

"Kakak sendiri?" gue bales nanya. Lama-lama kesel juga ngomong sama kakel macem gini.

"Gue Jae. Jangan panggil 'kakak-kakak' mulu, nggak enak. Ini juga mau pulang. Mau gue anterin?" dia nyerocos. Gue bengong.

"Mau, gak?" Kak Jae nanya lagi. Gue baru sadar nggak pernah denger namanya.

"Ng-nggak, Kak. Makasih," kata gue.

"Lo siapa?" Kak Jae nanya. Ini beneran mau tau nama gue nih? Kok, gue ngefly gini.

"A-aku Rena," gue jawab. Kak Jae ngangguk-nganggukin kepalanya.

"Masih mau nangis di sini apa pulang?" Kak Jae nanya.

"Mau pulang," jawab gue. Terus Kak Jae berdiri. Nyodorin tangan ke gue.

"Yaudah, ayo bangun. Jangan duduk di tengah jalan begini terus."

Gue liat sekeliling. Gue bego abis.    

***


aku cuma remahan biskuat (:

ambyar [park jae-hyung | jae day6]Where stories live. Discover now