3

31 3 4
                                    

Kamsih. Alias Kamis Bersih.

Hari dimana sekolah mengambil waktu satu jam agar seluruh siswanya membersihkan sekolah. Tapi, sebelum kegiatan itu terlaksana, semua siswa disuruh berbaris di lapangan. Mereka berbanjar sesuai kelas. Dari kelas sepuluh sampai dua belas. Dari kelas awal hingga terakhir.

Bel sudah berbunyi. Beberapa siswa ke luar dari kelas.

Hari ini kelas XI A 6 kebetulan mendapat kelas belakang sebab sekolah menerapkan siatem moving class.

Bel memang terdengar samar bila sampai ke kelas belakang. Karena hanya ada satu pengeras suara di area dua lantai tersebut.

Sudah suara bel samar, ruang paling ujung, ditambah pula kelas XI A 6 saat ini malah rusuh tugas matematika. Tugasnya memang diberikan dua hari lalu. Tapi, seolah sebuah hal haram bila mengerjakan di rumah.

"Eh anjir nomor terakhir apaan?"

"Ada yang udah nomor lima belum?"

"Pensil gue!"

Ian menggeleng melihat teman sekelasnya. Di depan kelas ia meringis bukunya dikelilingi oleh banyak orang. Sedikit bangga, tapi kesal juga lama-lama.

Ian melihat jam tangannya. Cowok itu menoleh ke belakang dimana sudah banyak yang pergi menuju lapangan. Kalau sudah begini, Ian harus berusaha sendiri. Kemana Naufal? Jadi wakil nggak guna banget. Sudah hari kedua cowok itu nggak sekolah.

"Baris woy!!" teriak Ian.

"Nanti!"

"Kita bolos kamsih aja hari ini!"

"Lo pergi aja sendiri, Yan!"

Ian mendengus. Ia merasa tidak berguna sama sekali sebagai ketua kelas. Tentu saja. Mana ada ketua kelas yang kalah sama anggotanya? Kenapa Ian malah merasa hanya sebagai tameng amarah guru ketika teman-temannya yang salah?

"Irwan! Lo anak Rohis! Ajak dong temen-temen lo ke jalan bener," ucap Ian melihat salah satu temannya itu malah ikutan nimbrung mengintari bukunya.

"Bentar. Gue satu nomer lagi."

Ian mendelik. Bodo! Ian mau ke luar kelas. Ian nggak mau lagi-lagi jadi pelampiasan kesalahan teman-temannya.

Baru mau mau ke luar kelas, ia menghadapi guru berbadan buncit dengan rambutnya yang sudah beruban. Tatapannya menghunus pada Ian.

"Mana temen-temen kamu?! Suruh baris!"

Fix! Ian perlu paracetamol.

**

Butuh waktu lama untuk membuat semua siswa berbaris rapi dan sesusai kelas. Beberapa guru pun turun tangan untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Meski susah masuk masa putih abu, tetap saja masa-masa itu dimana ego sedang tinggi-tingginya. Selalu merasa benar dan sulit diatur.

"Ih tadi gue sial banget," ucap Pipeh tiba-tiba datang dari belakang. Ia menerobos beberapa orang agar bisa baris dekat dengan geng ciwi-ciwinya.

"Lo abis ditahan sama Om?" Risma terkekeh. Om itu panggilan Pak Rohman, btw.

"Bukan," napas Pipeh menderu. "Gue tadi ditahan sama Bu Sari."

Beberapa mata membelalak. Sudah dipastikan, guru jenis Bu Sari bukan guru yang diharapkan untuk dilihat ketika marah.

"Kenapa bisa?" tanya Novi cemas. Cewek itu agak sentimentil mengenai kawannya.

"Gue ketahuan pake gincu," jawab Pipeh kesal dan malah mengundang gelak tawa teman-temannya. Bahkan, ada dari kelas lain yang menertawakan kesialan Pipeh tersebut.

Reuni 18Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang