Kulihat ibun terbaring di ranjang pesakitannya, tangannya terikat selang infus. Wajahnya tampak pucat, ibun mengenakan sebuah baju panjang dengan kerudung cokelat. Ibun adalah sosok agamis yang tak mau seorang laki-laki lain melihat helaian rambutnya, terkecuali ayah. Pendidikan agama yang ibun ajarkan pada kami, anak-anaknya inilah yang selalu kami pegang teguh, walau aku baru mengenakan hijab setelah lulus SMA. Rasanya menyesal aku menutup auratku jauh setelah akil baligh.
"Bun." Aku berlari memeluk ibun yang tengah terbaring. Ia tersenyum menyembutku.
Ibun mengelus rambutku yang tertutup hijab. Ia mencoba duduk, aku membantu ibun untuk duduk.
"Ibun gak papa, Sayang," ucap beliau, tanpa kutanyakan kondisinya. Ibun sudah membaca pertanyaanku dari raut wajahku.
"Kamu, sih, Dik. Kan ibun bilang gak usah kasih tau Kak Wawa." Ibun memasang wajah seolah marah. Aku tahu ibun hanya bercanda.
"Ya pasti dia bingung, Bun. Wong di apartemen gak ada siapa-siapa." Dika tak menatap kami, ia masih saja fokus dengan ponselnya. Biasalah masa remaja, pasti Dika tengil itu sedang sibuk chattingan dengan gebetannya. Apalagi malam ini malam minggu, yang dikata malamnya anak muda. Tapi aku ini anak muda, dan tak merasakan spesialnya malam minggu. Bagiku semua malam sama saja.
"Gimana kondisi, Ibun?" tanyaku.
"Ibun gak papa, Sayang. Cuma kecapekan aja. Bentar lagi sembuh, kok. Ibun kan strong," ucap Ibun dengan mengangkat tangannya seperti adegan dalam film kartun popaye. Aku sedikit tertawa. Ibun memang tak mau menyusahkan dan mengkhawatirkan anak-anaknya.
"Kamu malem-malem gini gimana bisa sampe sini?" tanya Ibun. Aku berjalan menuju sofa yang terletak di samping ranjang Ibun. Duduk di samping Kak Salma yang sedang berkutat dengan laptopnya. Gadis itu selalu tak bisa jauh dengan laptop, ke manapun ia pergi, selalu membawanya. Hanya laptop yang selalu menemani hari-harinya. Betapa membosankannya jika aku hidup seperti Kak Salma.
"Wawa naik bus dari Jakarta. Dari stasiun Cikarang ke sini dianter polisi," jawabku.
"Polisi siapa?" tanya Kak Salma enteng, pandangannya masih saja tertuju pada layar laptop.
"Hah, polisi siapa?" Kini, gantian Dika yang bertanya.
"Polisi yang tadi pagi aku maksud itu, lho, Kak. Polisi yang Pia gebet itu." Aku berdiri dan berjalan menuju meja di samping ranjang ibun.
"Ganteng, gak?" tanya kak Salma dengan menujukan rentetan giginya. Tumben sekali hari ini ia sangat ceria, biasanya pasang muka datar tanpa ekspresi. Kak Salma, tidak hanya mukanya saja yang datar, tetapi nada bicaranya pun seperti itu. Seperti tak 'bernyawa'.
"Lah, mana aku tau. Wong gelap gitu, tapi baik, sih. Gak setengil yang aku kira." Aku mengambil sebuah bubur rumah sakit yang masih terbungkus rapi. Perutku sudah sangat lapar. Jika tidak segera terisi, maka maag-ku akan kambuh. Dan jika penyakit pencernaan itu sudah kambuh, serasa begitu sakit, mungkin setara dengan melahirkan. Entah, aku belum pernah merasakan rasanya melahirkan, intinya itu sangat-sangat sakit.
"Woy, yang nanya kan gue," sewot Dika. Remaja itu mungkin sedang PMS. Hari ini bawaannya marah-marah terus, aku saja sudah bosan dengan marahnya Dika. Aku mendengar kabar dari teman-teman Dika yang sempat ia ajak ke apartemen. Mereka bilang Dika itu sosok pujaan kaum hawa di sekolah, tampangnya yang bisa dibilang ganteng—tapi menurutku jelek—ditambah dengan jabatannya sebagai Pradana Ambalan, wakil ketua paskibra, hobby dengan basket dan futsal semua itu sungguh menambah daya tarik remaja itu. "Dika itu cool, Kak. Makanya banyak yang suka sama dia," ucap salah satu teman Dika. Mereka saja tidak tahu, bahwa Dika itu garang, sangar, galak, dan kejam. Di sekolah, semua itu hanya pencitraan si Kunyuk saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siluet
General Fiction-SEGERA TERBIT- Semesta kerap kali bercanda, ia tak menghiraukan manusia yang tengah berpikir keras menyusun puzzle-puzzle peristiwa yang sebenarnya sulit diterima. Salwa, seorang mahasiswi tingkat akhir yang harus menerima pahitnya kenyataan di ten...