Best Moment #1 The Beginning

1.2K 27 0
                                    

Shiver (The Wolves of Mercy Falls)

by Maggie Stiefvater 

                                                    Sam

                                                   -9 °C

        MEREKA merenggut anak perempuan itu dari ayunan ban di halaman belakang dan menyeretnya ke hutan; tubuhnya membentuk jejak dangkal di atas salju, dari dunianya ke duniaku. Aku melihatnya terjadi. Aku tidak menghentikannya.

        Itu musim dingin paling panjang dan paling dingin dalam hidupku. Hari demi hari di bawah matahari yang pucat dan tidak berguna. Dan rasa lapar itu—rasa lapar yang membakar dan menggigit, bagai tuan yang tak terpuaskan. Bulan itu tak satupun bergerak sama sekali, daratan itu membeku jadi diorama tak berwarna dan tanpa kehidupan. Salah satu dari kami ditembak karena mencoba mencuri sampah dari halaman belakang salah satu penduduk, jadi sisa kawanan tetap tinggal di hutan dan pelan-pelan kelaparan, menunggu datangnya kehangatan serta tubuh kami yang sebelumnya. Sampai mereka menemukan anak perempuan itu. Sampai mereka menyerang.

        Mereka merunduk di belakang anak perempuan itu, menggeram dan menggertakkan gigi, berebut untuk menjadi yang pertama yang mencabik buruan.

        Aku melihatnya. Aku melihat tubuh mereka bergetar oleh semangat. Aku melihat mereka menyentakkan tubuh anak perempuan itu kesana kemari, menyibakkan salju di bawahnya. Aku melihat moncong yang dikotori bercak merah. Namun, aku tetap tidak menghentikannya.

        Posisiku di kawanan cukup tinggi—Back dan Paul memastikan hal itu sebelumnya—sehingga sebenarnya aku dapat menyusup masuk saat itu juga, tapi aku tetap berada di belakang, gemetar karena rasa dingin, terbenam dalam salju hingga lutut. Anak perempuan itu mengeluarkan aroma hangat, hidup, dan diatas segalanya, manusia. Apa yang salah dengannya? Kenapa tidak melawan?

        Aku dapat mencium darah anak perempuan itu, aroma hangat dan terang di dunia yang dingin dan mati ini. Aku melihat Salem tersentak dan gemetar saat merobek pakaian anak perempuan itu. Perutku melilit, nyeri—sudah lama sekali aku tidak makan. Aku ingin menerobos ke tengah kawanan untuk berdiri di samping Salem dan berpura-pura tidak mencium aroma manusiawi anak perempuan itu atau mendengar erangan pelannya. Anak perempuan itu terlihat begitu kecil di bawah keliaran kami, kawananku mendesak ke arahnya, ingin menukar nyawanya dengan nyawa kami.

        Dengan geraman dan kilatan taring, aku menyeruak maju. Salem balas menggeram padaku, tapi aku lebih lincah darinya. Walaupun aku lebih lapar dan lebih muda. Paul meraung dengan gaya mengancam untuk melindungiku.

        Aku berdiri di samping anak perempuan itu, dan dia memandang langit dengan tatapan kosong. Mungkin sudah mati. Aku menyeruakkan hidungku ke telapak tangannya; aroma di telapak tangannya—gula, mentega, dan garam—mengingatkanku pada kehidupan lain.

        Kemudian aku melihat matanya.

        Sadar. Hidup.

        Anak perempuan itu menatapku, menawan mataku dengan kejujuran luar biasa.

        Aku menarik diri, mundur seketika, dan mulai kembali gemetar lagi—namun kali ini, bukan kemarahan yang menjalari tubuhku.

        Mata gadis itu bertautan dengan mataku. Darahnya di wajahku.

        Aku tercabik, luar dan dalam.

        Hidupku.

        Hidupnya.

        Kawanan menjauhiku dengan cemas. Mereka menggeram padaku, bukan lagi bagian dari mereka, dan mereka menggeram pada mangsa mereka. Menurutku dia adalah anak perempuan tercantik yang pernah kulihat, malaikat mungil penuh darah di atas salju, dan mereka akan menghancurkannya.

        Aku melihatnya. Aku melihat gadis itu, dengan cara yang sama sekali baru.

        Dan aku menghentikannya.

MY PROTECTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang