Sebagai pamungkas dari sejumlah mengapa. Mengapa Filosofi Kopi 2 menyibukkan diri dengan konflik anak manusia di balik bar barista? Konflik yang, misalnya, mula-mula terjadi antara Ben dan Brie sebagai barista pemilik paten dan barista baru bekerja yang kemudian berpacaran dan memilih mengembangkan benih kopi warisan ayah Ben? Atau, konflik Ben dan Tara yang menimbulkan sedikit guncangan sebelum akhirnya berdamai tanpa ada "dialog eksistensial" antar mereka dan Tara terus jatuh ke pelukan asmara Jody?
Sederhana sekali. Sesederhana kalimat motivator di televisi, cinta baru akan segera menyembuhkanmu. Ini jenis konflik tanpa gambaran kerumitan psikis tiap pelakunya. Konflik pragmatis bahkan terhadap 'yang tragis'.
Enam Mengapa di atas tentulah berakar pada preferensi selera yang saya acukan pada sosok imajiner Ben sebagaimana dibangun pada cerpen Dee. Saya juga menyadari jika keenam pertanyaan di atas dikerjakan semua--dimasukan ke dalam plot film (Ih, pede banget. Siapa elu?)--maka pada akhirnya tak jelas, tak ada happy ending,hal yang terlarang dari drama cinta-cintaan.
Atau, sebagai konsumen film nasional, mungkin kita sudah harus bertanya, apa pentingnya merawat happy ending pada drama cinta-cintaan yang begitu-begitu saja? Atau, bagaimana jika kisah Filosofi Kopi digarap serupa drama korea dengan kegemaran mengeksploitasi hubungan konflik yang kompleks antar aktornya? Kalau demikian, maka sebaiknya yang menjadi Tara adalah Chelsea Islan.
Terakhir, dari sejumlah mengapa yang saya ajukan suka-suka itu, kepada Filosofi Kopi 2, harus dikatakan berkisah dengan jalinan emosi cerita yang hambar. Rasa hambar itu mulai terasa ketika Ben dan Jody kembali pada pusat gaya hidup urban. Kembali pada nostalgia akan kejayaan mereka sebelumnya.
Ben dan Jody kali ini tampak sebagai cermin pemujaan ideologi sukses kaum urban yang kelelahan. Urbanisme gaya hidup ngopi yang tak berani lahir baru dengan "jalan anarkis": sebagai kedai yang bergerilya dan berjumpa dengan
S Aji Pelancong SosialUdik. Pinggiran. Kadang-kadang
KAMU SEDANG MEMBACA
QUOTES Filosofi & Kopi
AdventureAku hanya menulis bermuara bagai senjata tajam. Sebuah cerita pinggiran beritma seperti lantunan syair bersuara.