Manusia itu fungsi mulutnya cuma ada dua. Yang satu untuk makan, dan yang satunya lagi untuk membicarakan orang.
***
Dua hari pasca operasi Himma pun berlalu. Kini mereka semua, termasuk Senja yang sangat ingin melihat, berkumpul di ruangan Himma untuk menyambut gadis itu. Hari ini adalah hari dimana dokter akan membuka perbannya. Ah, ralat! Maksudnya, calon ayah mertuanya akan membukakan perban untuknya.
Dada Himma bergemuruh. Begitu pula dengan beberapa orang yang harap-harap cemas memandang Bara yang sedari tadi berbisik-bisik ria dengan Himma. Gadis itu sedang duduk diatas ranjangnya.
"Yah, ini kita mau nyambut Teh Himma, loh! Bukan mau lihat Ayah dongengin Teh Himma kayak gitu!" ujar Misha frustasi.
Hampir setengah jam mereka tidak mendapatkan kepastian. Karena Bara terus berbisik disamping telinga Himma dengan kalimat yang panjang. Sepertinya Bara menyuruh Himma untuk menyimaknya hafalan pidato.
Bara menoleh kearah anak bungsunya yang sudah berwajah merah itu. Tersenyum tipis karena melihat jilbab marun bertengger cantik disana. Dan bukan hanya Misha yang sudah mengenakan hijabnya, namun dari sebelum operasi, Himma juga sudah mulai menutupi rambutnya.
"Iya, Yah. Nunggu apa dulu, sih? Kita semua udah nggak sabar." tambah Senja diatas kursi rodanya. Dibelakang Senja, ada Keannu yang memegangi infus sang bunda.
Keannu hanya menatap malas semua orang. Pagi-pagi sekali, ia sudah akan membawa skateboard nya berjalan-jalan, namun Azka tidak memperbolehkannya. Jadi, ia menurut saja. Keannu sudah ingin berubah menjadi lebih baik.
Azka gemetar duduk di depan Himma. Ia duduk paling depan karena ingin menjadi yang pertama kali dilihat oleh calon istrinya itu. Azka menoleh kepada Mama Himma yang duduk disampingnya. Tersenyum kecil yang dibalas oleh wanita paruh baya itu.
"Siap beneran, ya, Himma?" tanya Bara meyakinkan.
"Nggak usah takut. Kan ada aku." imbuh Azka lembut.
Himma tersenyum. "Sekarang ya, Ma?" ujarnya meminta ijin pada sang Mama.
"Iya, sayang." balas sang Mama Himma.
Bara menyatukan jemarinya. Mengangkatnya keatas seperti orang sedang pemanasan. Kepalanya ia geleng-gelengkan kekanan dan kekiri. Lalu ia mencondongkan tubuhnya kedepan, kebelakang, kesamping kiri dan kanan.
"Yah! Kita nggak lagi mau senam!" Azka memperingatkan.
Bara hanya nyengir tak berdosa. Lalu ia menurunkan tangannya. Pria berusia kepala empat itu mulai menyentuh perban yang melingkar pada kepala Himma yang berbalut jilbab tipis.
"Nggak usah grogi, Himma. Kan kamu nggak lagi mau konser." ujar Bara.
Himma tersenyum canggung. Sementara Azka ingin menendang Bara jika ia tidak ingat bahwa pria itu Ayahnya.
Bara melepas dengan pelan perban putih itu. Semua orang mengikuti arah tangannya yang berputar-putar diatas kepala Himma. Terlebih lagi Azka yang sudah tak sabar ingin dilihat oleh Himma.
"Ciee pada liatin tangan saya." ujar Bara.
Semua orang memilih bungkam dan tak ingin menanggapi ucapan Bara yang asal. Ada-ada saja pria tua satu ini yang sudah tidak ingat umur! Untung saja Bara yang punya rumah sakit ini, jika tidak, mungkin Azka mengajukan pemecatan untuk Ayahnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Langit Senja [Selesai]
Romance"Tentang awal yang tak pernah mengenal akhir." #2 - Jilbab (2/7/18) #52 - Hijrah (6/7/18) #27 - Hijrah (8/7/18) #35 - Islam (14/7/18) #28 - Islam (16/7/18) Seperti namanya, gadis berjilbab itu selalu bersemangat menunggu sore hari tiba. Hingga ia me...