Note : Keseluruhan judul dalam cerita ini berbau kekerasan. Disarankan untuk anak di bawah umur untuk tidak membacanya.
Tercatat dalam sejarah, Hikiko adalah gadis kecil yang selalu menyeret bonekanya. Namun, setelah didekati, ternyata yang diseret bukanlah boneka, melainkan mayat manusia.
Menurut catatan yang beredar di Jepang, Hikiko tewas mengenaskan karena sebuah penyiksaan. Ia kerap kali dirisak, ditindas, dan disiksa oleh orang tua maupun teman-teman di sekolah. Tidak ada alasan lain mengapa mereka berbuat hal sekejam itu. Hanya karena Hikiko berperangai aneh, juga rambut panjang yang menjuntai sampai lutut.
Betapa ia membenci angka 2020. Konon katanya, angka tersebut adalah angka kematian. Di mana, gadis kecil itu tewas pada jam 20:20 malam. Terdengar tidak masuk akal, namun setelah membaca kabar ini, kamu akan menyesal tidak mempercayainya.
Tanggal 11 Januari 1987, seorang gadis cantik bernama Haruka ditemukan tertidur tanpa kepala. Ia tinggal sendirian di kamar dengan nomor 2020. Pada tanggal 20 Oktober 1996, Arata Nakagawa tewas dengan anggota tubuh terpisah saat menulis angka 2020. Dan masih banyak lagi daftar kematian yang tercatat. Terhitung sudah 2019 jiwa yang tewas dengan sebab yang belum diketahui. Mereka menduga, angka tersebut dapat memanggil si hantu kecil Hikiko.
Aku bergidik ngeri, seseram itukah angka 2020? Mengingat banyak mitos-mitos yang beredar, sepertinya hantu Hikiko juga hanya sekadar mitos. Biasanya, para orang tua jaman dulu sering bercerita seram untuk menakut-nakuti anaknya yang susah tertidur. Jika memang Hikiko itu nyata, di tahun ini pasti akan memakan banyak korban.
Di malam yang hampir larut ini, perutku malah susah diajak kompromi. Mulas, seperti diremas-remas. Padahal, hanya makan sedikit cabai. Dasar lemah, pedas sedikit saja minta dikeluarkan. Untung saja, lampu kamar tidur hingga jalan menuju kamar mandi lumayan terang. Kelihatan sekali kalau aku penakut, terutama fobia kegelapan. Mati lampu sekejap saja rasanya ingin berteriak.
“Mama, temani aku ke kamar mandi!” teriakku.
Beberapa menit kemudian, aku menepuk jidat. Ah, lupa kalau Papa dan Mama pergi ke luar kota. Untuk malam ini, harus berani ke kamar mandi sendiri.
Akhirnya, selepas bergelut dengan perut, rasanya lega. Lebih lega lagi tidak ada hal yang menakutkan terjadi. Mungkin aku yang terlalu berpikir negatif. Sampai kembali ke kamar, kunyalakan lampu tidur. Bulu kuduk tiba-tiba meremang.
**
“Selamat pagi, Ayumi!” sapa Naomi saat aku duduk di bangku kelas.
“Pagi!”
Ah, anak ini, sangat antusias sekali menyapaku. Naomi dikenal sebagai siswi paling cantik dan juga pandai. Dengan sedikit kepolosan dan keluguannya, membuat ia tampak lucu seperti anak kecil. Umurku tak jauh beda dengannya. Naomi berusia 15 tahun, hanya terpaut satu tahun lebih muda dariku.
Bel sekolah sudah berdering. Sensei Kitaro masuk dan memulai pelajaran.
Entah mengapa rasanya membosankan di kelas ini. Sensei Kitaro adalah tipe guru dengan sistem mengajar yang santai. Berkali-kali aku menguap, dan berusaha menahan kantuk.
“Ayumi!”
Panggilan itu mengagetkanku. Rasa kantuk hilang ketika sensei melotot tajam. Kena, lagi.
“Basuh wajahmu. Jangan tertidur di jam pelajaran saya!” sentaknya.
Meskipun orangnya santai, tetap saja, ia risi dengan murid yang berleha-leha di kelasnya. Terpaksa, aku bangkit dan beranjak keluar kelas. Sekolah tampak sepi saat jam pelajaran dimulai. Biasanya, hanya ada satu atau dua orang saja yang keluar, untuk sekadar pergi ke toilet.
Ketika mencuci tangan di wastafel, seketika terlonjak melihat air berubah menjadi cairan merah kental. Kaki mundur selangkah demi selangkah. Kemudian, menatap ekspresiku sendiri di pantulan cermin. Sekelebat bayangan kecil tiba-tiba melesat dari belakang. Kaki gemetar hebat sesaat sebelum siswi lain masuk. Cairan merah yang membanjiri wastafel, kembali menjadi bening seperti semula.
Apa tadi hanya halusinasi? Tidak mungkin!
Aku kembali ke kelas sambil lari terbirit-birit. Orang-orang menatap heran. Tapi, aku tak pedulikan itu. Hal mengerikan tadi lebih mengganggu di pikiran.
**
Sial sekali, tugas sekolah menumpuk mengharuskanku berkutik dengan buku-buku. Kalau saja besok tidak dikumpulkan, malas sekali untuk menyelesaikannya malam ini. Kutulis tanggal di bagian atas catatan tugas. Sempat termenung beberapa detik untuk mengingat tanggal hari ini.
“Ah, iya. Sekarang ... tanggal 20 Januari 2020,” ucapku bermonolog.
Baru sampai jam 20.00, mataku terserang rasa kantuk. Bahkan, hampir terjungkal dari kursi. Meski begitu, kupaksakan tetap terbuka sambil memakan camilan.
Gelap.
Tiba-tiba, lampu kamar mati tanpa sebab yang jelas. Padahal, tidak ada hujan ataupun angin. Apa lampunya rusak? Sesaat kemudian, kamar terang kembali. Aku dapat bernapas lega. Namun, terasa ada sesuatu yang janggal. Ke mana tanggal yang kutulis tadi?
Aku tercekat. Angin yang besar masuk ke dalam kamar, sampai gorden ikut berseliweran. Kertas-kertas tugas terbang berhamburan. Bukannya cepat-cepat menutup jendela, aku justru terduduk dengan kepala menelungkup. Tubuh gemetar hebat, jantung berdegup tak beraturan. Ditambah, angin yang menggelabur membuatku semakin menggigil.
Tuhan, tolong aku!
Sampai akhirnya, embusan angin berhenti perlahan. Sebelum kututup jendela rapat-rapat, sebuah kertas kecil mendarat di meja. Aku bergidik ngeri. Namun, bermodalkan rasa penasaran yang kuat, kudekati meja selangkah demi selangkah. Betapa membuatku terbungkam, angka 2020 tercetak jelas dengan noda darah.
Seorang gadis kecil melotot ke arahku dari jendela. Ia tertawa dengan deretan gigi yang hitam. Rambut panjang menjuntai sampai lutut. Wajahnya sulit digambarkan karena hancur tak berbentuk.
Panas dingin menjalar ke seluruh tubuh. Rasa takut menyerang hebat sampai membuatku terkulai lemas. Lidah seakan kelu, semua terwakili oleh air mata yang membanjiri. Sekadar bernapas pun, begitu sesak dan pengap. Bahkan, detak jantungku sendiri dapat terdengar.
Gadis itu mendekat sambil tertawa. Menyeret-nyeret boneka penuh noda darah. Kupaksakan kaki ini berdiri, menggapai pintu yang tak jauh dariku.
Terkunci!
Kugebrak-gebrak berkali-kali. Namun nihil, pintu seolah terkunci rapat dari luar. Aku menangis tersedu-sedu. Ternyata benar, Hikiko bukanlah mitos hantu belaka. Dia benar-benar ada. Mendatangi kamar, dan siap mengantarku pada malaikat maut.
“Kumohon ... jangan sakiti aku,” lirihku sambil terisak.
Tetapi, gadis itu malah menarik bibir, tersenyum menyeringai. Aku menelan saliva dengan susah payah. Tiba-tiba, leher tercekik hingga kaki tak menyentuh lantai. Tuhan, tolong ....
Bruk!
Tangan yang mencekik leher, terlepas. Tubuh jatuh tersungkur membentur lantai. Rambut panjang itu, menyapu wajahku. Terlihat rupa wajahnya yang menyeramkan. Aku sulit bernapas, ketakutan yang menyerang begitu menyesakkan.
“Dua ribu dua puluh,” ucapnya samar-samar.
Apa maksud yang dia katakan?
Aku baru tersadar, kulirik jam dinding yang berdenting. Sekarang adalah tanggal 20, tahun 2020, dan tepat jam 20:20. Atau mungkin ... ah, jangan sampai terjadi!
Matanya yang hampir terlepas, melotot tajam ke arahku. Jarak kami hanya sekitar lima senti. Sangat dekat, nyaris menempel. Aku tak dapat melakukan apa-apa. Seakan tubuh ini, ada yang mengendalikan. Darah segar keluar dari mulutnya. Tepat mengucur ke wajahku. Bau anyir dan busuk menyatu padu hingga membuatku mual.
Hanya sedetik, sesuatu tampak masuk ke dalam perut. Tangan mungil itu mengoyak organ-organ di dalamnya. Inikah isyarat yang dia katakan? Aku adalah korban yang ke-2020. Menyesal tidak mempercayainya. Harusnya aku sudah tertidur di jam ini. Menggeluti dunia mimpi, tanpa mengundang hantu si kecil Hikiko. Tubuhku terseret meninggalkan jejak darah di lantai. Sebelum nyawa terlenggut, kupesankan agar cepat tertidur sebelum jam 20:20 malam. Jangan menulis angka tersebut, memilih, atau apa pun yang berhubungan dengan 2020.
Hikiko itu nyata. Tolong percayalah, atau kau akan menjadi korban yang ke-2021. Gadis kecil itu akan datang ke kamarmu, dan siap menggorok leher hingga terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Horor
HorrorGenre : Horor, gore, dan creepypasta. Warning! Berbau kekerasan dan psikopat. 18+