Namaku Bastian, cowok yang sedikit introvert tapi sangat terobsesi sama wanita. Kenapa? Ya memang kalian pada gak mau nikah? Cuma sayangnya, sudah sepuluh kali mengajak wanita menikah, gak ada satu pun yang mau menerima. Miris.
Tepat malam ini, aku duduk dengan Diana di kafe terdekat. Kami menyeruput minuman dengan santai. Aku tersenyum memandanginya. Namun, ia tampak acuh dan biasa saja meski kuajak makan malam. Diana sibuk berkutik dengan gawainya. Padahal, saat kutengok ia hanya menggeser-geser layar.
Kuraih kedua tangannya sambil mengusap pelan. "Diana, menikahlah denganku," ucapku serius pada gadis di hadapanku.
Dia memutar bola matanya malas, "Untuk ketujuh kalinya, sudahlah Kak, aku ini adikmu!" tegasnya.
"Memangnya kenapa?" tanyaku bingung.
Dia menggeleng sambil menggidikkan bahu, kemudian melenggang meninggalkanku. Kali ini aku malas memaksanya lagi. Kubiarkan Diana pulang sendirian menggunakan taksi. Diana adalah adik perempuanku yang sangat cantik dan masih berusia 15 tahun, lima tahun lebih muda dariku.
Kudekati perempuan berambut coklat di ujung sana. Cantik dan bertubuh ideal. Dia sedang duduk sendirian sambil membolak-balikkan menu.
Aku pun duduk di sampingnya sambil basa-basi, "Sendirian?" tanyaku.
"Ya."
"Boleh saya temani? Nama saya Bastian," ucapku sambil menyodorkan tangan.
Dia menggeleng, "Saya ada kencan sama pacar," jawabnya.
Aku mengangguk-angguk paham. Susah ya, cari cewek cantik yang jomblo? Kalau ada, gunung Everest kudaki.
"Ayo nikah!" seruku dengan semangat '45.
"Hah?" Dia mengernyitkan dahi.
"Nikah!"
"Gila ya?" ucapnya sinis kemudian beranjak meninggalkanku.
Malam ini, sudah ada dua perempuan yang meninggalkanku. Memangnya salahku apa? Cuma mengajak nikah.
Aku berjalan lesu entah berantah ke mana. Jalanan ini tampak sepi dengan semilir angin yang menembus kulit. Kupandangi sekeliling yang tampak gelap. Mengapa aku di sini?
Aku menyadarinya. Di balik jaket yang kukenakan, ada sebuah pisau menyelip di sana.
Darah segar menciprat ke wajahku. Terasa manis dan lezat kujilat. Aroma yang sudah tak asing lagi bagiku.
Kupandangi sepotong kepala kucing yang baru saja kutebas lehernya. Ah, ini hanya kucing, belum saja kutebas leher manusia dan membuat kepalanya menggelinding di jalanan.
"Tid, tid!" Terdengar suara klakson mobil dari depan sana. Cahaya lampu mobil menyilaukan pandanganku.
Mobil itu berhenti tepat di sampingku. Seseorang keluar dari sana.
"Kak, pulang!" pekik seorang gadis sambil menyeretku masuk ke dalam mobil.
Aku tak membuat perlawanan sedikit pun. Sepanjang jalan gadis itu mengoceh membentakku.
"Kak, apa lagi yang sudah kaubunuh malam ini?" tanyanya dengan nada penuh penegasan.
Aku diam tak bergeming dan kebingungan dengan celotehnya.
"Aku lebih suka jiwa Bastian yang sebenarnya," lirihnya.
**
Aku terbangun dengan keadaan terikat. Kulirik Diana tersenyum kecut di sampingku.
"Diana, tak kauikati pun aku tak akan kabur. Kita besok menikah 'kan?" ucapku dengan senyum semringah.
"Terserah, Kak."
"Diana, ayo menikah!" ajakku lagi.
"Delapan. Kalau lebih dari sepuluh kali Kakak mengajakku menikah, artinya Kakak memang tak waras!" ketusnya.
"Hus, Diana! Jangan begitu, mau bagaimana pun dia tetap kakakmu," sahut Ibu.
"Aku tak sudi," balas Diana.
"Diana, baju pengantin untuk besok sudah siap?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Penyakitmu sudah akut!"
Entah apa yang dimaksud Diana selama ini. Aku tak paham. Hanya mengajak menikah kok dibilang penyakitan. Padahal, aku tidak pernah mengeluh sakit apa pun. Tubuhku sehat-sehat saja. Bahkan, ada beberapa roti sobek di bagian perut. Jantan bukan? Tapi, kenapa setiap wanita tidak mau denganku.
Setelah selesai sarapan dengan disuapi oleh Ibu, ada dua orang tamu datang ke rumahku. Seorang wanita dengan gadis yang kutebak dia adalah putrinya.
"Ibu mau menjodohkanku? Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?" tanyaku.
Gadis di samping wanita itu mendecih jijik.
"Ayo nikah!" ajakku pada gadis itu.
Si wanita di sampingnya menatap sendu Ibuku. Kemudian, Ibu tampak menjelaskan sesuatu, "Maaf, putraku itu mengidap Gamomania dan kepribadian ganda," ucap Ibu sambil tersenyum tipis.
"Gamomania?" tanya si gadis.
Ibu menatapku dengan penuh arti. Dapat kurasakan kelembutan hatinya. "Gamomania itu gangguan psikologis yang menyebabkan seseorang sangat senang mengajak orang untuk menikah bahkan kepada orang asing sekalipun," jawab Ibu pelan.
Kedua tamu itu mengangguk dan menatapku iba. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
"Dan ... kepribadian ganda itu memang sudah dialami Bastian sejak kecil. Ia menjadi dirinya yang lain yang mengaku sebagai Biantara, bukan Bastian. Lebih khawatirnya, sosok Biantara memiliki jiwa pembunuh. Karena itu kami menjaganya ketat agar tidak melukai orang lain," lanjut Ibu panjang lebar.
Kata Ibu, gadis itu adalah teman masa kecilku. Tapi ... entahlah aku tidak ingat apa pun.
**
"Kak Ian," panggil Riana---tamu Ibu kemarin. Kata Ibu, Riana memang selalu memanggilku Ian.
Riana tinggal di rumahku sekarang. Aku senang sekali dengan keberadaannya di sini. Jadi, aku bisa mengajaknya menikah setiap waktu. Aku akan tunggu sampai kata 'enggak' itu menjadi 'iya'. Mau berpuluh-puluh kali pun Riana menolakku, tapi aku tak mudah menyerah.
"Apa?" sahutku.
"Kak Ian ingat gak? Dulu kita sampai seperti adik kakak 'lho," katanya.
"Hmm?"
Riana memelukku tiba-tiba, "Iya, sebelum pembully-an itu terjadi," jawabnya.
Aku hanya mengerutkan dahi mencoba mengingat kejadian dulu. Aku tak ingat sedikit pun. "Maksudmu?" tanyaku lagi.
Riana melepaskan pelukannya dan balik menatapku, "Dulu, Kak Ian di-bully sampai terluka parah dan dibawa ke rumah sakit. Sejak kejadian itu, Riana rasa sikap Kak Ian mulai berubah-ubah."
Kepalaku benar-benar pening saat ini. Seperti ada sesuatu yang menghantam dengan keras.
Aku terbangun di ruangan bertirai hijau dengan sebelah tangan yang terinfus. Ada Ibu, Diana, dan Riana di sampingku. Suasana ini begitu asing. Tak seperti rumah sakit biasanya. Aku melihat orang-orang berpakaian serba biru dari balik jendela. Mereka tertawa riang seperti anak kecil.
"Ini di mana?" gumamku.
Ibu menatapku sambil menangis, "Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu terpaksa membawamu ke sini," ucapnya.
"Ada apa Bu, Diana, Riana?" tanyaku panik seraya menatap mereka bergantian.
"Kak Bastian ada di rumah sakit jiwa. Semalam kami gak tahu harus melakukan apa saat Kakak mengamuk. Kak Riana bilang, Kakak tiba-tiba memberontak saat bercerita tentang masa kecil kalian dulu," jelas Diana.
"Hah? Aku gila? Hahahaha ...." sahutku tak percaya kemudian tertawa keras.
"Bastian gak gila, Bu! Hahaha ...." pekikku sambil mengacak-acak kasur lalu tertawa lagi.
Mereka bilang aku gila? Aku tidak gila, merekalah yang gila menganggapku tidak waras. Aku hidup baik-baik saja selama ini.
"Kalian gila! Hahaha ...."
Harusnya kubunuh saja mereka dari dulu. Kupenggal kepala mereka satu per satu, dan kujadikan kepala mereka sebagai mainan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Horor
HorrorGenre : Horor, gore, dan creepypasta. Warning! Berbau kekerasan dan psikopat. 18+