Pemuda di Bawah Pohon

106 10 4
                                    

Semilir angin menerbangkan helaian rambutnya. Warna orange akan menguasai langit dalam waktu yang tidak akan lama. Tatapannya masih terpaku pada satu titik, dimana seseorang tengah merebahkan dirinya di atas rerumputan di bawah pohon besar yang rindang.

Sudah beberapa hari belakangan ini pemuda itu selalu berada di sana, tepat saat gadis itu membulatkan tekadnya untuk mengakhiri hidupnya. Namun, keberadaan pemuda itu selalu membuatnya urung untuk melakukan keputusan itu, lantaran ia tak ingin siapa pun melihatnya. Rooftop di gedung sisi lain pun dirasa kurang strategis karena menghadap langsung ke jalanan.

Gadis itu menghela napas. Dua jam telah berlalu sejak ia mendaratkan kaki di rooftop. Namun, pemuda yang dinantinya untuk pergi itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Gadis berambut panjang itu akhirnya memutuskan untuk menghampiri pemuda yang masih terlelap itu.

Langkahnya terhenti saat ia mencapai tujuan. Tampak pemuda itu yang masih tak menunjukkan pergerakan. Wajahnya ditutupi oleh sebuah buku yang dibuka sembarang. Gadis itu membungkuk di samping pemuda itu lalu menyingkirkan buku bersampul merah itu agar ia  dapat melihat wajahnya. Sepertinya pemuda itu benar-benar tertidur pulas. Wajahnya tampak begitu damai, seolah dirinya telah membuang jauh semua beban yang dipikulnya.

Sudah semakin larut, tetapi pemuda itu masih enggan untuk membuka mata. Gadis itu mengambil botol minumnya lalu menyiram wajah pemuda itu dengan air yang tersisa di salam botolnya. Seketika pemuda itu bangkit, ia terkejut namun tak tersirat amarah di wajahnya, padahal ia baru saja disiram dan kini seragamnya ikut basah.

Pemuda itu mendongak melihat seorang gadis yang kini berdiri di sampingnya. Raut wajahnya tak menyiratkan apapun. Mereka membeku dalam tatapan tanpa kedip. Gadis itu mengangkat kepalanya lalu beranjak pergi. Sebelum melangkah ia mengatakan sesuatu.

“Sebaiknya kau cepat pulang. Sebentar lagi gelap.”

Pemuda itu tersenyum menatap kepergian gadis berwajah datar itu.

‘Aku harap ini yang
terakhir,’ ucapnya pelan lalu kembali memejamkan mata.

***

Marin melangkah memasuki kelas. Semua pasang mata melirik kedatangan gadis itu. Tatapan jijik dan sorot hinaan tak lepas dari wajah mereka. Tak sedikit pula yang melontarkan kata-kata cemooh pada Marin, namun gadis itu tak menghiraukannya, seolah kata-kata itu hanyalah debu yang diterpa angin.

Beruntung ini adalah tahun ketiganya di Sekolah Menengah Atas. Gadis itu bosan dengan ocehan-ocehan yang hampir sama disetiap harinya. Marin selalu dikatai aneh. Tak jarang pula ada yang mengatainya penganut sekte sesat. Rambut panjang hitam legam, wajah muram yang selalu datar, jaket bertudung hitam yang tak pernah lepas dari tubuhnya, bahkan auranya terasa suram. Tak ayal jika orang-orang di sekitarnya selalu menilainya begitu.

Bel pertanda istirahat berbunyi. Seluruh siswa berbondong-bondong keluar dari kelas menuju tujuan masing-masing, tak terkecuali dengan Marin. Langkah kaki jenjangnya
membawanya ke rooftop, tempat favoritnya di sekolah. Tak ada siapapun pun di sana selain dirinya. Tempat itu jarang dikunjungi lantaran nuansanya yang tampak horor. Pepohonan rindang di belakang gedung itu menambah kesan angker. Belum lagi rumor mengerikan tentang hantu gentayangan yang tak pernah padam sejak dua tahun yang lalu. Hal ini juga memperkuat anggapan orang-orang jika Marin bisa berkomunikasi dengan makhluk gaib.

Gadis itu menyantap rotinya sambil menatap sebuah pohon besar di belakang gedung yang ditapakinya. Pohon itu dipercaya telah hidup ratusan tahun yang lalu. Matanya tak beralih pada sosok pemuda yang sejak sepuluh hari terakhir dilihatnya di sana. Pemuda itu duduk bersandar pada batang bohon sambil sesekali membalik buku yang dibacanya. Marin selalu bertanya-tanya pada dirinya tentang apa yang membat pemuda itu betah berada di sana.

Seseorang Di Bawah Pohon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang