Chapter 4

23 3 0
                                    

Malam harinya, Joya kembali dengan kondisi terburuknya. Ia merasakan ketergantungannya lagi atas obat-obatan haram itu, aku menawarkannya untuk pergi ke rumah sakit, namun Joya menolaknya. Ia mengatakan “aku sudah terlalu sering menyusahkanmu, biarkan aku menahannya. Biarkan aku terbiasa dengan rasa sakit ini!”

Aku tidak tega melihatnya, namun juga tidak bisa membantahnya. Malam itu aku menemani Joya disampingnya. Memegang tangannya yang sangat dingin, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Ia balas memegangi tanganku dengan erat, terdengar rintihan yang sangat memilukan. Rintihan itu seakan menggambarkan perderitaan yang sedang ia alami malam itu. Begitu menyakitkan, membuatnya gemetar dan ketakutan. Seakan menggambarkan dirinya yang tengah berjuang untuk memerangi rasa sakit, yang dapat membuatnya terjatuh kedalam lubang yang dipenuhi oleh tombak yang siap membunuh dirinya.

Melihat Joya saat ini entah mengapa membuatku ingin bercerita kepada Joya, tentang masa  SMA ketika aku baru pertama kali mengenalnya. Masa dimana Joya berhasil membuatku jatuh cinta untuk pertama kali.

Aku sengaja menjadikan lengan atasku sebagai bantalan kepala Joya dan mengelus rambutnya. Kemudian aku mulai menceritakan masa-masa itu kepada Joya. “Joya maukah kau sekedar mendengarkan ceritaku malam ini, cerita tentang masa SMA saat dimana aku mulai mengenalmu. Mungkin dapat menjadi pengiring rasa sakitmu malam ini. Dan aku berharap cerita ini dapat mengurangi kesakitanmu ini.”

###

Hari itu aku ditunjuk untuk menjadi salah satu panitia pelaksana Pentas Seni sekolah. Setiap kelas diwajibkan memberikan dua partisipan sebagai panitia pensi. aku dan Rafa menjadi perwakilan kelas melalui musyawarah antar murid sekelas. Jujur saja saat itu aku pikir aku sedang terkena sial karena terpilih menjadi anggota panitia pensi, bagaimana tidak? Tugas panitia pensi itu adalah tugas yang sangat melelahkan bagiku. Mulai dari perencanaan pensi, berbelanja setiap keperluan, mengangkat properti kesana kemari, bergadang untuk menghias pensi, hingga berpatrori untuk tetap menjaga keamanan sekolah,  bahkan mungkin masih banyak hal yang akan menguras tenagaku saat itu.

Sudah H-10 menuju acara pensi. namun menjadi panitia benar-benar hal yang sangat melelahkan. Sudah masuk jam istirahat kedua, aku mencari tempat sepi dan juga teduh untuk beristirahat. Saat aku akan beristirahat di Taman belakang Aula, aku melihat ada wanita yang sedang menangis, bercucuran air mata yang haru. Namun satu hal yang aku tidak mengerti, ia menangis namun juga tersenyum, tersenyum dengan indah dan menyejukkan. Anehnya lagi aku malah betah memandangi wanita yang sedang menangis ini, jantungku berdetak dengan kencang. Ada hasrat kuat yang ingin aku coba untuk lakukan. Namun aku tidak tahu hal apa yang semestinya aku lakukan itu?

Cukup lama aku memandanginya, ia mendapatiku  dengan keadaan yang sangat memalukan itu. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya lalu tersenyum sambil memanggilku untuk duduk di sebelahnya.

“sudah berapa lama kamu melihatku?” tanyanya

“tidak lama. Dan kamu langsung melihatku!” dusta yang mewakili jawabanku.

“sungguh? Baguslah.  Aku harap ini kali pertama dan terakhir kamu melihatku menangis seperti ini”

“kenapa? Apa ada orang yang melukaimu”

“tidak, bahkan orang-orang terlalu baik kepadaku”

“apa karena kamu tidak mendapatkan yang kamu inginkan?”

“tidak juga, bahkan tuhan selalu melengkapi kebutuhanku”

Aku benar-benar penasaran dengan apa yang dapat membuatnya menangis, begitu dalam dan dipenuhi haru itu. Namun tidak ada satupun tebakanku yang tepat.

“apa kamu baru saja putus cinta? Keluargamu ada yang sakit? Atau kamu tidak diberi uang jajan? Atau mungkin kamu sedang bertengkar dengan orang tua atau temanmu?”

“mmm tidak juga”

“argg. . . kamu membuatku semakin penasaran”

Perempuan itu malah tersenyum bahkan sambil tertawa mendengarku yang mulai geram tidak dapat menebaknya menangis.

“hey!! kenapa kamu malah tertawa? Tidakkah kamu lihat aku sedang serius”

“mmm, karena kamu terlihat begitu lucu. Boleh aku  tahu namamu?”

“ aku? aku Arken Khalifazmi”

“ oke Arken, aku Joya Putri. Panggil saja aku Joy atau Joya. Sepertinya aku harus segera kembali. Semoga pertemuan kita selanjutnya lebih baik dari saat ini”

Joya pun berdiri dan mulai berjalan menjauhiku. Sebelum ia benar-benar menghilang  dari pandanganku, Joya berbalik ke arahku dan berkata dengan nada yang sedikit berteriak “mohon kerja samanya untuk 10 hari kedepan, Ar-ken Kha-li-faz-mi!” setelah mengatakan itu ia benar-benar hilang dari hadapanku. Aku agak heran dengan perkataanya namun aku tidak terlalu mengahiraukannya.
Jam istirahat selesai saatnya kembali masuk kelas.

A Woman with Her TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang