Dua

641 24 0
                                    


Mereka sudah berkeliling sekolah selama hampir dua jam dan perawakan gadis itu masih tidak terlihat. Harvard terlalu besar untuk dapat menemukan gadis menyebalkan itu, dan sebentar lagi kelas pertama Peter akan segera dimulai. Tetapi ponsel yang sekarang ada di tangannya ini membawa beban cukup mengesalkan di pundaknya. Ia tidak bisa bersikap seolah gadis itu menyebalkan jika ia mengambil ponselnya. Terutama jika sekarang gadis itu mungkin saja berlarian entah kemana mencarinya.

Tunggu dulu. Bisa saja gadis itu sedang berkeliling kampus mencarinya. Oh lihatlah, sedikit pemikiran mungkin bisa menyelesaikan masalah ini. Terkadang ia sendiri bingung kenapa otaknya sering mengalami momen macet seperti tadi.

Peter melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya, kelasnya sudah mulai sekitar lima menit yang lalu.

"Sial!" tukasnya mengerutkan keningnya. "Donny, bantu aku dan berikan ponsel ini pada gadis manismu. Aku harus masuk kelas."

"Hei, ini bukan masalahku, mate." Donny mengangkat kedua tangannya di udara sambil mengambil satu langkah mundur. "Kau yang mengambilnya, kau yang mengembalikannya."

"Ayolah, hanya sampai aku selesai kelas pertama. Dan jika kau belum menemukannya aku akan mengambil alih kembali ponsel terkutuk ini."

"Tidak, mate. Kau tidak bisa menyalahkan ponsel ini, kaulah yang bodoh disini," ucap Donny akhirnya meraih ponsel yang sejak tadi diulurkan oleh Peter padanya.

"Tuhan memberkatimu, teman," Peter tersenyum lega dan segera beranjak pergi menjauh dari Donny yang memberengut menatap ponsel di tangannya. Kemudian ia mendengus. "Siapa sangka hal seperti ini bisa terjadi. Terutama kepada pria sepertinya."

Peter menghentikan langkahnya di depan pintu kelas. Badannya membungkuk dengan satu tangan bersangga pada dinding. Napasnya tidak karuan dan keringatnya sudah menetes cukup banyak. Setelah merasa napasnya tidak terdengar terlalu nyaring, Peter membuka satu kancing kemejanya sambil merapikan rambut cokelatnya ke belakang dengan jemari tangan.

"Selamat siang, ma'am," ujar Peter berjalan mendekati Mrs. Pott sambil menunjukan senyum tidak bersalah.

Mrs. Pott menatapnya tajam sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Lagi, Mr. Dixon."

Sedikit menunjukkan deretan gigi putihnya, Peter menaruh kedua tangannya di belakang badan. Mungkin sudah sekitar tiga kali Peter terlambat memasuki kelas Mrs. Pott. Tapi kali ini untuk alasan yang setidaknya benar. Bukan karena ia ketiduran ataupun karena ia main game.

Mrs. Pott adalah dosen paling baik yang pernah ditemui oleh Peter. Dengan perawakan badan gemuk, dan rambut pendek yang sudah memutih membuat Peter merasa sayang kepadanya. Terutama dengan senyum bak malaikat, walaupun harus ditambah dengan beberapa keriput di sekeliling mata dan bibirnya, Peter selalu menganggap Mrs. Pott adalah wanita yang mengagumkan.

"Kali ini aku mempunyai alasan yang sangat bagus untukmu, ma'am," gumam Peter bersungguh-sungguh.

Mrs. Pott mengangguk sabar, menahan diri. "Ceritakanlah, nak," cetusnya mengangkat kepala mulai mendengarkan cerita Peter. Dan karena mahasiswa lain sudah mulai mengerjakan tugas, Mrs. Pott merasa tidak ada salahnya mendengar cerita buatan murid kesayangannya ini.

"Aku sedang mencari seseorang," jelas Peter singkat.

"Itu saja, nak."

"Ya, ma'am."

Retrouvailles [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang