"Udah beres," Ian kembali duduk tegak setelah lama ia menulis di bawah lantai. Diikuti oleh teman-temannya yang bernapas lega.
"Jadi tenang kan sekarang," Ian memandang tulisannya. Seolah di depannya itu adalah sebuah penghargaan yang membanggakan.
Ian memang begitu. Terlalu narsis. Serasa apapun yang terbaik adalah dirinya. Nggak peduli orang bilang apa. Tipikal arogan. Tapi, kalau sudah bercanda suka keterlaluan.
"Yes, akhirnya gue bisa balik. Ihiw!" seru Rafi riang gembira sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.
Ian kemudian menyatukan tangannya di depan dada. "Makasih ya kalian udah mau kerja sama."
Tidak ada yang menjawab dan membuat senyum Ian yang merekah, luntur seketika.
"Jawab!"
"Hmm..." Ian menahan geramannya karena hanya disahuti gumaman.
"Udah! Gue balik!" Tari yang berdiri duluan. Ia hendak ke luar kelas berbarengan orang-orang yang baru selesai kerja kelompok.
Tak lama, Ian berseru, "SANA BALIK! GUE UDAH NGGAK BUTUH LO!"
Tari berhenti. Dan menatap Ian tajam. Ian malah cengengesan dan menampilkan telunjuk serta jari tengahnya. Cowok itu emang suka nyeletuk seenaknya. Ian nggak mikir perasaan yang mendengarnya. Contoh saja Tari. Sudah berbagai kata kasar dan umpatan yang nggak jelas, Ian layangkan.
Seperti:
Jalang
Tari si janda bodong
Kecil
Cewek murahanDan Ian dengan mudahnya malah ketawa setan. Seolah-olah kata-kata yang diucapkannya bukan apa-apa.
"Awas ya lo kalo manggil gue lagi," Tari menunjukkan kepalan tangannya.
Ian kemudian menatap remeh, "idih! Lo kali yang bakalan kangen gue."
"Kapan?!" gertak Tari tak terima.
"Wah elo nggak tau terima kasih ya," ucap Ian malah mengundang kerutan dahi Tari.
"Tiap malem lo meluk-meluk gue apa coba ya maksudnya. Bikin gue ternodai," Ian bergidik. Tari sontak saja saja memelotot.
Bukannya Tari ngerasa. Megang-megang Ian saja ogah. Ini disebut meluk-meluk. Harusnya Tari nggak kepancing sama mulut mercon punya Ian. Suka ngawur.
Mau melawan, ucapan Tari langsung dipotong oleh teman-temannya yang masih di dalam kelas.
"Cie Tari."
"Tari cewek agresif ya."
"Mau dipeluk-peluk Tari dong!"
Ian malah ketawa dan kabur begitu saja ke luar kelas. Tari mengepalkan tangannya kuat biar nggak jadi ngamuk. Biar saja besok menjadi hari pembalasannya.
Tari pun ke luar kelas, tapi lagi-lagi dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya. Tari yang nggak mood, langsung teriak. "Apaan sih lo?"
"Wesss nyantai dong!" sahut Rafi sambil menyilangkan tangannya. "Gue cuma mau nawarin jok belakang gue yang kosong kok!"
Tari mendelik dan kembali berjalan menuju gerbang. "Nggak usah!"
"Jangan sok jual mahal. Lumayan hemat ongkos, Tar," hasut Rafi lagi.
Tari kontan berhenti dan berbalik menatap Rafi. "Lo lagi ada maunya kan sama gue?" Tari menunjuk sambil mata memincing.
Bukannya Tari suuzon. Lagipula Tari bekas anak Rohis. Jejak-jejak kesholehannya masih ada. Tari hanya belajar dari pengalaman.
Tari pernah menerima pertolongan dari Rafi. Tari terpaksa terima karena memang Tari lagi capek waktu itu. Dan hasilnya sebagai balas budi, Tari harus mengerjakan soal-soal Kimia sebagai hukuman Rafi karena telat mengumpulkan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reuni 18
Teen FictionXIA6 Dihuni tiga puluh murid minus dua. Gosipnya, berisi orang-orang kuat yang sudah biasa dikekang praktikum dan berakhir dengan setumpuk buku arisan tebal. Tidak ada yang aneh dari kelas ini. Cius! Tapi, kutukan 'kelas terakhir biasanya paling bob...