prolog

98 6 2
                                    

"Selamat pagi anak-anak, selamat datang di TK Permata!Perkenalkan nama saya Nana kalian bisa panggil Ibu Nana." Ucap wanita paruh baya yang berdiri de depan papan tulis hitam dalam ruang kelas sebuah taman kanak-kanak.

Disisi lain gadis itu duduk diam di kursinya sembari dengan seksama mendengarkan apa yang wanita paruh baya itu sampaikan di depan kelas.

"Disini siapa yg sudah bisa menulis? " Tanya wanita paruh baya itu lagi. Gadis yang semula terdiam itu kini menoleh ke sekelilingnya, dilihatnya tak satupun mengangkat tangan. Gadis itu tersenyum, kini bersemangat untuk menjadi salah satunya yang memberanikan diri

"Saya Bu!" Pekik gadis itu sembari mengangkat tangan kanannya perlahan. Gadis itu masih sangat kecil dan manis. Dengan langkah pasti dia mendekat ke arah wanita paruh baya yang tidak lain adalah gurunya sendiri.

"Siapa namamu cantik?" Tanya guru itu. Gadis kecil yang ditanya pun tersenyum bersemangat dan sedetik setelahnya menjawab
"Syifa Azalea, biasa dipanggil Syifa!"

"Baik Syifa, coba tuliskan nama kamu di papan tulis" pinta guru itu. Dengan penuh percaya diri gadis kecil itu menuliskan namanya di papan tulis.

klekkk
Seisi kelas menertawakannya, kapur yang berada
di genggaman gadis itu patah. Gadis kecil itu menahan semburat malu, tidak seharunya dia ditertawakan sendirian.

Disinilah titik terangnya, gadis kecil itu adalah aku. Syifa Azalea. Aku terus saja mengingat segala sesuatu yang seharusnya baik bila aku lupakan saja, kenangan-kenangan itu mengingatkanku kepada satu laki-laki memesona, yang tidak dapat kurengkuh, bahkan kupandang saja sudah tidak bisa, dia Daniel.

Jika diingat masa-masa itu bermula dengan baik. Ketika aku dan ibuku berada di sofa yang sama di dalam sebuah rumah yang seharusnya sudah direnovasi agar setidaknya layak dihuni.

Kini berbeda latar, aku bukan berada di taman kanak-kanak permata lagi. Orang tuaku membawaku berpindah hunian, jauh dari tempat tinggalku sebelumnya. Dan disinilah aku, tinggal di sebuah hunian para buruk pabrik kelapa sawit.
Aku ingat betul sudah berkata tidak ingin berpindah tempat tinggal, aku tidak handal dalam bersosialisasi dan menemukan teman baru.

Namun bila dipikirkan ulang, tempat ini lebih layak disebut hunian untuk sekedar healing. Nuansa alami dari pepohonan masih sangat terasa dan aku mulai menyukai tempat ini. Lebih tepatnya seseorang yang juga menghuni salah satu rumah yang tidak jauh dari hunianku, laki-laki itu menjadi kembang api ku sendiri, yang kusimpan untuk diriku sendiri tanpa terkecuali.

Sudah lama aku mengaguminya, jika diminta mengulang dan mengingat-ingat maka aku benar-benar melakukannya dengan baik. Dia tidak pernah lepas dari ingatanku.

Syifa kecil saat itu sedang berjalan sendirian di sebuah gang saat sore hari, suasana yang tepat untuk sekedar berjalan-jalan. Dan dijumpainya seorang anak lelaki, dengan senyum manis dan tatapan penuh kasih.
"Hai, aku Daniel." Ucap anak lelaki itu menyapaku
Aku begitu gugup bahkan terlalu takut untuk sekedar berdiri dengan normal. Di depan anak lelaki itu aku terjatuh sendirian, lututku benar-benar seperti tidak memiliki tulang. Aku terlalu takut.

Namun anak laki-laki itu mendekat sembari mengulurkan tangannya dia berkata
"Aku bantu kamu berdiri, ayo!"
Tanpa membalas uluran tangannya aku malah menangis sejadi-jadinya. Aku mau menerima bantuan dan kepercayaan orang lain. Namun aku terlalu takut akan ekspektasi orang lain yang mungkin terlalu tinggi padaku.

Ku ingat betul anak laki-laki itu mendekat dan membisikkan sesuatu tepat di telingaku,
"You are my sunshine, my only sunshine ..."
Dia bersenandung, untukku. Seketika aku terdiam dari isak tangisku dan lelaki itu menjauh dari tempatnya, entah kemana arah perginya hingga sepuluh detik kemudian dia kembali membawa buah beri berwarna ungu kehitaman.

"Ini obat agar menjadi kuat, ayo makan nanti bisa berdiri lagi." Ucapnya polos. Aku bukannya lumpuh atau mengalami gangguan persendian. Aku hanyalah seorang diriku yang terlalu takut bertemu orang baru.
Namun aku tidak menolak buah beri itu, aku santap sembari menyudahi tangisku. Yang ku ingat adalah tawa dari anak lelaki itu, dia menertawakanku. Namun entah mengapa aku tidak merasa dipermalukan, aku bahkan ikut tertawa bersamanya.

Anak laki-laki itu kembali mengulurkan tangannya, dia terus saja membisikkan kata-kata seperti
"Aku akan menjadi tongkatmu," kalimat yang begitu hebat untuk diucapkan seorang anak laki-laki yang berumur kurang lebih 9 tahun itu.

Namun hal lain terjadi, saat itu ayahku datang mengahmpiriku. Dan seperti biasa membopongku dibawanya pulang ke rumah. Dan anak laki-laki itu melambaikan tangan begitu saja ke arah kepergianku sembari tersenyum lugu.

Sesuatu membekas bukan tanpa sebab

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

First Luv Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang